part 4

"Sebel kenapa, Re?" Suara Diandra terdengar kalem di seberang telepon sana.

"Gimana gue nggak sebel kalau tuh orang ngajak gue kencan," ucapku bersungut-sungut. Aku membanting pintu mobil milik Mas Yudha keras-keras tanpa sadar. Sebuah gerak refleks pelampiasan hatiku yang sedang marah.

"Siapa?" tanya Diandra masih dengan nada santai.

"Pak Sasongko, Di. Bayangin aja kalau lo jadi gue, gimana nggak kesel coba?" Aku melangkah ke arah lobi dengan melekatkan smartphone ke telinga kanan. Tak peduli dengan orang-orang yang lalu lalang di sekitarku. Bagiku curahan hati ini lebih penting dari apapun sekarang.

"Kok bisa?" Aku bersyukur bisa mendengar nada antusias yang diluncurkan Diandra. Tanpa melihat wajah Diandra pun aku sudah bisa membayangkan kedua matanya melebar saat mengucapkan kata itu. "Bukannya lo ketemu dia buat ngobrolin iklan wafer keju itu? Kok ujung-ujungnya jadi ngajakin lo kencan, sih?"

Aku mengembuskan napas panjang.

"Awalnya dia sama sekali nggak ngebahas soal iklan itu, Di. Dia ngomong muter-muter nggak jelas, terus nanya macem-macem soal gue. Intinya dia pingin tahu status gue gitu. Gue nggak menaruh curiga sama sekali pas dia nanya gue udah nikah apa belum. Tapi ujung-ujungnya dia bilang mau ngajakin gue kencan. Gimana nggak kurang ajar tuh orang?" cerocosku panjang. Langkahku berhenti ketika sampai di depan pintu lift. Dan apesnya lift baru saja naik beberapa detik yang lalu.

"Gila!" teriak Diandra hampir membuat telingaku tuli. "Bukannya tuh orang udah diatas 50 tahun? Lagaknya masih genit juga. Terus lo bilang apa sama dia? Lo nggak maki-maki klien kita kayak waktu lo maki-maki Baekhyun jadi-jadian itu, kan?"

Aku sengaja mendengus dengan keras.

"Kalau bisa gue malah pingin menghajar tuh orang, Di. Tapi sayangnya gue nggak bisa. Kesel banget kan?" Ditambah lagi lift yang kutunggu tak kunjung bergerak turun. "Gue bilang baik-baik sama dia kalau gue datang ke sana mau ngomongin soal iklan itu, eh dia malah marah. Dia bilang konsep iklan gue sama sekali nggak menjual. Emangnya kucing mau beli wafer keju?"

"Ya, ampun! Padahal menurut gue konsep iklan lo bagus, kok...."

"Makanya gue kesel, Di. Serba salah kan gue?"

"Tapi klien adalah raja, Re."

"Raja dari mana? Klien adalah bos yang bisa berbuat sesukanya sama kita, tahu nggak?"

"Ntar biar Mas Yudha aja yang ngatasin masalah lo. Eh, lo sekarang di mana? Udah mau balik atau kencan sama bapak-bapak itu?" Diandra terkikik pelan.

"Enak aja," semprotku sewot. "Gue ada di bawah, nungguin lift nggak turun-turun. Mas Yudha ada di sana nggak?"

"Gue lagi survei lokasi sama Faris nih. Mau titip salam nggak?"

"Widih, nggak. Udah, lift-nya udah turun nih. Ntar lo balik kantor nggak?"

"Belum tahu, Re. Ntar gue kasih kabar deh."

"Okay."

Aku menutup telepon tepat di saat pintu lift terbuka dan beberapa orang terlihat keluar dari kotak besi itu.

Astaga!

Aku terkejut begitu mengetahui seseorang telah menyeruak mendahului langkahku masuk ke dalam lift. Decakan sebal langsung kutelan kembali ketika laki-laki bersetelan jas hitam itu membalikkan badan. Mulutku hampir menjerit melihat siapa gerangan laki-laki yang kini berdiri tegap di depanku. Baekhyun jadi-jadian itu!

Kesadaranku tersentak ketika pintu lift perlahan mulai menutup. Aku buru-buru melangkah masuk ke dalam kotak besi itu sebelum pintunya menutup rapat.

Sial pangkat tiga!

Aku merundukkan kepala merutuki kesialan bertubi-tubi yang kualami seharian ini. Bukan hari ini saja, tapi sejak bertemu dengan laki-laki itu sepertinya kesialan selalu mengintaiku. Tapi, sejak kapan ia berdiri di belakangku? Apa ia juga menguping pembicaraanku dengan Diandra di telepon? Kalau benar iya, maka tamatlah riwayatku di Dongsheng Group. Bisa dipastikan Baekhyun jadi-jadian itu akan mengenali wajah dan suaraku lalu ia akan menebas habis karirku di dunia periklanan yang sangat kucintai ini. Argh!

Kenapa tidak ada orang lain yang naik lift ini selain kami berdua? Situasi ini membuatku jatuh dalam rasa canggung parah. Sepertinya nasib ingin menjebakku di ruang sempit ini bersama orang berwajah datar dan jutek itu.

Pintu lift terbuka beberapa detik kemudian dan laki-laki itu melangkah keluar lebih dulu. Sementara aku sengaja menahan diri selama beberapa saat sekadar untuk menciptakan ruang di antara kami berdua.

"Udah balik, Re? Gimana mobilnya? Nggak lecet, kan?" Mas Yudha mengangkat wajahnya begitu aku masuk ruang tim kreatif kami. Ia langsung mencecarku dengan sejumlah pertanyaan tidak bermutu dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Aku tidak langsung menjawab dan bergegas menghempaskan pantat ke atas kursi dengan memasang wajah kesal.

"Mas Yudha ini lebih mentingin mobil dari aku, ya?" sungutku membuat Mas Yudha tergelak cukup keras. Jarang-jarang lho dia menderaikan tawa seperti itu. Mas Yudha lebih sering memasang wajah kalem, serius, berwibawa, dan dewasa. Sosok sempurna untuk tipe orang sepertiku. Kupikir begitu.

"Gitu aja sewot, Re." Mas Yudha mengibaskan tangan kanannya di depan wajah usai menuntaskan ulasan tawa di bibirnya. "Mobil itu kan belum lunas, Re."

"Lunas atau belum itu bukan urusanku, Mas. Aku udah lulus kursus mengemudi, kok," sahutku membela kepercayaan diri dan kemampuan mengemudiku. Memang, aku belum semahir pembalap Formula 1, tapi aku sudah lihai memarkir kendaraan di tempat yang rumit sekalipun.

"Iya, iya. Jangan galak-galak, ntar darah tingginya kumat, lho," selorohnya sambil mengukir senyum manis. Ah, kalau sedang berdua saja denganku seperti ini, Mas Yudha tidak pelit canda. Tapi, justru ini yang membuatku kesal dan menyesal. Harusnya saat ia masih lajang takdir mempertemukanku dengannya. "Oh, ya. Gimana hasil meeting-nya?"

Aku mendengus cukup keras. Sekadar memberi kode pada Mas Yudha bahwa segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik. Kurang lebih begitu.

"Ada masalah?" tanya Mas Yudha dengan menaikkan kedua alisnya.

"Yup," jawabku ogah-ogahan. "Pak Sasongko nggak suka konsep iklannya, malah dia bilang, emang kucing mau beli wafer keju," tuturku mengulangi ucapan Pak Sasongko di cafe beberapa jam yang lalu.

"Terus?"

"Aku bilang aja kalau wafer itu kelewat enak, makanya kucing aja sampai doyan makan tuh wafer. Eh, dia masih tetep nggak terima," ujarku bersungut-sungut. "Kayaknya aku harus bikin konsep baru, Mas."

"Uhm... Nggak semua ide kreatif kita disukai, Re. Penilaian kan tergantung selera juga," komentar Mas Yudha menunjukkan sisi bijaknya.

"Kalau ini soal nggak suka konsep yang aku bikin, nggak masalah, Mas." Aku menegakkan punggung dan menatap lurus ke arah Mas Yudha. "Tapi, Pak Sasongko ngajakin aku kencan, Mas. Bagian itu yang aku nggak suka," ungkapku jujur. Well, untuk hal-hal seperti ini aku tidak mau menanggungnya sendirian.

"Beneran, Re?" Mas Yudha ikut menegakkan punggung. Sepasang matanya yang berlindung dibalik kacamata minus melebar. "Terus kamu bilang apa? Kamu nggak mau, kan?"

Aku menyeringai. "Emangnya aku cewek apaan? Sejomblo-jomblonya aku, mana mungkin aku mau kencan sama bapak-bapak kayak gitu. Aku masih normal, Mas."

"Oke. Ntar biar aku yang urus masalah Pak Sasongko, kamu bikin konsep iklannya aja."

Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan komentar apapun. Toh, Mas Yudha sudah berjanji akan menangani masalah Pak Sasongko.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top