part 38
"Udah balik, Re?" sapa Faris yang sampai saat ini masih bertahan di kursinya. Sedang Diandra terlihat sedang menelepon seseorang, entah siapa. Gadis itu tidak terlalu ambil pusing dengan kedatanganku. Sementara Mas Yudha tampak asyik menekuri layar komputernya dan hanya mengalihkan tatapannya padaku sekilas.
"Ya," jawabku sambil menghempaskan pantat ke atas kursi. Faris dan yang lainnya tidak tahu kalau aku sedang berusaha keras untuk menormalkan kembali detak jantungku yang terus berdegup kencang sejak berada di samping Wang Lei beberapa saat yang lalu. Pikiranku juga penuh tentang dirinya. Okay, aku tahu ini cinta dan aku tidak akan menyangkal sekarang. Tapi masalahnya adalah bagaimana aku mengungkapkan perasaanku setelah semua yang kukatakan pada Wang Lei tiga bulan yang lalu? Apa itu bukan menjilat ludah sendiri namanya? Oh, tidak! Ini sangat memalukan!
"Gimana hasil meeting-nya?" Mas Yudha angkat suara.
"Hah?" Aku tergagap ketika laki-laki yang pernah sangat kukagumi itu menatapku. "Baik. Tapi...."
"Kenapa? Ada masalah?"
Aku melenguh dan menatap semua orang yang kini sudah memperhatikan wajahku. "Boleh aku minta ditemenin kalau meeting lagi?" tanyaku memohon. Entah itu Faris atau Mas Yudha, yang penting ada seseorang yang bersedia mengawalku bertemu dengan Pak Sasongko.
"Kenapa? Emang siapa kliennya?" Faris menyahut dengan nada antusias.
"Pak Sasongko," jawabku dengan merengut.
"Daebak!" Suara cempreng itu menyahut dengan keras.
"Dia godain lo lagi, Re?!" Faris ikut menyahut dengan nada tinggi.
Aku mengangguk dan menampilkan ekspresi tak berdaya.
"Re. Tuh," sela Diandra tiba-tiba sebelum suaraku keluar. Padahal aku sudah membuka mulut dan siap mengiyakan pertanyaan Faris. Gadis itu memelototkan kedua matanya dan ujung dagunya bergerak ke arah pintu seolah mengarahkan pandanganku agar bergegas mengikuti petunjuknya.
Lei?
Aku tercengang melihat laki-laki itu sudah berdiri di ambang pintu dan sedang menatapku dengan ekspresi datar.
"Bisa menemaniku keluar?" tanya Wang Lei masih mengarahkan matanya padaku. Seakan-akan di dalam ruangan itu hanya ada aku seorang.
Oh, bagaimana ini? Aku menjadi salah tingkah karena semua mata kini tertuju padaku. Diandra sudah paham dengan situasiku, tapi bagaimana menjelaskan masalah ini pada Faris dan Mas Yudha?
"Re?"
***
Aku terpekur menatap isi mangkuk di hadapanku, namun belum tertarik untuk mencicipinya.
"Itu mi yang dibuat dari sayuran," ucap Wang Lei menyentak kebisuanku. Laki-laki itu berhasil menyeretku dengan paksa keluar dari kantor dan membawaku ke sebuah restoran mi. Tapi, konon mi yang dijual di restoran ini terbuat dari sayur-sayuran. Minumannya pun dibuat dari berbagai macam buah segar. Jadi, bisa dibilang makanan dan minuman di restoran ini sangat sehat. "Kamu harus banyak makan sayur dan buah, Re. Jangan makan gorengan lagi," lanjutnya menasihati.
"Jadi, kamu datang jauh-jauh dari Taipei hanya untuk ini?" Aku mendelikkan mata dan memasang ekspresi heran.
Deraian tawa mengalir lembut dari bibir Wang Lei dan sontak membuatku terkesima. Ia benar-benar memikat!
"Tentu saja nggak," sahutnya dengan sisa tawa yang masih membekas di bibir. "Aku sudah bilang kan, kalau aku merindukanmu."
"Ya." Aku manggut-manggut sambil menyunggingkan senyum tipis. "Lalu? Apa setiap kali merindukanku kamu akan datang?"
Laki-laki itu tertawa kembali. "Maaf. Tapi sepertinya kamu sangat marah karena aku tiba-tiba pergi dan nggak ada kabar selama tiga bulan," tandasnya sok tahu.
"Siapa yang marah? Aku baik-baik aja, kok," sungutku kesal dan segera menyingkirkan sepasang sumpit sialan dari atas mangkukku. Sungguh, aku sama sekali tidak bisa memakai benda itu.
Tangan Wang Lei bergerak cepat sebelum aku sempat meraih sebuah garpu yang disediakan di atas meja. Setidaknya ia memahami kondisi dimana aku tidak bisa menggunakan sumpit.
"Maaf, aku pergi nggak pamit sama kamu."
Ujung garpuku sempat terhenti di udara begitu kalimat Wang Lei keluar, namun aku berlagak tak peduli dan melanjutkan acara menyuapku.
"Ada masalah di kantor pusat," ucap Wang Lei melanjutkan kalimatnya. Bahkan laki-laki itu rela menelantarkan mi sayuran miliknya demi bisa menjelaskan alasan kenapa ia pergi tanpa pamit. "Aku ditugaskan untuk menangani masalah itu sampai tuntas...."
"Apa alasan itu bisa diterima?" sahutku dengan nada sengit. "Cuma butuh lima menit untuk menelepon, Lei. Tapi kamu...."
"Re." Laki-laki itu menyentuh punggung tanganku yang berada di atas meja.
"Maaf." Aku berucap cepat sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya. "Nggak seharusnya aku bersikap kayak gini sama kamu. Aku nggak punya hak untuk marah sama kamu. Aku sangat egois, kan? Dulu aku yang mati-matian meragukan perasaan kamu, tapi sekarang aku yang bersikap seolah-olah sangat menderita. Lucu, kan?" Aku mengalihkan tatapan ke sudut lain demi menyembunyikan seulas senyum pahit di bibirku. Meski aku yakin Wang Lei tetap akan melihat aku sedang menertawakan diri sendiri.
"Kamu hanya takut saat itu, Re," sambung Wang Lei dan ia berhasil membuatku memalingkan wajah.
Wang Lei memang benar. Sejujurnya banyak hal yang kutakutkan saat itu. Aku takut terluka kembali. Dan segenap perbedaan di antara kami, aku takut menjadi jurang yang bisa memisahkan aku dan Wang Lei. Aku takut tak bisa masuk ke dunianya, menjadi pendamping yang pantas baginya. Terlalu banyak ketakutan bersemayam dalam diriku sampai-sampai aku mengabaikan perasaanku sendiri. Juga perasaan Wang Lei.
"Sampai sekarangpun aku masih takut," gumamku dengan suara lemah. Meski aku sudah menyadari perasaanku padanya, tetap saja ketakutan itu masih bersarang di dalam hatiku. "Aku takut nggak pantas berada di sampingmu, Lei."
"Karena kita berbeda?"
Kepalaku bergerak mengiyakan.
"Dengar," Wang Lei meraih genggaman tanganku. "kamu tahu, cinta ada karena perbedaan, Re. Kita hanya perlu berjalan beriringan, berpegangan tangan, dan menjalani hidup berdua. Itu saja."
"Apa menurutmu sesederhana itu?" Aku menciptakan kerutan tajam di kening. Bagaimana ia bisa berpikir sesederhana itu sementara aku sudah menerawang jauh ke mana-mana? Membayangkan hal tersulit sekalipun sudah kulakukan.
"Ya. Kupikir cinta bisa membuat semuanya mudah. Kamu nggak sependapat?"
Aku mengedikkan bahu. Enggan untuk berpikir lebih jauh lagi. "Bisa kita makan sekarang?"
"Ya. Kamu butuh asupan nutrisi lebih banyak. Kamu agak kurusan sejak kutinggal."
"Daebak," desisku pelan. "Aku sehat, Lei. Kalaupun aku agak kurusan, pasti Diandra udah ngomel. Tapi dia nggak komentar apa-apa, tuh."
"Bener, Re. Kamu agak kurusan..." Wang Lei mencoba mempertahankan pendapat konyolnya. Bahkan aku sama sekali tak merasa kehilangan sedikitpun berat tubuhku.
"Whatever."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top