part 37

"Gorengannya, Neng!"

Teriakan abang tukang gorengan langgananku mengacaukan segenap susunan kalimat yang sudah tertata rapi di dalam kepalaku. Sederet kalimat yang akan kulontarkan dengan sangat antusias dan menggebu-gebu di depan Diandra nanti tentang Pak Sasongko dan tingkah genitnya. Aku bersumpah akan mengajak seseorang--entah itu Mas Yudha, Faris atau Diandra kalau memang sudah tidak ada pilihan lain--untuk menemaniku menemui Pak Sasongko lain waktu. Ah, akan lebih baik jika Wang Lei yang menemaniku. Pikiranku kenapa, sih? Ini bukan saatnya kembali mengorek penyesalan tentang dia.

Langkah kakiku bergerak menuju ke tempat abang gorengan tanpa perlu berpikir dua atau tiga kali. Bagiku, gerobak milik abang tukang gorengan sama seperti kutub magnet yang sanggup menarik tubuhku agar segera mendekat.

"Dari mana, Neng? Lesu banget?" serbu abang tukang gorengan sembari menelusuri peluh yang menetes di kedua pelipisku.

"Dari cafe, Bang. Ketemu seseorang. Tapi ngeselin banget." Aku tidak tahan untuk tidak mengeluh. Meski aku tahu segala bentuk curhatan dan keluh kesahku hanya akan direspon dengan seulas senyum maklum dari bibir abang tukang gorengan.

"Biar nggak kesel lagi, mau beli gorengan apa aja, nih? Abang kasih bonus, deh," ucap abang tukang gorengan yang sudah bersiap dengan sebuah kantung kresek di tangan.

Lumayan, batinku senang. Aku bergegas menyebutkan keinginanku. Pisang goreng, tahu isi, dan tempe. Diandra dan Mas Yudha pasti sudah tiba di kantor.
"Makasih, Bang!"

Usai membayar gorengan, aku segera melanjutkan langkah. Siang masih sepanas biasanya, bercampur debu pula. Membuatku harus mempercepat ritme gerakan kakiku. Memang sih, ada yang bilang kulit cokelat terkesan eksotis, tapi aku benar-benar tidak suka bila terpapar sinar matahari di siang bolong seperti sekarang. Kapan musim hujan akan tiba?

Sensasi sejuk dan dingin langsung menyerbu wajah dan tubuhku ketika pintu lobi terbuka. Membuatku semakin tak sabar untuk segera naik ke lantai 10 dan menceritakan semua yang menimpaku hari ini pada Diandra.

Agh.

Aku tercekat ketika tiba-tiba seseorang menyenggol pundakku dengan kasar sehingga menyebabkan cengkeraman tanganku pada kantung kresek menjadi terlepas. Akibatnya beberapa biji gorengan tercecer keluar dari dalam kantung kresek dan mendarat di atas lantai keramik. Meski itu terlihat bersih mengilat, tapi aku yakin ada jutaan debu dan kotoran menempel di sana. Belum lagi kuman, virus, dan makhluk mikroskopis lain.

Sial! batinku geram. Aku pernah mengalami insiden semacam ini sebelumnya dan seumur hidup aku tidak mau mengulanginya lagi. Tapi, kenapa justru kejadian menyebalkan ini mesti menimpaku kembali? Apa salahku, ya Tuhan?

"Hei!" Teriakan itu sudah terlanjur keluar dari bibirku sebelum aku mengangkat wajah dan menemukan seorang laki-laki mengenakan setelan jas hitam sedang melangkah beberapa jengkal di depan mataku. Punggung itu langsung membawa ingatanku pada seseorang. Sosok dan kejadian yang sama. Kupikir hanya orang bodoh yang mau mengulangi insiden tolol semacam itu.

Sosok itu berhenti sedetik kemudian usai aku menutup mulut. Namun, aku masih tertegun bergelut dengan pikiran konyolku sendiri. Pada detik berikutnya, laki-laki itu memutar tubuh dan tampaklah seraut wajah yang...

Daebak!

Lututku langsung lemas seketika saat laki-laki itu menarik sedikit ujung bibirnya. Wang Lei?!

Astaga! Ini mimpi atau sekadar halusinasi? Laki-laki itu nyata atau hasil karya mimpi belaka?

"Kamu?" Bibirku gemetar. Namun, rasa hangat mulai mengalir lembut memenuhi hatiku. Ada perasaan bahagia yang membuncah di dalam relung hatiku saat menatap seraut wajah oriental di ujung sana. Aku merasakan kedua pipiku mulai menghangat dan rasanya jantungku berdegup dua kali lebih keras dari sebelumnya. "Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu pergi ke Taipei?" Dalam waktu bersamaan aku seperti orang bodoh yang sedang kebingungan.

"Aku baru datang tadi pagi," ungkap laki-laki itu kaku.

Aku mengukir senyum pahit. Tiba-tiba saja ucapan Diandra melintas cepat di dalam otakku. Wang Lei tak lebih dari sebuah iklan, hadir dalam durasi beberapa detik saja, namun sudah cukup meninggalkan banyak cerita.

"Kenapa datang?" tanyaku cepat. Tapi pertanyaanku salah besar. Siapapun Wang Lei, ia sangat berhak untuk datang dan pergi dari kantor ini. "Apa kamu juga akan pergi lagi tanpa pamit? Tiga bulan tanpa kabar, lalu tiba-tiba muncul seperti ini. Apa kamu mau membuatku sakit jantung, hah?!"

Bola mata Wang Lei terlihat melebar dari sebelumnya usai mendengar teriakanku yang cukup keras. Mengundang perhatian dari resepsionis dan seorang sekuriti yang berjaga di depan pintu lobi. Tapi aku tak peduli. Aku tak mampu mengendalikan rasa bahagia dan marah yang bercampur dalam waktu bersamaan.

"Maaf kalau aku pergi tiba-tiba...."

"Ya, dan udah dua kali kamu menghilang gitu aja," sahutku mengabaikan permintaan maafnya. Hei, tapi kenapa aku tiba-tiba melampiaskan kemarahan padanya? Apa hakku memarahinya? Bukannya dulu aku yang menolak Wang Lei? Duh! Apa yang sudah kulakukan? Sumpah, aku malu setengah mati dan perlu sesuatu untuk menutupi wajahku. Ember mungkin.

Senyum manis terukir di bibir tipis milik Wang Lei. Apa ia sebahagia itu mendapat omelan dariku?

"Kamu merindukanku?"

Aku terenyak. Kenapa mesti pertanyaan itu? batinku kecut.

"Menurutmu?" pancingku dengan memutar bola mata dengan gelisah.

"Mana aku tahu, Re." Ia mengedikkan kedua bahu. "Mau bareng ke atas?" tawarnya sejurus kemudian. Mengakhiri percakapan singkat kami padahal aku masih ingin berbincang lebih lama dengannya. Tapi apa boleh buat.

"Okay."

Aku menyusul langkah Wang Lei yang lebih dulu mengarah ke pintu lift. Sementara gorenganku, biarkan saja. Toh, sudah jatuh dan tak bisa dimakan lagi.

"Bagaimana kabarmu?" sentak Wang Lei ketika kami sampai di depan pintu lift yang masih menutup rapat.

"Baik," sahutku gugup. Berdiri di sebelah Wang Lei membuatku merasa seperti si kerdil Hobbit. Bayangkan saja, aku harus menengadah jika ingin menatap matanya. Aku yang terlalu pendek atau ia yang ketinggian, sih?

"Kamu nggak ingin tanya kabarku?"

Untuk apa? batinku dengan mulut terkatup rapat. Aku melihat ia sehat-sehat saja dan masih setampan seperti pertama aku melihatnya. Tapi, ia sama sekali tidak mirip dengan Baekhyun.

"Aku merindukanmu, Re."

Aku tercekat dan langsung menoleh ke samping. Laki-laki itu menatap lurus ke arah pintu lift yang tak kunjung terbuka. Haruskah aku meragukan perasaannya seperti dulu lagi?

Aku baru tersadar saat pintu lift terbuka dan tangan Wang Lei menyeret lenganku masuk ke dalam kotak besi itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top