part 35
"Diandra!" Aku membentangkan pintu ruang tim kreatif lebar-lebar dan meneriakkan nama sahabat terbaikku dengan keras. Tapi, bukan hanya kepala Diandra saja yang menoleh, dua kepala lainnya ikut menoleh padaku. Mas Yudha dan Faris menatapku dengan sorot mata bertanya.
"Ada apa?" tanya Diandra terdengar ogah-ogahan. Kepalanya kembali menekuri layar komputer seolah aku adalah sesuatu yang tidak penting baginya. Menyebalkan rasanya diperlakukan seperti itu oleh sahabat sendiri.
Aku mengembuskan napas kuat-kuat lewat mulut dan mencoba meredam apapun yang sedang bergejolak di dalam dadaku. Okay, harusnya aku lebih merasa enjoy usai menghabiskan masa cuti empat hari di puncak Bogor. Menikmati kesejukan alam, menghirup udara segar, makan malam lezat meski sendirian, dan seabrek kegiatan menyenangkan lainnya. Tapi, nyatanya setelah aku kembali ke kantor untuk bergelut lagi dengan segudang pekerjaan, aku disuguhkan kenyataan pahit bahwa Pak Willy sudah menempati ruangannya. Wang Lei lenyap entah ke mana dan aku sama sekali tidak diberitahu soal ini. Diandra sialan, kan?
"Ikut gue." Aku menyeret lengan Diandra dengan paksa dari tempat duduknya.
"Ikut ke mana? Lo mau nyulik gue? Ris, tolongin gue dong...."
Sayangnya Faris hanya mengedikkan bahu melihat Diandra merengek saat kuseret pergi dari ruangan kami. Sementara Mas Yudha tampak tak peduli meski aku sempat melihat kedua alisnya kompak naik ke atas.
Aku baru melepaskan lengan Diandra ketika kami sudah masuk ke dalam toilet. Menurutku toilet adalah satu-satunya tempat paling aman untuk ngobrol. Yeah, selama tidak ada orang yang tiba-tiba masuk ke sana dan mencuri dengar percakapan kami, sih.
"Kenapa lo nggak bilang sama gue kalau Pak Willy udah balik, hah? Terus ke mana Wang Lei? Apa dia udah balik ke Taipei?" Aku melotot dengan sadis ke wajah Diandra yang sudah berdiri merapat ke tembok.
"Lo gila, Re?!" Gadis itu malah berseru mengataiku gila. Ya, ampun! Apa aku bisa membiarkan harga diriku terinjak seperti ini? Oh, nope!
Aku menarik napas dalam-dalam. Okay, mungkin aku terlalu antusias mendesak Diandra. Aku akan bertanya satu per satu kali ini.
"Okay," ucapku akhirnya. "sekarang lo jelasin kenapa lo nggak ngasih kabar kalau Wang Lei pergi," lanjutku dengan merendahkan nada suara. Jika posisi tertinggi di gedung ini dipegang Pak Willy, berarti Wang Lei pergi, bukan?
"Bukannya lo sendiri yang nolak dia? Terus kenapa sekarang lo yang kelimpungan nyari Baekhyun jadi-jadian itu?" delik Diandra berusaha untuk menyudutkanku. Mungkin sebentar lagi aku akan menjilat ludahku sendiri.
"Kelimpungan apanya?" Aku menggumam pelan sambil menyunggingkan senyum pahit. Tapi rasanya ucapan Diandra benar. Kenapa tiba-tiba aku panik seperti cacing kepanasan, ya?
"Dia udah balik ke Taipei sehari setelah lo ngambil cuti. Puas?" Diandra mengungkapkan kenyataan yang diakui atau tidak memukul perasaanku.
"Balik ke Taipei?" ulangku dengan sepasang mata melebar.
"Yup." Kepala Diandra mengangguk tegas. "Dia ke sini cuma menggantikan Pak Willy yang sakit, Re. So, udah sewajarnya kalau dia balik ke Taipei saat kondisi Pak Willy sudah memungkinkan untuk memimpin perusahaan, kan? Ada yang aneh?"
Aku menggeleng tanpa sadar. Tapi kenapa rasanya dadaku seperti terpukul oleh sesuatu. Sungguh, bukan hal seperti ini yang ingin kutemui sepulang dari liburan. Pundakku merosot ke bawah dengan lemah dan separuh energi dalam tubuhku terserap oleh lantai.
"Lo baik-baik aja, kan, Re?" Sepasang manik mata hitam milik Diandra berputar menelusuri setiap inchi lekukan di wajahku. Pandangannya menelusur penuh kecurigaan.
"Kenapa lo nggak ngasih kabar gue, Di?" balasku.
"Awalnya gue mau ngasih kabar lo, Re. Tapi gue takut ganggu liburan lo..."
Astaga! Kabar sepenting itu, sekalipun mengganggu liburanku, apa urusannya?
"Tapi kenapa lo nggak berusaha mencegah dia pergi, Di? Kenapa dia juga nggak pamit sama gue kalau emang suka sama gue?" Aku merutuki diri sendiri dengan setumpuk penyesalan yang tiba-tiba menyeruak di dadaku. Mungkin ucapan Diandra benar jika Wang Lei hanyalah selintas iklan dalam hidupku. Datang dalam durasi beberapa detik, memberi cerita singkat lalu pergi begitu saja. Padahal....
"Hello, bukannya lo udah nolak dia? Lagian ngapain gue mencegah dia pergi, heh? Emang gue apanya dia?" sahut Diandra menampilkan wajah jutek. "Jadi, sekarang lo beneran sadar kalau lo suka sama dia?" serbunya kemudian.
"Apa?!" Aku terkejut mendengar pertanyaan Diandra. Siapa yang bisa menduga jika ia akan melontarkan pertanyaan itu coba?
Gadis itu tersenyum tipis penuh penghinaan padaku. "Dari awal gue tahu ini akan terjadi sama lo, Re."
"Maksudnya?" Keningku berkerut.
"Yah...gue tahu kalau lo suka sama Wang Lei saat di rumah duka. Nggak ada orang yang bakalan melihat seseorang terus-terusan kalau nggak ada perasaan sama sekali. Cuma lo aja yang sok gengsi mengakui perasaan lo..."
Aku terperangah mendengar uraian pendapat Diandra yang lebih mirip presentasi.
"Bukan gitu, Di." Aku menukas untuk mengemukakan pembelaan. "Gue cuma merasa semua ini nggak masuk akal. Masa sih, orang selevel Wang Lei suka sama gue yang kayak gini? Impossible banget, kan? Malahan yang ada gue merasa dipermainkan," lanjutku.
"Tapi, sekarang lo baru sadar kan, kalau sebenernya lo punya perasaan sama dia?" desak Diandra diantara kebisuan yang diciptakan bibirku. Tatapan mata gadis itu mengintimidasi. Parah!
"Ya." Akhirnya kata pendek itu meluncur pelan dari bibirku. "Tapi gue baru menyadarinya sekarang, Di. Saat dia udah pergi," imbuhku tanpa semangat. Ingin rasanya aku meledakkan tangis sejadi-jadinya di depan Diandra, tapi takut gadis itu akan menertawakanku. Cinta nggak datang setiap hari, ucapnya kala itu. Dan ketakutanku saat itu adalah aku meragukan ketulusan Wang Lei.
"You know what? Penyesalan sekarang udah nggak ada gunanya lagi, Re. Lupain dia. Siapa tahu di Taipei dia menemukan cewek cantik jelita yang bakalan jadi jodohnya." Diandra menepuk-nepuk pundakku seolah ingin menguatkan hatiku. Padahal ia hanya sedang menambah patahan di dalam hatiku. Sahabat macam apa itu?
"Lo tega banget, Di..."
Diandra terkekeh pelan. "Gue cuma bercanda, kok. Jangan ditanggapi serius gitu. Sini gue peluk," ucap gadis sialan itu sambil menarik tubuhku ke pelukannya. "Suatu hari nanti lo pasti menemukan satu orang yang tulus mencintai lo apa adanya. Ya?"
Bicara memang mudah, tapi bagaimana jika posisi kami terbalik? Apa kata 'sabar' bisa menentramkan hati? Kupikir tidak.
Air mataku perlahan mengalir keluar dan membasahi pundak Diandra. Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak terisak, tapi gagal. Menyadari jatuh cinta saat seseorang telah pergi, memang menyisakan penyesalan yang teramat dalam. Kenapa cinta datang di saat ia sudah pergi?
Tetapi, jauh di hatiku yang paling dalam masih tersimpan satu pertanyaan, tuluskah perasaannya padaku?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top