part 33
"Apa ini?" tanya Wang Lei dengan kening berkerut. Tatap matanya tertuju pada sebuah kotak kecil di atas meja lalu beralih kepadaku. Sorot matanya penuh dengan pertanyaan.
"Itu cincin pemberian Oma."
Wang Lei tampak terkejut dan laki-laki itu buru-buru membuka kotak kecil yang beberapa menit lalu kuletakkan di atas meja.
"Oma memberimu ini? Kapan?" desaknya usai membuka kotak kecil tersebut dan menemukan sebuah cincin menyembul dari dalamnya. Sepasang mata sipitnya berusaha membuka selebar mungkin.
Ganti aku yang takjub menatap laki-laki itu. "Oma nggak bilang kalau aku datang ke rumahmu?" tanyaku dengan mengangkat kedua alis.
Wang Lei menggeleng pelan. "Jadi kamu datang ke rumahku?" Ia sudah tahu jawabannya, tapi masih memaksakan diri untuk bertanya.
"Ya," balasku sambil mengangguk. "Aku datang saat kamu pergi ke Taipei dan nggak tahunya Oma malah memberiku cincin itu," ungkapku menjelaskan ringkasan kronologis kejadian yang sebenarnya.
"Tapi Oma nggak pernah memberitahuku bahkan sampai dia..." Wang Lei tak menyelesaikan kalimatnya. "Lalu kenapa kamu mengembalikan ini padaku? Bukannya Oma sudah memberikannya padamu?"
Aku merundukkan pandangan ke dekat kakiku berpijak.
"Kupikir aku sama sekali nggak berhak menerimanya, Lei. Benda itu terlalu berharga untuk orang kayak aku," ucapku melankolis. Tapi sungguh, aku dan benda berharga itu sama sekali tidak sepadan.
Wang Lei menarik bibirnya. "Oma memberikan benda itu bukan pada sembarang orang, Re." Laki-laki itu bangkit dari kursinya dan melangkah mengitari meja lalu berhenti tepat di hadapanku. "Dia pasti punya alasan khusus kenapa memberikan cincin itu sama kamu. Dan apa kamu tahu alasannya? Karena Oma menyukaimu," tandasnya sembari menatap lurus ke arahku.
"Tapi...."
"Oma ingin kamu menyimpan benda itu, Re. Mungkin dia ingin kamu selalu mengingatnya," potong Wang Lei. "Sudahlah, simpan saja benda itu. Kamu nggak keberatan, kan?"
Diam. Aku menahan napas dan tidak tahu kata apa yang mesti kuucapkan. Yeah, bagi orang sekelas Wang Lei cincin semahal itu merupakan barang biasa, tapi buatku sebaliknya.
"Aku lapar. Kamu mau menemaniku makan?" tawarnya membuyarkan barisan lamunan di dalam kepalaku. Tapi laki-laki itu sudah berhasil menyeret lenganku keluar dari ruangan ketika aku masih berpikir untuk menolak tawarannya.
"Lei." Aku terpaksa kembali menelan kalimat yang hendak kulontarkan.
***
"Maaf, kalau aku nggak memberitahumu tentang kepergianku."
"Hah?" Aku tergagap mendengar pernyataan Wang Lei dan urung memasukkan ujung garpu yang terlilit untaian pasta. "Ini nggak kayak yang kamu pikirkan, Lei," ucapku dengan terbata.
"Maksud kamu?" Laki-laki itu mengernyitkan kening. "Kamu datang untuk mencariku, kan?"
Aku mengembuskan napas kesal. Kenapa aku merasa seperti terlihat sedang mengejar laki-laki?
"Sejujurnya iya, tapi...." Aku mengambil jeda beberapa detik untuk bernapas. "aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."
"Kamu takut terjadi apa-apa denganku?"
Gara-gara Diandra sialan, nih. Kalau saja ia tidak membuat serentet pengandaian negatif tentang Wang Lei, aku tidak akan pernah mengunjungi rumah laki-laki itu.
"Mari kita akhiri semua ini," tandasku sesaat kemudian. "Oma sudah nggak ada dan kita nggak perlu berpura-pura dekat kayak gini...."
"Tapi kita memang dekat, kan?"
"Ya, tapi dalam konteks lain, Lei."
"Kenapa?" tanya laki-laki itu dengan mendelik. "Kenapa tiba-tiba kamu ingin mengakhiri semua ini? Bahkan kita belum sempat jadian."
"Jadi, kamu ingin kita jadian?" Aku hampir melompat dari kursi yang kududuki saat ini. "Lei, yang ingin kita dekat adalah Oma dan dia sudah nggak ada di sini. Kita nggak perlu memaksakan diri kayak gini."
"Bagaimana kalau sekarang aku yang menginginkannya?" Tatapan mata laki-laki itu membekukan tubuhku. "Aku serius ingin menjalin hubungan dengan kamu, Re. Bukan karena Oma atau siapapun, tapi karena aku yang menginginkannya."
Deg. Aku benar-benar membeku dan tak bisa mengeluarkan sepatah katapun sekarang. Sepertinya kalimat Wang Lei adalah seember air es yang disiramkan ke seluruh tubuhku.
"Ini nggak masuk akal, Lei." Mulutku bergumam beberapa menit kemudian setelah susah payah aku menyadarkan diri sendiri. "Bagaimana mungkin orang sepertimu ingin menjalin hubungan denganku? Kamu sedang bercanda, kan?"
Kepala Wang Lei menggeleng pelan. "Apa aku kelihatan seperti sedang bercanda?" Ia malah bertanya balik.
"Nggak juga, sih," gumamku seraya mengedarkan tatapan ke segenap penjuru restoran. "Tapi dunia kita berbeda, Lei. Apapun yang melekat di tubuh kita dan yang menghuni pikiran kita, semuanya nggak sama," tandasku mencoba menguraikan penjelasan. Apa aku perlu menyinggung secara detail celana jeans robek yang sedang kupakai sekarang dan setelan jas mahal yang membalut tubuh Wang Lei?
"Ada beberapa orang yang sangat peduli dengan perbedaan semacam itu, tapi aku dan Oma nggak mempermasalahkannya," tegas Wang Lei.
Ya, tentu. Kalian berdua sama-sama konyolnya, batinku sewot.
"Kurasa itu bukan cinta, Lei." Aku mencoba tersenyum. Eh, tapi Wang Lei sama sekali tidak menyebut kata cinta tadi. "Itu hanya sebuah hiburan yang jarang kalian lihat seumur hidup kalian. Karena kalian mempunyai segalanya, maka hal-hal yang aneh seperti itu terlihat menarik. Kalian memandangnya sebagai hal baru dan unik yang nggak pernah kalian temui. Tapi pada akhirnya kalian sadar hal itu sama sekali nggak cocok buat kalian. Kalian akan berubah pikiran dan kembali ke dunia kalian...."
"Itu hanya penilaian sepihak dari kamu, Re." Laki-laki itu terlihat menatapku dengan sepasang mata tenang tanpa riak. "Nggak semua orang masuk dalam kategori yang kamu maksud."
"Apa kamu ingin bilang kalau kamu termasuk pengecualian?" Sumpah, aku tidak suka didebat seperti ini olehnya. Kurasa pendapatku sama sekali tidak salah. Iya, kan?
"Dengar," Wang Lei menarik napas dalam-dalam. Lanjutnya, "nggak semua orang punya pikiran sama dengan kamu, Re. Menyukai seseorang nggak punya batasan, apapun itu. Selama mereka bahagia, kenapa nggak?"
Harusnya aku bertepuk tangan mendengar argumen yang disodorkan Wang Lei padaku. Ya, laki-laki itu pandai berteori. Tapi sayangnya aku menilai kasus yang menimpa kami dari sudut pandang logika.
"Kupikir nggak akan ada yang terluka kalau kita bersama." Ia menyambung kembali.
"Tapi aku nggak punya perasaan yang sama denganmu," tandasku. Mungkin belum, batinku menambahi.
"Kamu takut?" Ia menebak dengan raut wajah menegang. Mungkin ia pikir wajahnya terlalu tampan untuk diabaikan apalagi oleh orang sepertiku. "Perbedaan akan selalu ada di muka bumi ini, Re. Kita bisa mengatasi semua perbedaan dengan pola pikir yang terbuka. Perbedaan nggak selamanya buruk, kok. Kita bisa berdampingan dan saling menghargai satu sama lain," urainya panjang. Membuatku merasa berhadapan dengan seorang motivator kesasar.
Hello, sebenarnya kita sedang membahas apa, ya? Kenapa jadi serumit ini, sih?
"Okay, mungkin aku yang terlalu ribet," Akhirnya aku angkat bicara juga. "tapi aku nggak yakin dengan hubungan yang akan kita jalani." Andai saja Oma tidak pernah memilihku, mungkin aku akan mempertimbangkan semua ini.
"Kamu meragukanku?"
Aku terdiam. "Sejujurnya iya," gumamku setelah bergelut dengan kebimbangan. "Aku adalah seseorang yang dipilih secara acak oleh Oma dan aku nggak yakin kamu tetap akan memilihku seandainya aku nggak pernah bertemu dengan Oma. Pada intinya aku adalah seseorang yang direkomendasikan oleh Oma. Aku bener, kan?" Aku meneguk minumanku usai menandaskan kalimat yang mengeringkan tenggorokan.
Wang Lei mendesah. Bahkan laki-laki itu sudah berhenti melahap pastanya sejak kami berdebat beberapa menit lalu. Padahal ia sendiri yang bilang lapar, kan?
"Buatku, kamu seperti alien yang datang dari planet terjauh, Re...."
Daebak! jeritku dalam hati. Ia bilang aku seperti alien? Lalu apa masih ada lanjutan dari kalimatnya?
"Ini bukan drama Korea, Lei." Sebelum ia bicara yang aneh-aneh dan menyebutku seperti alien lagi, kupikir lebih baik aku menyela. "Seorang chaebol yang jatuh cinta pada gadis miskin emang sangat menarik. Tapi itu indah di khayalan doang, Lei. Bangun dan berhentilah bermimpi, okay?"
Sial. Laki-laki itu menertawakan ucapanku. Dan ketampanannya naik dua kali lipat dari sebelumnya.
"Aku suka kamu yang sederhana dan apa adanya. Kamu nggak perlu menjaga image di depanku..."
"Whatever." Aku memutar bola mata ke atas. "Bisa kita hentikan pembicaraan konyol ini dan balik ke kantor?"
Wang Lei mengangguk mendengar permintaanku. Yeah, sudah seharusnya ia melakukan hal itu, kan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top