part 32

"Jadi, sekarang lo udah sadar sama perasaan lo?" Diandra menyikut lenganku dan berbisik di dekat telingaku dengan suara pelan.

Pertanyaan Diandra berhasil membuat kepalaku menoleh. "Apa?" tanyaku persis orang idiot. Ah, pertanyaan Diandra memang tak bisa kumengerti. Sama sekali.

"Lo menyukainya kan?" Diandra menatapku dengan penuh arti.

Aku menelan ludah. "Menyukai siapa?"

Diandra mengulum senyum kecil. "Bukannya dari tadi lo ngelihatin dia terus?" Gadis itu mencondongkan tubuh dan menyentuhkan pundaknya padaku.

Oh.

Aku mengerjapkan mata sekadar menetralisir mimik wajahku yang mungkin sudah berubah usai mendapat sindiran Diandra. Setidaknya hasil pengamatan gadis itu memang benar. Sedari tadi pandangan mataku terus mengarah kepada sosok Wang Lei yang berada tidak jauh dari tempatku dan Diandra duduk. Laki-laki itu sedang berkumpul dengan kerabatnya dan sibuk berbagi obrolan. Di saat berduka seperti ini, kehadiran keluarga akan menjadi hal yang sangat berarti baginya.

Aku menarik napas panjang dan memutuskan tidak mengeluarkan komentar apapun.

"Kalau lo emang suka sama dia, jujur aja, Re. Nggak usah pakai membohongi diri sendiri."

Aku belum tahu, sahutku dalam hati. Sejak tiba di rumah duka, aku memang terus mencuri pandang ke arah sosok Wang Lei setiap ada kesempatan. Menelusuri setiap gerak geriknya dengan ekor mataku dan merekamnya dalam kepalaku. Setiap ekspresi wajahnya tak pernah lepas dari pengamatanku. Rasa sedih, kehilangan, bisa aku tangkap dari raut wajah laki-laki itu meski sesekali ia mencoba untuk tersenyum setiap ada tamu yang menyapa.

"Gue belum tahu apa yang gue rasain sama dia, Di," bisikku sesaat kemudian. Aku berusaha merendahkan suara.

"Daebak." Gadis itu mendesis pelan.

"Apa gue salah kalau nggak tahu sama perasaan sendiri?" tanyaku lebih lanjut. Memang ini terdengar sangat menyedihkan, tapi tak ada salahnya untuk bertanya pada sahabat sendiri, kan?

"Jelas banget salah, Re. Cuma orang tolol yang nggak tahu sama perasaannya sendiri."

"Dan orang tolol itu gue," geramku sambil mencubit lengan sahabatku itu sampai ia mengerang kesakitan. "Enak banget ngatain orang lain tolol," gerutuku kesal.

"Lo tuh ya, kalau lo emang pinter, harusnya lo tahu kalau lo suka sama dia atau nggak. Paham nggak?" Suara Diandra memang di level terendah, tapi tatapan matanya benar-benar menakutkan.

Aku tak menyahut kali ini dan membiarkan percakapan kami menggantung. Biar saja.

"Suka sama siapa?"

Busyet. Faris tiba-tiba muncul dan menimpal percakapan yang kuanggap sudah selesai. Mungkin aku dan Diandra akan melanjutkan pembahasan ini kapan-kapan. Laki-laki itu menatapku lalu Diandra dengan ekspresi bingung. Kasihan.

"Lo tuh, mau tahu urusan orang aja." Diandra menyahut sembari memamerkan tampang judesnya.

"Parah," keluh Faris sambil menggeleng-geleng tak jelas. "Mas Yudha ngajakin balik kantor, tuh. Kalian mau ikut balik atau nungguin di sini?"

"Balik dong," sahut Diandra sambil mengangkat pantat dari atas kursi. "Lo ikut, Re?"

Aku mengangguk dan mengikuti perbuatan Diandra.

"Yuk, pamitan sama Bos dulu," ajak Faris memberi kode pada kami agar bergegas mengikuti langkahnya.

***

"....apa itu berarti Pak Willy akan mengambil alih posisi bos yang sekarang?"

Aku yang semula sibuk menatap keluar jendela dan tidak peduli apapun yang sedang dibicarakan Mas Yudha dan Faris di jok depan, akhirnya terusik juga.

"Belum tahu." Aku mendengar Mas Yudha menyahut dari belakang kemudi. "Pak Willy emang sudah keluar dari rumah sakit, tapi kita kan nggak tahu gimana kondisinya. Apa kita sekalian pergi ke rumah Pak Willy untuk menjenguknya?" usulnya tiba-tiba.

Aku menoleh ke arah Diandra dan mendapati tatapan matanya sedang mengarah lurus padaku. Rupanya gadis itu turut menyimak percakapan Faris dan Mas Yudha.

"Kapan-kapan aja deh, Mas. Aku masih ada kerjaan," tolak Faris pada detik berikutnya.

Aku menghela napas panjang dan kembali mengalihkan pandangan keluar jendela.

Selama ini aku melupakan satu hal tentang Wang Lei. Laki-laki itu dikirim kantor pusat Dongsheng Group yang bermarkas di Taipei untuk menggantikan posisi Pak Willy selama ia sakit. Dan setelah kondisi Pak Willy sudah membaik, sudah seharusnya Wang Lei kembali ke Taipei, kan? Kenapa aku tidak pernah memikirkan hal ini sejak awal?

"Nggak ada yang pingin makan sesuatu, nih?" Kepala Faris mendadak menyembul di depanku. "Re?"

"Nggak. Gue kenyang." Aku menyahut dengan nada malas.

"Tumben lo kenyang? Emang sarapan apa tadi pagi?" desak Faris terus mengejarku dengan pertanyaan.

"Emang lo mau traktir Renata?" Diandra yang duduk di sebelahku ikut menimpal.

"Di...." Aku menoleh ke arah Diandra dan mendesis kesal. Sepertinya gadis itu melupakan sesuatu yang pernah kami sesali sebelum ini.

"Okay. Okay." Diandra mengangkat kedua telapak tangannya. "Sorry." Sedetik kemudian ia mengucapkan penyesalan.

Aku hendak membuang tatapan keluar jendela kembali ketika suara Mas Yudha terdengar menerpa telingaku.

"Tumben diem aja, Re. Lagi nggak enak badan?" Mas Yudha melirikku dari kaca spion tengah. Jika biasanya aku sangat menyukai perhatian kecil semacam ini, tapi sekarang aku tak terlalu bahagia karenanya.

"Nggak, Mas." Aku mencoba tersenyum kaku. "Aku emang paling nggak suka datang melayat. Bikin suasana hati buruk," imbuhku beralasan.

"Eh, kenapa kita nggak makan es krim rame-rame?" usul Diandra dengan berseru. Gadis itu melirikku meminta persetujuan.

"Boleh. Ide bagus, tuh." Faris adalah orang pertama yang menyatakan persetujuannya.

"Beli es krim di minimarket aja, deh." Mas Yudha memberi saran dari balik kemudinya.

"Kenapa?" Diandra menyahut dengan nada kecewa.

"Aku sudah terlalu tua buat makan es krim kayak gitu, Di...."

"Ah, Mas Yudha ini kolot banget, sih. Mana ada peraturan yang melarang orang dewasa makan es krim? Nggak ada kan?" Diandra mengajukan argumen kebenaran. "Gue bener, kan?" Ia menatapku meminta dukungan dan aku menyambutnya dengan anggukan kepala mantap.

"Diandra bener, Mas." Aku membela pernyataan Diandra dengan verbal.

"Iya, iya. Aku ngalah, deh." Mas Yudha pasrah. "Tapi kalian yang bayarin, ya?" Laki-laki itu tersenyum.

"Okay. Kali ini aku yang traktir," ucap Diandra mengajukan diri dengan sukarela.

"Nah, gitu dong, Di. Yang sering ya?" Kepala Faris menoleh ke belakang. Laki-laki itu cengengesan.

"Dasar," maki Diandra sambil mengibaskan tangan di depan wajah Faris. Sedangkan aku hanya tersenyum melihat adegan itu.

Yeah, setidaknya es krim akan membuka ingatanku kembali pada laki-laki itu. Tapi aku berharap perasaanku sedikit lebih baik setelah menghabiskan semangkuk es krim.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top