part 31
Ini sudah lebih dua hari, bukan? Bahkan sudah terlewat empat hari sejak aku mengunjungi Oma. Tapi, kenyataannya sampai detik ini ruangan Wang Lei masih kosong. Apa laki-laki itu belum kembali dari Taipei? Atau dia masih beristirahat pasca penerbangan Taipei-Jakarta?
"Renata!"
Aku tergagap mendapat tepukan keras yang mendarat di lengan cardigan hitam polos yang membungkus tubuhku. Diandra sudah berdiri menghadang langkahku begitu keluar dari toilet. Entah apa yang membuatnya selalu bersemangat untuk berteriak pada siapa saja yang ditemuinya.
"Ada apaan? Bikin orang kaget aja. Jantung gue sampai deg-degan, tahu nggak?" hardikku melampiaskan rasa kesal. Aku membelalakkan kedua mataku lebar-lebar ke arahnya.
"Ada gosip baru soal Bos kita, Re. Lo mau tahu nggak?" Diandra menarik lenganku merapat ke dinding koridor tanpa mempedulikan reaksiku. Mimik wajahnya terlihat dua kali lebih serius dari biasa.
"Gosip?" ulangku seperti orang linglung. Dalam sekejap aku sudah melupakan betapa ulahnya sudah membuat kinerja jantungku meningkat dari sebelumnya. "Apaan emangnya?" tanyaku terbata. Ada kekhawatiran tersendiri yang tiba-tiba menyeruak di dalam hatiku ketika melihat wajah Diandra.
"Oma Bos masuk rumah sakit," bisik Diandra to the point dan sukses membuatku terkejut bukan kepalang.
"Oma masuk rumah sakit? Dia sakit? Bukannya...." Aku hampir keceplosan mengatakan pada Diandra kalau beberapa hari yang lalu aku mengunjungi rumah Wang Lei dan wanita tua itu tampak baik-baik saja. Ia tampak sehat tanpa menunjukkan gejala penyakit apapun. Bahkan ia terlihat senang mendapat kunjunganku. Bukan itu saja, Oma juga memberiku sebuah cincin bermata berlian yang masih kusimpan di laci kamar kos. Sampai sekarang, aku masih belum tahu apa yang akan kulakukan dengan benda itu. Ada beberapa pilihan sih, menyimpan, menjual, atau mengembalikannya. Tapi, untuk sementara ini aku akan menyimpannya.
"Ya, iyalah dia sakit. Ngapain juga ke rumah sakit kalau nggak sakit," tukas Diandra dengan nada menyebalkan. Meski begitu apa yang ia ucapkan memang benar.
"Sakit apa dia? Kok, lo tahu kalau Oma masuk rumah sakit?" Baiklah, aku sangat penasaran soal ini. Jadi, aku terus mengorek informasi sedalam-dalamnya dari gadis itu.
"Gue nggak tahu Oma sakit apa. Yang jelas tadi gue nggak sengaja denger Pak Wirya lagi ngobrol di telepon dan dia bilang kalau Oma sakit. Sebenernya gue mau nanya lebih lanjut, tapi nggak jadi. Nggak enak sama Pak Wirya, Re. Ntar dikira gue kepo soal pribadi Bos kita," oceh gadis itu menjelaskan kronologis dari mana ia mendapat berita tentang Oma. "Kenapa lo nggak telepon Bos aja, Re?" Gadis itu memberi ide jitu.
Aku terdiam. Diandra benar. Aku memang harus menelepon Wang Lei untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan begitu aku tidak perlu menebak-nebak apa yang menimpa Oma.
"Kenapa malah diem? Telepon dia sekarang, Re." Diandra mengguncang kedua lenganku guna menyadarkan aku dari keterpakuan.
"Okay."
***
Itu Wang Lei, batinku saat melihat sosoknya dari kejauhan. Laki-laki itu tampak duduk terpekur di depan sebuah kamar VIP. Terlalu sulit untuk menebak jika hanya melihat wajah Wang Lei yang tampak pasi. Dan situasi ini membuatku menjadi ragu untuk mendekat padanya.
"Gimana keadaan Oma?" tegurku setelah sampai di dekat kursi yang diduduki Wang Lei.
"Kamu sudah sampai?" balasnya seolah tak menggubris pertanyaanku. Laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menatapku tanpa ekspresi.
"Bodoh," makiku spontan. "Apa ada hal lain yang lebih penting ketimbang keadaan Oma? Aku tanya gimana keadaannya, Lei." Aku meletakkan pantat di sebelahnya dengan kesal. Sedari tadi aku cemas memikirkan keadaan Oma, tapi dia malah bertanya hal yang sama sekali tidak penting.
"Kamu mencemaskan Oma?"
Aku memutar kepala ke samping dan melancarkan sorot mata tajam padanya. Tentu saja, batinku. Kenapa masih bertanya?
"Lei...."
Laki-laki itu menarik napas panjang dan berat. Aku harus melontarkan pertanyaan seperti apa agar ia mau memberitahu keadaan Oma yang sebenarnya?
"Dia sudah pergi, Re," ucap Wang Lei dengan suara paling rendah. Namun, bagiku seperti sambaran petir di dekat telingaku.
Aku tercekat mendengar pengakuan Wang Lei. Dadaku serasa dihantam sesuatu benda yang besar dan keras sehingga membuatku sesak napas. Tubuhku gemetar dan energiku seperti terserap oleh kursi yang sedang kududuki.
"Nggak mungkin, Lei," ucapku dengan bibir bergetar. Beberapa hari yang lalu Oma masih terlihat baik-baik saja dan tidak kekurangan sesuatu. Ia bahkan mengembangkan senyum lebarnya saat melihat kedatanganku.
"Dia meninggal pagi tadi," ucap Wang Lei sejurus kemudian. Nada suaranya berat dan ekspresi wajahnya begitu suram. Meski begitu aku sama sekali tak menemukan setitik air matapun di wajahnya.
"Kenapa nggak memberitahuku, Lei?" protesku dengan suara serak. Dan selapis kabut tipis mendadak turun menghalangi pandanganku.
Tak ada jawaban yang terucap dari bibir Wang Lei. Tentu saja, sekarang laki-laki itu sadar kalau aku bukanlah seseorang yang penting dalam hidupnya. Aku hanya pilihan acak saat Oma masih ada. Dan sekarang, kurasa semuanya sudah kembali pada keadaan semula sebelum kesalahpahaman yang disengaja Oma memaksa kami mengenal lebih dekat.
Segenap perhatian yang diberikan Wang Lei hanya untuk membahagiakan Oma. Kenapa aku melupakan hal itu?
Aku bergegas bangun dari tempat dudukku ketika seorang wanita berkulit putih pucat berlarian ke arah kami. Parasnya cantik dan rambut panjangnya tergerai bebas. Mungkin ia kakak Wang Lei atau kerabatnya. Entahlah. Aku hanya menduga.
"Mau ke mana, Re?"
Samar-samar aku mendengar suara Wang Lei di belakang punggungku. Tapi ujung high heelsku terus bergerak menjauh dari tempat itu seolah tak pernah bisa dicegah oleh apapun juga. Aku berjalan dan terus berjalan keluar dari rumah sakit dengan langkah gontai.
Tempatku bukan di antara keluarga Wang Lei yang sama sekali tidak kukenal. Bahkan untuk bisa melihat wajah Oma yang terakhir kali, mungkin aku tak berhak. Kehadiranku hanya sebagai hiburan terakhir wanita tua itu. Dan Wang Lei juga adalah korban dari permainan yang Oma ciptakan. Jadi, untuk apa aku di sana?
Aku bukan siapa-siapa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top