part 30

Sampai detik ini aku masih belum tahu apa yang mesti kulakukan dengan cincin pemberian Oma kemarin. Menyimpannya? Aku tidak akan tenang seumur hidupku dengan menyimpan benda berharga seperti itu. Kurasa aku sama sekali tidak berhak memiliki cincin itu. Bisa saja itu adalah benda warisan turun temurun di keluarganya, sementara aku kan sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. Apa kukembalikan saja pada Oma?

Tidak bisa! Oma pasti akan tersinggung dan bisa-bisa ia akan marah besar padaku. Mungkin juga ia akan mengatakan kalau aku tidak menghormati dan menghargai wanita tua itu. Bagaimana kalau kujual saja lalu membeli mobil baru? Bodoh! Itu tindakan paling konyol yang pernah terpikirkan olehku. Bagaimana jika tiba-tiba salah satu anggota keluarga mereka meminta benda itu kembali suatu hari nanti? Bisa-bisa aku masuk penjara karena dituduh mencuri, kan?

Apa kukembalikan saja pada Wang Lei?

"Faris!"

Ah. Lamunanku terhempas begitu saja ketika suara cempreng Diandra meneriakkan nama Faris. Laki-laki itu mendadak muncul dari balik pintu dan terkesiap begitu Diandra menyambut kehadirannya dengan teriakan kencang.

"Apaan sih lo? Teriak-teriak nggak jelas," sahut Faris langsung memasang wajah sewot. Hari ini adalah pertama kalinya ia masuk pasca ibunya meninggal. Jadi, wajar jika Diandra berteriak sekencang itu.

"Yee, gitu aja sewot," gerutu Diandra balas memonyongkan bibir.

"Lo nggak ngambil cuti beberapa hari lagi, Ris?" timpalku dengan ekspresi serius. Faris masih dalam suasana berduka dan kurasa kurang etis kalau aku mengajaknya beradu debat.

"Nggak, Re. Adik-adik gue juga udah masuk sekolah mulai hari ini. Lagian kalau di rumah terus yang ada malah kita sedih," balasnya sambil mengukir senyum tipis. Laki-laki itu langsung menuju ke meja kerjanya. "Apa ada yang kangen sama gue, guys?" kelakarnya sejurus kemudian.

"Nggak ada." Diandra menyahut cepat. "Kecuali ibu penjual mie ayam samping gedung. Dia kangen berat sama lo," lanjut gadis itu sambil terbahak cukup keras.

"Garing banget candaan lo, Di," cetus Faris berkomentar. Yeah, candaan Diandra memang kelewat garing dan sama sekali tidak bisa mengundang tawa. Kecuali dirinya sendiri. "Gue laper banget, nih. Ada yang bawa makanan nggak? Lo nggak bawa gorengan, Re?"

"Nggak."

"Tumben banget lo nggak beli gorengan? Pas gue laper juga," gerutu Faris dengan mimik memelas.

"Renata lagi sakit tenggorokan, Ris. Dan lama sembuhnya. Lo beli aja gorengan sono, ntar gue juga nitip," seru Diandra dari mejanya.

"Ogah banget. Kenapa nggak lo aja yang beli sono," timpal Faris tak mau kalah.

"Ris." Bibirku tak sabar untuk menimpal perdebatan kecil diantara mereka berdua. "Kenapa selama ini lo nggak pernah cerita kalau ibu lo sakit?" Aku mendekap kedua lengan dan mengarahkan kursi menghadap ke arah meja Faris. Bersikap seolah-olah sedang menginterogasi saksi.

"Renata bener." Diandra mengeluarkan jurus bawelnya. Padahal aku sedang bertanya dan Faris belum mengeluarkan sepatah jawabanpun. Eh, Diandra sudah menukas. "Gue sama Renata nggak habis pikir sama lo, Ris. Lo itu kan sahabat kami, harusnya kalau ada apa-apa tuh cerita sama kita. Emang sih, mungkin kami nggak bisa banyak membantu, tapi seenggaknya ada tempat lo buat berbagi," cerocos gadis itu lebih panjang dari kalimatku sebelumnya.

Faris hanya menatapku dan Diandra bergantian. Lalu bibirnya merekahkan sebuah tawa kecil. Sikapnya benar-benar aneh dan memaksaku harus melotot ke arah Diandra untuk melempar kode 'Faris sehat?'

"Guys," Faris menghentikan gelaknya sejurus kemudian. "kalian segitu pedulinya sama gue?" tanya laki-laki itu dengan menonjolkan tampang terbodoh yang dimilikinya.

"Astaga," desisku seraya menepuk jidat. Sementara dari arah meja Diandra terdengar jeritan daebak yang tersendat. "Lo sehat, Ris?" Aku merasa jengkel dan ingin sekali melempar high heels ke wajah Faris.

Sialnya, Faris malah meledakkan deraian tawa keras. Laki-laki itu benar-benar keterlaluan. Padahal aku dan Diandra sudah menunjukkan empati padanya, tapi Faris malah menanggapinya dengan bercanda. Menyebalkan, bukan?

"I'm fine, guys" ucapnya setelah berhasil meredakan tawa. "Gue emang paling nggak suka mengumbar kehidupan pribadi gue sekalipun sama temen sendiri. Pada intinya gue nggak suka dikasihani. Kalian paham?" Kali ini Faris mendelik ke arahku lalu kepada Diandra.

"Tapi tetep aja lo butuh tempat untuk berbagi, Ris. Seenggaknya beban di hati lo udah berkurang. Ya kan, Di?" Aku menatap Diandra untuk meminta dukungan penuh dan harapanku terwujud lewat anggukan kepala gadis itu.

"Renata bener, Ris. Gunanya sahabat itu untuk berbagi suka dan duka," sambung Diandra sok bijak.

"Ya, deh. Thanks udah sebegitu perhatiannya sama gue. Kirain kalian berdua cuma bisa nge-bully gue doang. Nyatanya kalian bisa jadi temen yang baik," kekeh laki-laki itu kembali bercanda.

"Lo mau dihajar, Ris?" tanyaku seraya mengangkat kepalan tangan ke udara. Aku paling tidak suka saat aku bicara serius malah ditanggapi bercanda seperti ini.

"Galak amat, Re. Jadi takut gue," ucap Faris dengan lagak dibuat-buat.

"Emang sekali-kali Faris perlu dikasih pelajaran, Re." Sahabat tercintaku menyahut dari meja kerjanya.

Aku mengembuskan napas panjang. Berhubung Faris masih dalam suasana berduka, kali ini aku akan memaafkannya dengan sukarela. Tapi, jangan harap ada pengampunan dariku setelah ini.

"Ntar siang gue traktir kalian berdua makan mie ayam di samping gedung, gimana?" tawarku setelah mengenyahkan kekesalan dari hatiku. "Mumpung gue lagi baik hati."

"Okay!"

"Sip, Re!"

"Aku nggak ditraktir juga?" sahut Mas Yudha yang tiba-tiba muncul di ruangan tim kreatif kami. Laki-laki itu datang di saat yang tepat.

"Mas Yudha mau?" cengirku. Sumpah, Mas Yudha adalah kelemahanku. Segalak apapun diriku, tapi kalau ada Mas Yudha aku pasti jadi jinak dalam sekejap.

"Mau dong, Re. Itu juga kalau kamu ikhlas." Mas Yudha bergegas menuju ke tempat duduknya.

"Mana mungkin aku nggak ikhlas sih, Mas."

"Emang lo lagi ultah, Re?" Faris menimpal.

"Nggak. Ultah gue masih lama. Lagian kalau gue ultah, gue pasti minta kado sama lo," ucapku sambil terkekeh.

"Dasar!"

"Biarin!"

"Hei, kok kalian yang jadi berantem sekarang?" seru Diandra melerai perdebatanku dengan Faris. Biasanya aku yang melerai pertengkaran mereka berdua, tapi sekarang keadaan malah terbalik.

"Oh, ya, Re. Hari ini kamu harus survei lokasi kan? Biar kamu ditemeni Faris aja ntar. Nggak pa pa, kan?" Mas Yudha menyambung sedetik kemudian.

"Okay, Mas. Tapi, ada pinjeman alat transportasi, nggak?"

"Boleh. Tapi mampir pom bensin, ya."

Huft.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top