part 28
"Kenapa diem aja, Re? Sakit gigi? Atau tenggorokan lo masih sakit? Kok gorengannya dianggurin?"
Aku mencebik mendengar sederet pertanyaan tidak penting yang dilempar bibir merah Diandra.
"Gue lagi nungguin obat sakit kepala yang gue minum bereaksi," selorohku sambil meliriknya sekilas.
"Kenapa? Lo sakit kepala gara-gara mikirin Bos yang udah dua hari ini nggak masuk?" tebak Diandra sambil menggoyang-goyangkan sebuah pulpen di tangannya. Sungguh, aku sangat terganggu dengan kegiatannya itu.
Ya, kemarin aku memang tidak melihat batang hidung Wang Lei di kantor. Bukan hanya batang hidungnya saja, tapi keseluruhan sosoknya sama sekali tidak kulihat. Ruangannya kosong sedari pagi sampai sore. Hari ini juga sama. Akan tetapi, aku sakit kepala bukan karena memikirkan laki-laki itu.
"Emang dia ke mana?" tanyaku dengan agak tersendat.
"Mana gue tahu." Diandra menjawab dengan nada cuek dan kedua bahu mengedik acuh. "Kenapa lo nggak nanya langsung sama dia? Lo masih nyimpen nomor teleponnya, kan?" Gadis itu memberi ide cemerlang. Tapi, aku tidak bisa serta merta menerimanya. Demi gengsi dan harga diriku, kenapa aku harus mencari tahu keberadaan Wang Lei?
"Ngapain gue harus telepon dia?"
"Bego." Kata itu langsung menguap dari bibirnya. "Kan lo tadi barusan nanya dia ke mana. Inget nggak?"
"Tapi gue cuma iseng, Di."
"Iseng doang atau emang lo peduli sama dia?" Diandra menatapku penuh dengan curiga. Sepertinya ia ingin aku mengakui kalau aku benar-benar peduli pada Wang Lei.
Mas Yudha masuk di saat yang tepat. Bisa dibilang ia adalah pahlawan yang sudah menyelamatkanku dari sorot mata Diandra yang seakan ingin mengintimidasi.
"Pagi," sapa Mas Yudha hangat. "Tenggorokan kamu sudah sembuh, Re?" Sebelum melangkah ke meja kerjanya, Mas Yudha sempat melirik kantung kresek berisi gorengan milikku.
"Belum, Mas," cengirku dengan rasa bersalah.
"Dasar bandel. Sudah tahu sakit tenggorokan masih beli gorengan. Ntar kalau tambah parah gimana? Mendingan kamu periksa ke dokter, gih. Penyakit sepele kalau dibiarkan tetep aja ganggu, Re," urai Mas Yudha dengan tampang galak. Tapi, segalak-galaknya Mas Yudha, tetap saja tak mengurangi rasa kagumku padanya.
"Iya, tuh. Marahin aja, Mas. Renata tuh emang nggak bisa dibilangin."
Sial. Diandra malah berubah jadi kompor untuk membela Mas Yudha guna menyerangku.
"Iya, iya. Gorengannya buat lo aja, Di. Puas?"
"Thank you, Re!" teriak Diandra berdecak girang. Dalam hitungan tiga detik gadis itu sudah berhasil menyambar kantung kresek milikku dari atas meja.
Mas Yudha hanya mendesah panjang melihat kelakuan Diandra. Dasar rakus!
"Faris belum masuk hari ini, Mas?" tanyaku beralih topik.
"Belum. Mungkin besok baru masuk. Kenapa? Kamu kangen sama dia?" Mas Yudha tergelak. Setidaknya ia sudah mencoba menggodaku.
"Idih, mana ada kangen-kangenan sama Faris," celutukku sewot. "Eh, tapi Mas... Emang selama ini Faris nggak pernah cerita kalau ibunya sedang sakit?"
"Nggak. Makanya aku juga kaget denger kabar itu. Selama ini Faris kelihatan ceria dan baik-baik aja. Siapa sangka dia menyembunyikan beban seberat itu," tutur Mas Yudha.
"Aku juga nyesel udah ngatain dia pelit, Mas," ucapku mengutarakan penyesalan terdalamku.
Mas Yudha hanya mengukir senyum tipis di bibirnya usai mendengar pengakuanku.
"By the way, si Bos ke mana, Mas? Kok nggak kelihatan?"
Pandangan mata Mas Yudha beralih ke meja Diandra. Gadis itu menimpal dengan topik baru. Mungkin ia sedang berusaha membantuku untuk mencari tahu keberadaan Wang Lei. Tapi, untuk apa juga ia melakukannya. Toh, aku tidak akan memberinya upah untuk usahanya itu.
"Nggak tahu." Mas Yudha sedikit mengedikkan bahu. "Mungkin Pak Wirya tahu. Dia kan masih ada hubungan kekerabatan sama Bos."
"Oh." Bibir Diandra membulat seketika. "Aku baru tahu kalau Pak Wirya masih ada hubungan keluarga sama Bos," gumam gadis itu seraya kembali menggoyang-goyangkan pulpen di tangannya.
Masa bodoh, batinku dengan mengalihkan perhatian ke layar komputer. Mau ada hubungan kekerabatan sama Bos atau tidak, itu sama sekali bukan urusanku.
***
"Re! Lo ngapain di dalem? Lama banget? Cepetan keluar napa?!"
Suara cempreng Diandra terdengar menggema di seluruh penjuru toilet. Belum lagi tangan usilnya yang terus-terusan menggedor pintu WC dengan keras. Sepertinya aku harus menghubungi bagian keamanan gedung agar menghentikan aksi gadis gila itu.
"Re! Cepetan dong!"
Arghhh! Dasar perusuh!
"Apa?!" Aku membuka pintu WC semenit kemudian.
"Lo tuh lama banget di dalem...."
"Kenapa? Lo kebelet?" tanyaku geram.
"Nggak," jawab gadis itu dengan melengkungkan senyum jail di bibirnya yang terlihat lebih merah dari sebelumnya. Ia pasti memoles bagian itu sebelum melakukan aksi menggedor pintu WC.
"Terus? Ngapain lo gedar-gedor pintu kayak orang gila, hah?" hardikku dengan ketus. Kedua tanganku sudah berada di pinggang dan memasang tampang sangar. "Bikin orang kesel aja, tahu nggak?!"
"Sorry, Re." Diandra terkekeh dengan wajah polos tak berdosa.
"Emang lo mau ngapain sih? Nggak bisa nunggu gue semenit aja?" tanyaku sewot.
"Semenit apaan? Lo di dalem sana udah lebih dari sepuluh menit, tahu nggak?"
Diandra menyusul langkahku menuju wastafel.
"Emang kenapa? Nggak boleh?" Aku melotot ke arah Diandra yang sudah berdiri di depan cermin sembari menata poni.
"Gue mau ngajakin lo ketemu sama Pak Wirya."
"Pak Wirya? Mau ngapain? Lo mau nyuri ide dari tim Pak Wirya?" Aku bergegas mencuci kedua tangan lalu menarik beberapa lembar tisu yang tersedia tak jauh dari wastafel.
"Bukan, Re."
"So?"
"Bukannya lo pingin tahu kenapa Bos nggak masuk dua hari ini?"
"Emangnya gue pernah bilang kalau gue pingin tahu kenapa dia nggak masuk dua hari ini?" tanyaku ketus.
"Masa sih lo nggak pingin tahu soal Bos? Gimana kalau terjadi apa-apa sama dia?" tanya Diandra seolah ingin menakutiku.
"Terjadi apa-apa gimana maksudnya?" tanyaku bingung.
"Bisa aja dia lagi sakit, jatuh, kecelakaan, atau..."
"Stop." Aku menghentikan segala pengandaian negatif yang meluncur beruntun dari bibir Diandra. "Maksudnya lo berdoa supaya dia kenapa-napa, gitu?"
"Ya nggak gitu, Re. Maksud gue, kalau lo pingin mastiin keadaan dia baik-baik aja, telepon dia sekarang. Nggak mungkin dia nggak masuk kerja tanpa suatu alasan yang penting, kan?" jelas Diandra menguraikan saran.
Aku tak menjawab. Selama beberapa detik aku menyusuri wajah Diandra dengan tatapan bingung. Kenapa aku harus melakukannya? batinku seraya melangkah keluar dari dalam toilet.
"Re."
"Kenapa gue mesti menelepon dia?" tanyaku ketika tubuh kami sudah berada pada satu garis lurus. Diandra berusaha menyamakan langkahnya denganku.
"Karena gue merasa itu perlu," sahutnya enteng. "Karena lo sama dia punya sebuah hubungan yang spesial. Yeah, meski itu bukan hubungan pacaran, tapi kalian lumayan deket kan?"
"Maksud lo apaan? Mau nyomblangin gue sama Wang Lei kayak Omanya, gitu?"
"Emangnya lo mau gue comblangin?" goda Diandra sambil mencolek pundakku. Deraian tawa lepas dari bibirnya.
"Ogah banget," gerutuku sambil balas mendorong punggung sahabatku itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top