part 27

Mungkin selama ini aku terlalu picik menilai segala sesuatu. Bagiku yang terlihat di luar adalah sesuatu yang harus kupercayai. Aku selalu mementingkan lapisan terluar tanpa mencari tahu lapisan kedua, ketiga, dan seterusnya. Dan pada akhirnya aku disadarkan oleh kenyataan yang faktanya sungguh di luar dugaan. Menyesal? Tentu saja.

Faris--aku sering menyebutnya sebagai laki-laki playboy nan pelit dan tak jarang aku memakinya karena enggan mentraktirku makan siang atau gorengan sekalipun--ibunya meninggal semalam karena penyakit asam urat serta darah tinggi yang dideritanya selama bertahun-tahun. Wanita itu meninggalkan Faris dan kedua adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMU untuk selama-lamanya. Sedang Ayah Faris sudah meninggal sejak Faris masih duduk di bangku kuliah.

Nyatanya Faris tidak seburuk apa yang kupikirkan selama ini. Ia memang pelit mentraktir makan siang, tapi Faris punya alasan sendiri kenapa enggan melakukannya. Laki-laki itu adalah tulang punggung keluarganya. Bayangkan saja, ia harus membiayai sekolah kedua adik perempuannya dan membayar sejumlah obat yang harus dikonsumsi ibunya secara rutin. Dan kejamnya aku yang sering menodongnya traktiran juga menjadikan hal murahan seperti itu sebagai olok-olokan. Ya, Tuhan. Aku ini disebut apa?

Faris bukanlah playboy. Aku dan Diandra saja yang menyimpulkan demikian karena ia kerap menggodaku. Nyatanya dia adalah laki-laki yang sangat bertanggung jawab pada keluarga dan aku tahu itu tidaklah mudah. Beban di pundaknya teramat berat. Tapi, laki-laki itu menyembunyikan semua dibalik sikapnya yang ceria dan terkadang konyol. Yeah, apapun yang ia lakukan, aku mengagumi Faris dari lubuk hatiku yang paling dalam.

Laki-laki itu terlihat duduk di ruang tamu ditemani Mas Yudha dan beberapa kerabat yang lain. Beberapa lembar tikar sengaja digelar di sana sebagai alas duduk karena sesekali tamu masih berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Samar-samar aku menemukan raut kedukaan terlukis di wajah Faris, tapi laki-laki itu berusaha untuk terlihat kuat dan tegar. Ia selalu mengembangkan senyum saat menyalami tamu yang datang. Entah bagaimana jika aku berada di posisinya. Aku tak yakin bisa sekuat Faris.

"Lo mau minum, Re?" Diandra menyodorkan air mineral yang dikemas dalam gelas plastik ke dekat tanganku sekaligus membuyarkan lamunan-lamunan kecil yang berkeliaran di dalam kepalaku.

Aku menggeleng tanpa suara. Rasanya aku tidak ingin memasukkan apa-apa ke dalam mulut di tengah suasana berduka seperti sekarang.

"Rasanya gue nyesel banget udah ngatain Faris yang nggak-nggak," gumamku setelah meredam perasaanku sendiri. Aku bisa menciptakan genangan air mata dalam sekejap jika saja Diandra tidak bersuara menawarkan minum padaku tadi.

"Gue juga," balas gadis itu setengah berbisik. "Kenyataannya dia jauh lebih baik dari yang kita kira. Faris nyebelin. Kenapa dia nggak pernah cerita kalau ibunya sakit? Kalau tahu gitu gue juga nggak bakalan minta traktir sama dia, Re."

"Dia nggak pingin kita tahu, Di." Aku menyahut dengan suara lirih.

"Tapi mestinya dia nggak nyimpen beban itu sendirian, Re. Kita kan sahabatnya..."

"Ya, lo bener. Tapi, kayaknya Faris bukan orang yang suka berbagi beban, Di."

Hening sejurus kemudian. Aku dan Diandra sama-sama mengunci mulut masing-masing. Aku hanyut dengan pemikiran dan sejumlah penyesalan di dalam hati. Mungkin juga hati Diandra dipenuhi dengan setumpuk penyesalan sama sepertiku.

"Re." Diandra menyikut lenganku tiba-tiba. Membuatku kelabakan karena tingkah usilnya.

"Apaan sih, Di? Ngagetin orang aja," gerutuku dengan suara pelan. Aku tak bisa memaki gadis itu sesuka hati dalam suasana seperti sekarang.

"Tuh." Dagu Diandra bergerak menunjuk ke arah pintu masuk. "Bos dateng," bisiknya.

Aku mengalihkan tatap ke arah yang dimaksud Diandra dan menemukan sosok Wang Lei sedang melangkah masuk diikuti Pak Wirya beserta anak buahnya. Yeah, diakui atau tidak, Wang Lei memang memiliki aura bintang. Wajah orientalnya memang mencolok di antara sekian orang yang ada di ruang tamu. Jangan lupakan juga penampilannya yang paling rapi di antara sekian banyak tamu yang hadir. Kami, orang-orang yang berkecimpung dalam dunia periklanan memang tidak menjadikan penampilan sebagai prioritas utama.

"Kirain dia nggak dateng," bisik Diandra, tapi sama sekali tak kugubris. Namun, saat aku mencuri pandang ke arah Wang Lei, tatap mata kami sempat bertemu. Alhasil, aku harus buru-buru mengalihkan pandangan ke sudut lain. "Beneran lo nggak ada hubungan apa-apa sama Bos? Lo sama sekali nggak punya perasaan sama dia?"

Aku melirik gadis di sebelahku. Menyebalkan, keluhku dalam hati. Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi perasaanku.

"Gue nggak suka membahas itu sekarang, Di. Lo lupa kita sedang berada di mana?" bisikku di dekat telinganya dengan geram. Harusnya ia berpikir jika ingin berbincang denganku. Tema dan tempat sangat tidak sesuai.

"Tapi gue perhatiin sejak tadi Bos ngelihatin lo terus, Re." Gadis itu balas berbisik di dekat telingaku.
Hah? Masa, sih? Kami hanya sekali berbagi tatap tadi. Selanjutnya, aku lebih memilih mencari fokus lain untuk ditatap.

"Masa bodo," desisku mencoba tak terpancing kata-kata Diandra.

"Mau balik sekarang?" sapa Mas Yudha yang tiba-tiba berjongkok di dekat kami.

"Okay." Aku dan Diandra mengiyakan dengan serempak. Kami bergegas pamit pada Faris dan kerabatnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top