part 25

Apa aku memang pilihan acak?

Tangan kananku bergerak menarik sebuah buku novel dari dalam rak secara asal. Bahkan aku hanya melihat dominasi warna merah marun saat memutuskan untuk mengambil benda itu. Barisan kata-kata yang tertera di sisi buku sama sekali tak bisa terpindai oleh sepasang mataku.

Inilah yang disebut sebagai pilihan acak, batinku. Dan Wang Lei juga melakukan hal yang sama meski dengan alasan yang berbeda. Terlalu banyak buku yang terpajang di dalam rak sehingga aku kebingungan untuk memilih. Sementara Wang Lei hanya melihat satu pilihan di depan matanya dan itu aku.

Aku menimang buku novel bersampul merah marun itu dan kembali melanjutkan langkah. Sepertinya aku harus membeli beberapa buah novel lagi meski tak yakin punya waktu untuk membacanya. Tapi, lagi-lagi langkahku harus berhenti. Bukan karena aku akan melakukan pilihan secara acak lagi, tapi smartphone milikku bergetar.

Wang Lei? batinku. Bahkan aku membiarkan panggilan darinya terabaikan selama beberapa detik lamanya karena harus meredam keterkejutan dari hatiku.

"Halo."

"Kamu sudah sampai, Re?"

Suara kalem nan penuh perhatian itu langsung terdengar begitu aku mengucapkan kata 'halo'. Sumpah, ia berhasil mengejutkanku dengan ulah manisnya ini.

"Aku lagi di Gramedia," ucapku sambil mengangkat buku di tanganku. Bodoh. Mana bisa Wang Lei melihat buku novel yang kupilih secara acak dan kini bersarang di dalam genggaman tangan kiriku?

"Oh. Kenapa nggak langsung pulang dan istirahat? Kamu sudah makan?" cecar laki-laki itu seolah aku ini pacar yang menjadi prioritas utama baginya. Dan perhatian semacam itu sempat membuatku kembali mengenang Danang.

"Kenapa tiba-tiba perhatian seperti ini padaku?" Aku malah mencecarnya dengan pertanyaan lain.

Sekian detik lamanya aku hanya mendengar suara tawa lirih. Laki-laki itu jelas-jelas menertawakan pertanyaan konyolku.

"Aku hanya bertanya, Re. Bukan memintamu untuk jadi pacarku."

Bingo. Dia benar. Tapi menurutku ini masuk dalam kategori aneh.

"Apa kamu sedang melakukan pendekatan padaku?" tanyaku tanpa basa basi.

"Kamu merasa seperti itu?"

"Lei," desisku kesal. Harusnya ia ada di depanku sekarang dan melihat bagaimana sangarnya wajahku.

Tapi, lagi-lagi aku mendengar suara tawa lirihnya. Sekali lagi laki-laki itu menertawakanku. Bukankah akhir-akhir ini ia sering tersenyum dan tertawa?

"Uhmm...anggap saja seperti itu," ucapnya usai menghela napas panjang. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, Re."

"Pertanyaan yang mana?" tanyaku sambil berusaha mengingat percakapan kami sebelumnya.

"Kamu sudah makan?"

"Oh, belum," sahutku cepat dan sebuah buku novel bersampul putih dengan sedikit taburan bunga sakura langsung kutarik dari dalam rak. Novel kedua yang kupilih secara acak. "Itu pertanyaan klasik, Lei. Semua orang bertanya hal yang sama pada orang yang disukainya dan buatku itu sangat membosankan," tandasku tegas.

"Kamu mau kujemput?"

Eh. Laki-laki itu suka sekali mengalihkan topik pembicaraan dengan tiba-tiba, ya?

"Nggak usah. Bentar lagi aku balik, kok."

"Jangan makan gorengan lagi, Re. Kamu tahu kan, makanan berminyak nggak baik buat kesehatan."

"Lei."

"Apa?"

Aku menahan napas sejenak. "Jangan memaksakan diri, Lei. Kamu nggak perlu bersusah payah mendekatiku hanya untuk menyenangkan hati Oma. Bukankah kamu bilang dia akan mengerti?" Suaraku sepelan detak nadiku. Ada saatnya aku bicara sangat serius seperti sekarang setelah beberapa menit yang lalu aku sempat terbang karena perhatian manis Wang Lei. Dan aku harus bergegas mematahkan sayap pengharapan yang sempat ia tawarkan tadi. Jika perhatian-perhatian kecil itu ia lakukan demi Oma, bagaimana dengan hatiku?

"Re..."

"Oma akan baik-baik aja, kan?" potongku cepat. Aku sengaja tak memberinya kesempatan untuk bicara karena aku tahu apa yang akan ia katakan. "Aku minta jaga kesehatannya," pintaku sebelum ia berhasil membuka suara.

"Aku selalu berusaha menjaganya sebisaku, Re. Jangan khawatir."

Aku menarik napas lega usai mendengar pernyataan Wang Lei. Meski ia bukan nenekku, tapi hati kecilku masih dipenuhi dengan rasa kemanusiaan.

"Syukurlah. Aku harus membayar bukuku, Lei. Bye."

***

Aku langsung melempar hasil perburuanku ke atas kasur begitu sampai di kos lalu merebahkan tubuh di sampingnya. Tiga buah novel yang bahkan sama sekali tak bisa kuingat judul maupun nama pengarangnya. Aku mengambil napas panjang sembari memejamkan mata. Berusaha sekuat tenaga mengusir beban yang mendera kepalaku dan membuatnya berdenyut. Tapi gagal total. Faktanya aku baru saja menghempaskan buku-buku novel yang kubeli secara acak di atas kasur seolah benda-benda itu tak berharga. Bagaimana dengan hati yang dipilih secara acak? Apa ia akan berakhir sama seperti buku-buku itu? Terhempaskan begitu saja. Apa Wang Lei tidak akan mencampakkanku nantinya, terlebih jika Oma telah tiada? Tidak ada yang bisa menjamin ia tidak akan meninggalkanku, bukan?

Aku harus menghentikannya. Ya, Wang Lei harus berhenti memberiku perhatian-perhatian kecil atau aku akan semakin terlena dan merajut sayap agar bisa terbang lebih tinggi lagi. Lalu setelah aku nyaris menyentuh awan, ia akan menghempaskan tubuhku dalam sekali entakan. Wuss... Dan endingnya, aku jatuh, terkapar dengan mengenaskan. Aku tidak mau berakhir seperti itu. No!

Aku tersentak dan membuka mata ketika smartphone milikku bergetar singkat. Ada pemberitahuan masuk. Jangan-jangan Wang Lei, batinku gusar. Belum apa-apa ia sudah membuatku paranoid.

Ternyata aku salah besar. Pasalnya dari tadi pikiranku terus-terusan dipenuhi sebaris nama Wang Lei. Jadi, jangan salahkan jika aku menebak ia yang mengirim pesan ke smartphoneku.

Reuni fakultas?

Sebuah undangan reuni baru saja masuk ke alamat emailku dan berhasil membuatku tertegun. Siapa sih, yang begitu genius menemukan ide untuk mengadakan reuni fakultas? Ini bukan akhir tahun atau musim liburan, tapi kenapa ada yang merencanakan kegiatan semacam itu? Kurang kerjaan banget. 

Aku benci reuni! batinku sembari menghempaskan smartphone ke samping tubuh. Aku yakin, di dunia ini ada beberapa orang yang tidak menyukai kegiatan reuni karena beberapa alasan. Kurasa belum punya pasangan adalah alasan terbanyak kenapa orang enggan datang ke acara reuni. Bingo! Aku termasuk salah satunya.

Tidak. Jangan mengharapkan kehadiranku pada reuni kali ini. Lagipula siapa yang akan merindukan orang sepertiku? Seorang tomboy yang berkeliaran di kampus dengan kuncir kuda dan setumpuk buku di tangan hanya untuk terlihat sedikit pintar.

Kurasa lebih baik aku segera tidur dan mimpi indah malam ini. Abaikan undangan reuni itu, okay?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top