part 24
"Mas Yudha!"
Dengan setengah berlari, suara teriakan yang menggema di area lobi, aku bergerak mendekati sosok Mas Yudha yang telah sampai lebih dulu di depan lift. Laki-laki itu menoleh dan ketika mata kami bersitatap, ia langsung menyunggingkan senyum kecil di bibirnya. Meski kedua matanya bersembunyi di balik kacamata minus, aku bisa melihat binar cerah terpancar di sana.
"Hei," sapanya hangat. "Udah baikan, Re? Tenggorokan kamu udah sembuh?" cecar Mas Yudha setelah aku sampai di dekatnya.
"Belum." Kepalaku menggeleng cepat dan aku berusaha mengatur napas. Padahal tadi aku cuma berlari beberapa meter saja, tapi sudah ngos-ngosan. Efek tak pernah olahraga kali, ya?
"Kalau belum sembuh, kenapa beli gorengan, hah? Bandel banget," cetusnya sambil menghadiahi sebuah sentilan cukup keras di atas keningku.
Aku meringis menahan sakit akibat sentilan tangan Mas Yudha yang jatuh di keningku. Tapi, bukannya marah, aku malah tertawa sedetik kemudian.
"Nggak tega sama abang tukang gorengan, Mas. Habisnya dia manggil-manggil terus," celutukku seraya menatap iba ke arah kantung kresek yang menggantung di tangan kananku.
"Bisa saja kamu," seloroh Mas Yudha sambil terkekeh. Tapi, sejurus kemudian ekspresi wajahnya berubah. "Bos? Baru sampai?" tegur laki-laki itu dengan menatap lurus ke belakang punggungku. Bos dia bilang? Jangan katakan kalau Wang Lei ada di belakangku...
"Ya."
Huft. Suara itu memang milik Wang Lei dan aku belum sempat menoleh ketika laki-laki itu beringsut ke sampingku. Membuatku kehilangan nyali seketika. Apa ia melihat tingkah konyolku bersama Mas Yudha tadi?
Pintu lift terbuka dan aku merasa diselamatkan oleh keberuntungan kali ini. Karena tak perlu ada suasana canggung antara kami bertiga saat menunggu lift. Tapi, tetap saja aku hanya bisa menutup mulutku rapat-rapat ketika berada di dalam kotak besi itu. Sementara Mas Yudha dan Wang Lei saling bertukar basa basi tak penting.
"Udah sembuh, Re? Padahal gue rencananya mau jenguk lo ntar sore," sambut Faris dari balik monitor komputernya. "Gue khawatir sama lo, Re," imbuhnya membuat perutku langsung mual.
"Idih, gombal banget," timpal Diandra. Gadis itu selalu mencuri start di saat aku hendak melancarkan sesuatu dari mulutku. Tapi, ya sudahlah.
"Thanks, Ris. Lo nggak usah repot-repot jenguk gue. Lagian gue juga nggak bakalan cepet sembuh kalau dijenguk sama lo," celutukku sambil meletakkan kantung kresek berisi gorengan di atas meja Diandra. "Buat lo aja, deh. Gue masih libur makan gorengannya. Ntar kalau gue makan gorengan, dimarahi sama Mas Yudha lagi," lanjutku sambil melirik ke meja laki-laki yang barusan kusebut.
"Terus maksudnya, lo pingin gue ikutan sakit tenggorokan gitu?"
Eh? Bukannya berterimakasih, Diandra malah menuduhku yang tidak-tidak. Dasar!
"Ya udah, kalau lo nggak mau biar gue yang makan." Aku mengambil kembali kantung kresek itu dan memindahkannya ke atas mejaku dengan kesal.
"Gitu aja marah, Re. Gue kan cuma bercanda. Sini balikin!" seru gadis itu dengan nada memaksa.
Huh. Aku mengembuskan napas kuat-kuat dan melaksanakan perintah Diandra.
"Gue juga mau, Re."
Makhluk bernama Faris ikut menimpal. Makanan apa sih, yang tidak ia suka?
"Whatever."
***
"Kamu memanggilku?"
Aku menegur Wang Lei yang sedang duduk menekuri berkas-berkas di atas meja kerjanya. Beberapa menit yang lalu aku menerima pesan pribadi darinya dan langsung meluncur ke ruangan laki-laki itu. Aku bahkan sudah mengetuk pintu, tapi ia tak memberi jawaban.
"Kamu sudah baikan? Bagaimana tenggorokanmu? Masih sakit?" cecar laki-laki itu setelah mengangkat wajah dan menatapku dengan sepasang mata sipitnya.
Sumpah, aku hampir mengangakan mulut mendapat sejumlah serangan pertanyaan semacam itu. Aku hampir saja terbang karena terlalu geer dengan perhatian yang ia tujukan padaku. Tapi, faktanya aku mendapati kedua kakiku masih berpijak di lantai.
"Ya, masih agak sakit," sahutku dengan terbata.
"Aku kan sudah bilang jangan makan gorengan," tandasnya. Memang, malam itu Wang Lei sempat memperingatkan padaku agar menjauhi gorengan dan sebangsanya, tapi entah kenapa tadi pagi aku tidak bisa mengabaikan panggilan abang tukang gorengan yang mangkal di depan gedung kantor. "Kamu sudah ke dokter?"
Ya, ampun, batinku hampir tertawa. Buatku sakit tenggorokan seperti ini adalah penyakit yang dibiarkan beberapa hari juga sembuh dan tidak perlu dokter untuk menanganinya. Lagipula aku bukan orang yang gemar mengunjungi dokter atau rumah sakit hanya karena penyakit sepele.
"Nggak. Ntar beberapa hari juga sembuh, kok."
Wang Lei terlihat menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak akan lagi meminta kamu untuk pacaran denganku."
Hah? Kenapa tiba-tiba beralih topik seperti ini dan membuatku terkejut setengah mati?
"Lalu Oma?" Satu-satunya hal yang langsung terbersit di dalam benakku adalah wanita tua itu. Ia seperti terobsesi denganku dan bagaimana jika Wang Lei bersikeras menentang keinginan Omanya? Apa ia akan baik-baik saja? Apa Wang Lei bisa menjamin Oma akan makan teratur?
Laki-laki itu menyunggingkan senyum tipis. "Dia adalah Omaku. Jadi, dia adalah tanggunganku..."
"Apa dia akan baik-baik saja?" tukasku cepat.
"Dia pasti akan mengerti," jawab Wang Lei dengan nada tenang. Seolah ia bisa menjamin segalanya akan baik-baik saja.
"Begitukah?"
Ah, kenapa aku bertanya seolah-olah aku meragukan ucapan Wang Lei?
"Dari awal Oma sudah tahu kalau kita memang nggak pernah pacaran, jadi dia harus menerima kenyataan itu. Memaksa seseorang agar mau menjadi pasangan cucunya kedengaran konyol, kan?" Wang Lei berusaha menyunggingkan senyum pahit, namun gagal parah. Ia terlihat seperti robot. Mengenaskan.
"Dia hanya ingin cucunya bahagia, Lei," sahutku pelan. "Karena dia pikir selama ini kamu sendirian dan kesepian."
"Kesepian nggak akan membuat seseorang mati, kan?"
Aku tercekat mendengar kalimat Wang Lei barusan. Kalimat itu terlihat seperti anak panah yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Secara tidak langsung ia ingin menunjukkan jika ia semengenaskan itu. Laki-laki itu kesepian! Meski ada Oma di sampingnya, tapi apa yang ia harapkan dari wanita tua itu?
"Kenapa kamu nggak mencari seseorang..."
"Aku sudah menemukan seseorang itu, tapi dia menolakku."
Aku tersenyum pahit. Aku bisa langsung tahu jika yang ia maksud adalah aku.
"Hei, aku bukan pilihan acak, Lei. Masih banyak gadis di luar sana yang bisa kamu temukan. Jatuh cinta karena hatimu yang ingin, bukan karena Oma yang menginginkannya. Kamu ngerti, kan?" Aku menatapnya lekat-lekat, mencermati setiap lekuk di wajahnya. Dan aku masih tidak menemukan bayangan Baekhyun di sana. Diandra sialan!
"Kenapa kamu selalu menyebut dirimu pilihan acak? Bukannya kita ketemu lebih dulu ketimbang kamu ketemu Oma?"
"Ya, kamu bener. Tapi, seandainya aku nggak ketemu Oma, apa kamu akan minta pacaran denganku?" Aku balas menyerang argumennya. "Nggak, kan?"
Agh. Demi apapun juga, aku ingin melempar sepatu hak tinggiku ke wajah oriental itu saat ia mengembangkan deraian tawa renyah. Laki-laki itu benar-benar tampan. Yeah, akhirnya aku harus mengakui jika ia bisa merontokkan hatiku kapan saja.
"Ini semua konyol, tahu nggak?" Aku memutar bola mata ke atas, mencari laba-laba atau kecoa yang mungkin bersarang di plafon. Menatap serangga jenis apapun akan membuatku lebih nyaman ketimbang terus menatap wajah laki-laki itu. "Aku balik dulu, Lei. Membahas ini membuat kepalaku pusing, tahu nggak?"
Aku membalikkan badan dan segera mengayunkan sepatu hak tinggiku keluar dari ruangan Wang Lei setelah meluncurkan kalimat tidak formal padanya. Kalau saja ia bukan bosku, aku pasti sudah mengumbar kata lo-gue padanya. Tapi, kabar buruknya ia benar-benar atasanku.
Duh, aku harus segera menelan sebutir obat sakit kepala secepatnya!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top