part 23
Sebenarnya apa yang kupikirkan semalam? Tidak. Sebenarnya apa yang sudah kukatakan pada laki-laki itu? Aku atau dia yang konyol? Kenapa aku merasa sekarang dirikulah yang terlihat konyol? Bagaimana mungkin aku bisa berucap sok-sokan seperti salah satu pemeran protagonis dalam drama Korea semalam? Kalau Diandra orangnya yang berlagak bak aktris negeri ginseng, aku sangat memakluminya. Dia penggemar berat drama Korea dan rasanya hampir semua judul ia pernah tonton. Tapi aku? Wuah.... Aku lebih suka memeluk bantal daripada begadang semalaman demi menyelesaikan beberapa episode karena terserang sindrom penasaran.
Dalam perjalanan pulang semalam, bahkan Wang Lei menyempatkan diri untuk mampir di sebuah apotek 24 jam guna membelikanku obat sakit tenggorokan. Aku tidak pernah bilang padanya kalau aku punya sedikit gangguan pada tenggorokan, tapi secara tidak sengaja ia mendengar percakapanku dengan Diandra di kantor. Lalu apa maksud semua itu? Ia yang semula bersikap dingin, cuek, dan kadang menyebalkan, tiba-tiba berubah baik. Apa itu tidak mencurigakan namanya?
"Renata!"
Suara cempreng Diandra terdengar bersamaan dengan gedoran di pintu kamar kosku. Gadis itu berhasil mengenyahkan bayangan Wang Lei jauh-jauh dan mengembalikan kesadaranku.
"Lo nggak bisa pelan dikit?" tegurku dengan gaya ketus. Aku membuka pintu dan mendapati gadis itu cengengesan. Tapi, kabar baiknya aku melihat sebuah kantung plastik minimarket menggantung di tangan kanannya.
"Sorry, Re. Kirain lo tidur."
Aku bergegas masuk dan melompat ke atas tempat tidurku tanpa mempersilakan Diandra untuk masuk. Gadis itu sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika bertandang ke kamar kosku.
Beberapa menit kemudian kami sudah mengambil posisi di atas tempat tidur sembari nyemil biskuit cokelat yang dibawa Diandra. Aku duduk bersila sambil memeluk bantal, sementara Diandra berbaring dengan smartphone di tangan.
"Apa tenggorokan lo separah itu sampai bolos kerja segala?"
Kupikir ia tidak tertarik untuk membahas alasan kenapa aku bolos hari ini, tapi nyatanya aku salah.
"Nggak juga." Aku menyahut dengan gaya santai sambil menikmati setiap gigitan biskuit cokelat. "Lo khawatir sama gue?"
"Nggak juga. Tapi tadi Bos nanyain lo," beritahunya dan hampir membuatku tersedak.
"Wang Lei nanyain gue?"
"Ya. Emang ada apa antara kalian berdua? Soal Oma lagi?" Diandra masih menatap layar smartphone-nya, tapi bibirnya terus mengajakku ngobrol.
"Sebenernya semalem gue dianter dia pulang. Dan lo tahu dia bilang apa? Dia ngajak gue pacaran, Di," ungkapku sejujurnya. Tinggal menunggu reaksi Diandra, apa ia se-terkejut yang kubayangkan atau tidak.
"What?! Daebak!" Gadis itu serta merta bangun dan duduk bersila di depanku. Raut wajahnya menampilkan setumpuk rasa ingin tahu. "Terus lo mau pacaran sama dia?" tanya Diandra tak sabar.
Tapi, aku mengecewakannya dengan sebuah gelengan pelan. "Gue nggak mau," sahutku sambil memasukkan kepingan biskuit ke dalam mulut.
"Bego. Kenapa nggak mau? Dia kan ganteng, Re. Daripada si Danang lo itu, Wang Lei jauh lebih baik dilihat dari segi manapun," celutuk Diandra seperti tanpa berpikir terlebih dulu.
Benar-benar kelewatan tuh anak. Masa dia mengataiku bego di depan wajahku. Tapi, Diandra benar soal Danang. Wang Lei jauh lebih baik dari mantan pacarku yang brengsek itu. Setidaknya Wang Lei belum pernah berselingkuh di belakangku.
"Dia ngajak gue pacaran bukan karena dia suka gue, Di. Tapi karena Oma yang minta."
"Nggak masalah," tukas Diandra sigap. "Kalau gue sih, mau-mau aja. Bayangin aja Re, punya pacar kayak Baekhyun, siapa sih yang nggak seneng?"
"Kalau gitu lo aja yang pacaran sama dia!"
"Terus Banyu dikemanain?"
"Terserah lo. Emang gue pikirin!"
Buk.
Bantal yang semula berada dalam dekapan tanganku, sedetik kemudian melayang dan menimpa wajahku. Sial.
"Apa lo pikir enak pacaran sama orang yang nggak cinta sama lo?" tanyaku melempar pengandaian pada Diandra usai menyembunyikan bantal di belakang tubuhku.
Kedua bahu Diandra merosot. "Lo bener sih, Re. Parahnya lagi kalau lo beneran jatuh cinta sama dia, tapi dia nggak kunjung suka sama lo. Bisa-bisa lo mati ngenes," ucap gadis itu sembari menerawang ke satu titik di tembok kamarku. Ada sebuah foto kami berdua yang terpasang di sana sebagai simbol persahabatan abadi kami.
"Tapi lo seneng kan, kalau gue mati ngenes?" balasku menggoda.
"Enak aja," sahutnya sewot. "Eh, terus gimana Oma? Dia udah mendingan?" Diandra mencomot sekeping biskuit dari tanganku dengan gerakan secepat kilat. Padahal itu adalah keping biskuit terakhir.
"Ya," anggukku sembari melotot kesal dan buru-buru mencari cemilan lain dari dalam kantung kresek minimarket yang Diandra bawa. Untungnya aku menemukan sebungkus kripik kentang rasa sapi panggang di sana.
"Lo kan masih sakit, Re. Jangan makan itu dulu, deh. Ntar sakit lo tambah parah," ucap Diandra memperingatkan disertai lirikan tajam ke arah tanganku yang bersiap membuka bungkus kripik kentang.
"Kalau nggak boleh dimakan, kenapa tadi lo beli ini, heh?" protesku dengan suara kencang. Aku tak menggubris ucapan Diandra dan melanjutkan niatku membuka bungkus kripik kentang.
"Gue beli buat gue sendiri. Lo makan biskuit ini aja." Gadis itu bergegas merebut bungkus kripik kentang dari tanganku. "Nih buat lo," ucapnya seraya menyodorkan sebungkus biskuit susu ke hadapanku.
Aku melotot melihat tingkah gadis itu. "Ini kan biskuitnya anak-anak, Di."
"Nggak pa pa, Re. Itu rasanya enak banget, kok." Ia menderaikan tawa di saat mulutnya sedang mengunyah kripik kentang. Ini tidak adil buatku!
"Lo nginep aja di sini, Di," ucapku setelah perdebatan tak penting kami berakhir. Akhirnya aku mengalah dan memilih memasukkan biskuit susu pemberian Diandra ke dalam mulutku. Ternyata rasanya lumayan.
"Gue udah nyuruh Banyu buat jemput gue setengah jam lagi, Re. Sorry." Diandra memasang wajah menyesal, tapi itu sama sekali tidak berguna buatku.
"Gue udah lama nggak ketemu Banyu," gumamku tiba-tiba membahas topik tentang pacar Diandra.
"Kenapa? Lo kangen sama dia? Lo suka sama Banyu, Re?" Diandra langsung mencecar dengan tiga pertanyaan sekaligus. Kurasa reaksinya sangat berlebihan.
"Apaan sih, Di? Mana mungkin gue suka sama pacar sahabat gue sendiri?"
"Terus, kenapa lo tiba-tiba ngomongin Banyu?"
Aku menggeleng, berusaha mengusir pemikiran-pemikiran konyol dari kepalaku.
"Nggak," sahutku. "Gue cuma mikir, kalau aja Danang bisa setia kayak Banyu, mungkin gue nggak kayak gini sekarang, Di."
"Ya, ampun, Re. Lo masih mikirin Danang sampai sekarang? Sadar, Re. Cowok kayak gitu nggak pantes ditangisi, tahu nggak?" Diandra mengguncang lenganku pelan.
Aku tersenyum tipis. "Lo bener, Di."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top