part 21

"Mau ikut gue ke toilet?" tawar Diandra dengan memasang senyum mencurigakan di bibir merahnya. Ia bahkan tak memberiku kesempatan untuk meletakkan tas terlebih dulu. Gadis itu benar-benar gila. Padahal aku baru saja masuk ruang tim kreatif kami, lho.

"Apa-apaan sih lo, Di?" Tapi, protes yang keluar dari mulutku terbuang sia-sia. Diandra terlanjur mencengkeram lengan jaketku tanpa berkata sepatahpun. Gadis gila itu menyeretku dengan paksa menuju ke toilet meski Faris dan Mas Yudha menatap kami dengan pandangan penuh selidik.

"Sekarang lo jelasin, sebenernya ada hubungan apa lo sama Baekhyun jadi-jadian itu," suruh Diandra setelah menutup rapat pintu toilet dan memastikan tak ada orang lain di dalam sana. "Kemarin gue nungguin lo sampai sore dan lo nggak balik-balik, Re," ucapnya kembali dengan nada kesal.

Aku menyeringai melihat tingkah Diandra yang sangat menyebalkan itu. Aku yakin ia tidak tidur nyenyak semalam karena terus memikirkan soal aku dan Wang Lei. Entah apa yang menghuni kepala gadis gila itu.

"Jadi, lo menyeret gue ke sini cuma mau tanya soal itu?" Aku melipat kedua lengan,  memicingkan mata, dan memasang wajah jutek di hadapannya. Melihat tampang Diandra yang penasaran membuatku puas.

"Yes." Gadis itu mengangguk penuh keyakinan. "Itu soal besar, Re. Bukan cuma soal itu." Jari Diandra bergerak membuat tanda kutip di udara.

"Okay." Aku mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali sembari berpikir, kira-kira apa yang nanti akan kuceritakan padanya. Apa aku harus menceritakan semuanya? Tentang Oma dan soal permintaannya padaku untuk menikah dengan cucunya. "Kemarin gue balik kantor, kok. Tapi, emang agak sorean dikit, sih."

"Renata." Diandra menyela dengan sangat tidak sabar. "Gue nggak butuh penjelasan yang berbelit-belit kayak gitu. Waktu gue sangat berharga, tahu nggak? Hari ini gue harus bikin katalog kosmetik, ngerti?"

Aku terbahak dalam hati menyaksikan ekspresi yang ditampilkan wajah Diandra. Gadis itu benar-benar sudah terkontaminasi virus drama Korea. Lagak dan gaya bicaranya tak beda jauh dengan pemain drama saja.

"Beneran lo mau tahu?" Aku mendelik tajam ke arahnya. Mengulur waktu sekaligus menguji kesabaran sahabat terbaikku itu.

"Lo tuh bener-bener nyebelin ya, Re."

Satu pukulan cukup keras terpaksa mendarat di pundakku. Juga pelototan tajam dari sepasang mata berbingkai eyeliner hitam pekat milik Diandra.

"Lo mau janji nggak nyela selama gue cerita?"

"Gue janji." Dua ruas jari Diandra terangkat ke atas membentuk huruf V.

"Lo masih inget soal jaket gue yang ketinggalan di mobil Bos, kan?" tanyaku sebelum memulai kisah panjang. Dan kepala gadis itu mengangguk.

Beberapa menit kemudian, setelah aku menceritakan kronologis kejadian yang sebenarnya pada Diandra, gadis itu malah melongo menatap ke arahku. Tak ada tersirat keterkejutan atau semacamnya terlukis di wajah sahabatku itu.

"Cuma gitu doang?" komentarnya dengan mimik datar. Tapi sumpah, malah aku yang terheran-heran menyaksikan reaksinya.

"Gue udah cerita panjang-panjang dan lo cuma bilang, cuma gitu doang?" protesku dengan mengepalkan kedua tangan.

"Terus gue mesti bilang wow, gitu?" decaknya dengan senyum dibuat-buat.

"Sial," desisku gemas. "Oma Wang Lei minta gue nikah sama cucunya dan lo nggak ada panik-paniknya gitu?"

Diandra menghela napas panjang. "Sebenernya gue kaget banget denger cerita lo, Re. Tapi gue nggak yakin kalau cerita lo itu bener," ucapnya enteng.

"Kebangetan banget, sih. Mana pernah gue bohong sama lo, heh?" Aku mencubit lengan Diandra sampai gadis itu meringis kesakitan. "Gue serius, Di. Wanita tua itu pikir gue pacarnya Wang Lei dan dia pingin kami nikah. Gila banget, kan?" Aku berdecak sebal sambil memutar bola mata ke atas.

"Terus lo mau nggak?" desaknya ingin tahu.

"Ya nggak lah. Mana mungkin gue nikah sama orang yang sama sekali nggak gue kenal. Lo tahu, Bos kita itu jutek, dingin, dan bukan tipe gue. Emang sih, dia keren dan kalau senyum manis banget. Tapi, dia terlalu tinggi buat gue, Di. Gue kayak seekor hobbit kalau jalan di sampingnya..."

"Bukannya hobbit manusia juga?" timpal gadis itu memotong ocehanku. "Setahu gue hobbit itu manusia kerdil dari Flores, deh," imbuh Diandra setengah yakin dan tidak. Jari telunjuknya terlihat menepuk-nepuk pipinya sendiri.

"Whatever," sahutku cuek. "Pokoknya gue ogah nikah sama orang kayak gitu, Di. Lagian mana mungkin Wang Lei mau sama orang kayak gue. Lo tahu kan, gue sama dia beda kasta."

"Zaman sekarang mana ada kasta-kasta kayak gitu. Udah nggak relevan lagi, Re. Lo tahu kan, kalau orang biasa bisa menikah sama pangeran kerajaan? Pangeran Monaco contohnya...."

"Tapi, gue nggak mau jadi Cinderella. Paham?" delikku tajam.

"Gimana kalau Baekhyun jadi-jadian itu bersedia sukarela nikah sama lo?" tanya Diandra seakan ingin membuatku terpojok di sudut toilet. Sorot matanya mengunci setiap pergerakan tubuhku.

"Mau sama gue? Emang gue semenarik itu, heh? Nggak mungkin banget," ucapku sambil mengibaskan tangan kanan di depan wajah Diandra.

"Bisa jadi itu adalah permintaan terakhir Omanya, kan?" Diandra terlalu pandai membuat perumpamaan dari masalah yang sedang kami perdebatkan sekarang.

"Lo ngomong apaan, sih?" protesku cepat.

"Sebagai cucu yang baik, harusnya Bos melaksanakan wasiat Omanya, kan?" Gadis itu memperpanjang perdebatan.

"Gue tahu kalau nggak ada yang tahu soal umur, tapi gue nggak suka kalau Oma meninggal secepat itu. Yah, meskipun dia bukan keluarga gue." Aku bergumam pelan. Membicarakan soal kematian adalah sesuatu yang paling kutakuti di dunia ini.

"Terus gimana kalau dia beneran mau nikah sama lo? Apa lo menolaknya?" Diandra kembali ke topik awal karena seingatku, aku belum menjawab pertanyaannya soal itu.

"Ya, tentu," sahutku tanpa berpikir panjang. "Lo tahu, pernikahan di dunia nyata dan di dalam drama atau novel itu sama sekali berbeda, Di. Dan pernikahan tanpa dilandasi cinta di dunia nyata, nggak selalu berakhir dengan kebahagiaan. Jadi, gue nggak mau menikah dengan orang yang sama sekali nggak gue cinta," paparku mengutarakan pemikiran yang terlintas di dalam benakku.

"Emangnya lo nggak naksir sama Baekhyun jadi-jadian itu?" Tatapan Diandra mengintimidasi kali ini. Memangnya setiap gadis harus menyukai laki-laki itu?

"Nggak," gelengku cepat. "Interview-nya udah, kan? Gue mau balik ke meja gue, nih."

"Ya."

Baguslah, batinku sembari mulai mengambil langkah keluar dari toilet. Diandra ikut menyusul dan menjajari langkahku menyusuri koridor menuju ke ruang tim kreatif.

"Lo nggak bawa gorengan, Re?" tanya gadis itu.

"Nggak. Tenggorokan gue sakit...."

Agh. Momen yang sangat tidak tepat. Beberapa langkah di depan sana, sosok Wang Lei terlihat sedang berjalan ke arah kami. Langkahnya tampak teratur dan seperti biasa, gayanya tenang bak CEO muda nan tampan rupawan dalam drama Korea. Mungkin mereka punya bakat alam untuk bisa terlihat sekeren itu.

"Selamat pagi, Bos." Diandra menyapa dengan bermanis muka saat kami benar-benar sudah dekat. Sementara aku masih diam tanpa tahu harus berbasa-basi seperti apa. "Kok lo diem aja, Re?" Gadis itu berbisik ketika Wang Lei sudah berlalu dari hadapan kami.

"Gue kan bilang, kalau tenggorokan gue sakit."

"Kalau sakit kok lo bisa nyerocos panjang lebar tadi, hah?" Diandra berusaha mengejar karena aku mempercepat langkah.

"Gue terpaksa," selorohku asal. Aku langsung menuju ke meja kerja tanpa mempedulikan gadis bawel bernama Diandra itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top