part 19

Apa-apaan ini? Katanya ia ingin mengajakku bicara, tapi kenapa malah menyeretku masuk ke dalam mobil?

"Kita mau ke mana? Bukannya kita hanya perlu bicara?" cecarku dengan sangat tak sabar. Tapi, yang kuajak bicara sama sekali tak menanggapi pertanyaanku dan malah sibuk menjalankan mobilnya keluar dari area parkir. Bahkan aku tak sempat membawa dompet dan smartphone milikku. Semoga Diandra mau mengemasi barang-barang pentingku dari atas meja di warung mie ayam tadi. "Wang Lei!" Sumpah, aku sangat marah dan terpaksa meneriakkan nama laki-laki itu. Masa bodoh aku akan dipecat dari Dongsheng Group.

"Berhentilah berteriak karena kamu akan tahu setelah kita sampai di sana," balas laki-laki itu sembari menatapku tajam. Sorot matanya seolah ingin membekukan seluruh syaraf persedianku. Sial. Baru kali ini ada orang yang sedemikian kejam menatapku seperti itu.

Huft.

Aku sengaja mendengus keras-keras dan menyandarkan kepalaku dengan kasar. Dia bilang aku akan tahu apa yang terjadi setelah tiba di tempat yang ia maksud? Hei, apa susahnya menjelaskan, hah? Aku bisa memahami apapun yang ia katakan meski hanya dengan penuturan singkat dan aku tidak sesabar itu. Yeah, sayangnya aku tidak bisa mengeluarkan sederet kata-kata itu sekarang. Mungkin menunggu lebih baik. Whatever.

Eh, tapi kira-kira ada masalah apa, ya? Oma? Pak Sasongko? Iklan wafer keju? Sshh... Berhenti menduga-duga, Re.

Setengah jam perjalanan yang kami tempuh hanya berisi keheningan dan pemandangan jalan raya yang super duper sibuk. Jangan lupakan juga sinar matahari yang bersinar terik di luar sana, yah, meski di dalam mobil Wang Lei yang teramat nyaman ini menawarkan sensasi dingin yang menghanyutkan--otakku selalu dipenuhi kata-kata dalam iklan--debu dan polusi yang menyesakkan, dan juga ruang tanpa kata yang tercipta di antara kami berdua. Kebisuan semacam ini bisa membuatku ketiduran hanya dalam durasi beberapa menit saja.

Satu pertanyaanku terjawab ketika mobil yang kami tumpangi membelok ke pelataran rumah besar nan mewah yang kuketahui sebagai milik keluarga Wang Lei. Tiga hari yang lalu aku menyambangi rumah itu dan bertemu dengan Oma Wang Lei yang menceramahiku tentang banyak hal. Salah satunya tentang invasi bangsa Tiongkok pada zaman dulu. Ah ya, dan aku juga sempat mencicipi teh herbal warisan nenek moyang keluarga itu.

Wang Lei--lagi-lagi tanpa memberi penjelasan dan aku sudah terlalu enggan untuk bertanya--segera menyeretku masuk ke dalam rumahnya yang mewah itu. Dan langkah kami baru berhenti persis di depan sebuah pintu bercat putih.

"Sekarang kamu akan tahu kenapa aku membawamu ke sini." Wang Lei menatapku sebelum tangannya menyentuh kenop pintu.

Aku mengernyitkan kening, namun tak ada sepatah katapun yang ingin kusampaikan. Tinggal menunggu beberapa detik lagi untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan?

Tangan Wang Lei memutar kenop pintu dengan gerakan pelan dan tampaklah sebuah kamar tidur berukuran luas terbentang di depan mataku. Aku terkejut saat mendapati seseorang sedang terkapar di atas tempat tidur dengan selembar selimut menutupi sebagian besar tubuhnya. Tak salah lagi, wanita tua itu adalah Oma Wang Lei. Dan sebuah kantung infus tampak tergantung di sisi tubuh renta itu.

"Oma sakit?" tolehku ke arah Wang Lei. Tapi, laki-laki itu malah menutup pintu kamar dan bukannya mengajakku masuk untuk melihat kondisi Omanya.

Wang Lei mengangguk. Ia memberi isyarat dengan gerakan kepala agar aku bergegas melangkah mengikuti arah yang ia maksud.

Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja kulihat ketika Wang Lei mempersilakanku untuk duduk di salah satu kursi rotan yang menghuni teras samping rumahnya. Bukankah tiga hari yang lalu Oma terlihat baik-baik saja?

"Kamu tahu," Wang Lei membuka percakapan sekaligus mengalihkan perhatianku dari berspekulasi sendirian. "Oma bersikukuh pada pendapatnya sendiri."

"Maksudnya?" Sumpah, kalau kalimat Wang Lei ini benar-benar membuatku bingung.

"Oma tetap nggak percaya meskipun aku menjelaskan berkali-kali padanya kalau kita nggak pacaran," jelas Wang Lei kemudian. "Dia tetap berpikir kalau aku sedang berbohong dan menyembunyikan kebenaran darinya."

"What?" Aku mendesis saking herannya. Wanita tua itu bandel juga, ya?

"Sebenarnya Oma tahu kalau kita nggak pacaran, tapi dia bersikukuh membuat keadaan berbalik seperti apa yang dia inginkan."

Apalagi ini? Aku semakin tidak mengerti apa yang dibicarakan Wang Lei.

"Aku nggak ngerti dengan semua ini," tandasku dengan mengulas senyum pahit. Aku membuang tatapan ke arah lain dan mendapati sebuah kolam renang terbentang di depan mataku. Ah, siang yang panas seperti sekarang dan kolam renang yang tenang adalah perpaduan yang romantis, kan?

"Sudah dua hari Oma mogok makan," ungkap Wang Lei membuatku terperangah.

"Mogok makan? Kenapa?" cecarku tak sabar.

"Sudah kubilang tadi kalau dia bersikukuh dengan pendapatnya sendiri. Secara nggak langsung dia ingin kita mengakui kalau kita sedang pacaran. Paham?" Mata Wang Lei menajam ke arahku. Sepasang indra penglihatannya sedikit melebar dari biasanya.

"Hah?" Aku melongo. "Jadi dia ngambek? Gitu?"

"Tepat."

Gila! batinku histeris. Ini konyol. Dasar wanita tua.

"Gimana mungkin kita harus mengakui kalau kita pacaran kalau sebenernya kita nggak ada hubungan sama sekali. Maksudku kita hanya sebatas atasan dan bawahan," tandasku menyampaikan pemikiran. "Itu absurd."

"Oma hanya ingin melihat aku punya pasangan. Itu intinya."

Aku terbahak mendengar kalimat Wang Lei yang menurutku sangat jujur. "Maaf, aku keceplosan," ucapku setelah tersadar kalau hal yang kutertawakan sama sekali bukanlah lelucon. "Ya, semua orang tua pasti ingin anak atau cucunya punya pasangan, menikah, punya anak, dan hidup berbahagia. Aku paham," tandasku sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Aku baru sadar kalau rumah Wang Lei benar-benar nyaman.

"Makanya begitu tahu ada seorang gadis yang datang ke sini, dia bermaksud menjadikan gadis itu sebagai pacarku."

"Jadi dia memilih secara acak?"

Kepala Wang Lei mengangguk samar. "Mungkin," gumamnya tak begitu yakin.

"Dan demi semua itu dia sampai mogok makan segala. Kasihan..." Aku menggumam dan mengalihkan fokus pandangan mataku ke arah Wang Lei. Dan sial. Mata kami bersitatap selama beberapa detik lamanya. Sorot mata dingin itu sudah berubah teduh dan hangat. Sejak kapan? "Ah, jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?" Aku buru-buru menyadarkan diri sendiri dari keterpakuan selama beberapa saat tadi.

"Uhm?"

"Maksudku, jadi sekarang tugasku untuk menjelaskan pada Oma kalau kita nggak pacaran dan juga membujuknya untuk makan. Bener kan?" Aku mengutarakan hasil tebakanku.

"Apa itu akan berhasil meyakinkannya?" Laki-laki itu memicingkan mata saat memperhatikan ekspresi yang terlukis di wajahku.

"Kenapa nggak? Kita belum mencoba, kan?"

Tapi, laki-laki itu malah merekahkan sebuah senyum. Busyet! Aku berteriak histeris dalam hati. Untuk pertama kalinya--ini perlu dicatat di buku sejarah--laki-laki itu tersenyum kepadaku. Bukan. Lebih tepatnya menertawakan pendapatku. Tapi, harus kuakui kalau senyumnya manis. Pakai banget!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top