part 18
"Dua hari nggak ketemu lo rasanya kangen banget, Re," celutuk Faris semenit setelah pesanan mie ayam kami diantar. Gaya bicaranya sangat meyakinkan, tapi belum sempat aku menimpal, Diandra sudah menyahut terlebih dulu.
"Hoek, rasanya gue pingin muntah denger gombalan lo yang murahan itu," sahut Diandra tanpa canggung. Busyet tuh anak! Padahal di depan kami ada Mas Yudha, lho. "Renata nggak akan mempan sama jurus rayuan maut lo, Ris," imbuhnya dengan nada ketus.
Aku terkekeh pelan dan tidak terpancing untuk menimpal dengan nada-nada sarkastis. Karena ada Mas Yudha, setidaknya aku harus menjaga image.
"Gue tuh ngomong sama Renata, kok lo yang nyahut, sih? Nggak penting banget," gerutu Faris sebal.
"Yaelah, kan gue denger, Ris. Lagian Renata juga udah males nanggepin gombalan-gombalan lo yang nggak bermutu," cerocos Diandra yang tidak mau kalah.
"Guys," Aku mencoba menengahi. "kalian ini bawel banget, sih? Ada Mas Yudha tuh, hormatin dia dikit napa?"
Mas Yudha yang terang-terangan kusebut dalam kalimatku, mengembangkan senyum tipis.
"Emang dari dulu kalian nggak menghormati aku, kan? Guys?" Timpalan Mas Yudha tidak tanggung-tanggung. Ia bahkan menyindir kami semua. Laki-laki itu mulai mengaduk isi mangkuknya setelah menambahkan saus, kecap, dan sambal ke dalamnya.
"Nggak kok, Mas. Kami kan cuma bercanda doang," ujar Faris setengah kaku.
Aku terkekeh melihat Faris yang mati gaya. Sukurin! teriakku dalam hati.
"Oh, ya. Gimana syutingnya, Re? Sukses?"
Aku hampir tersedak ketika Mas Yudha beralih menatap dan menyebut namaku. Jangan tiba-tiba begini, Mas. Aku kan baru saja membuka mulut dan hendak menyuap.
"Sukses. Sekarang masih dalam tahap editing," jelasku singkat. Suapan pertamaku gagal total. Aku baru menyuap setelah menyelesaikan kalimat.
"Semalem tidur kamu nyenyak?"
Astaga naga! Aku benar-benar tersedak di suapan pertama. Pertanyaan Mas Yudha membuatku geer setengah mati. Sok perhatian banget sih, Mas, gerutuku dalam hati. Meski kenyataannya aku senang mendapat perhatian semacam itu.
"Nyenyak," sahutku usai menyeruput es teh manis kepunyaanku.
"Syukurlah. Kamu jelek banget kalau kurang tidur. Mata panda kamu juga sudah nggak ada," celutuk Mas Yudha membuatku terbang ke awang-awang. Huh. Andai saja laki-laki itu pacarku. Pacar? Oh. Kata-kata itu membuatku teringat akan Wang Lei. Pagi tadi aku menemukan jaketku di atas sandaran kursi. Anehnya benda itu sudah bersih dan wangi. Pasti Wang Lei yang sudah menyuruh salah satu asisten rumah tangganya untuk mencuci benda itu. Tidak mungkin dia mencuci jaket itu dengan tangannya sendiri, kan? Yeah, meski sikapnya jutek-jutek dingin, tapi hatinya baik juga.
"Biasalah, Mas. Semua orang di periklanan juga pernah kurang tidur." Aku balas menimpal dengan gaya santai sekadar menyembunyikan kebahagiaan kecil di wajahku.
"Tapi penampilan lo kenapa, Re? Balik lagi jadi Renata sang gembel yang pakai jeans robek-robek?" Tiba-tiba Diandra nyolot tak pakai sopan santun dan mengataiku 'sang gembel' pula. Anak ini minta dijitak rupanya. Padahal ada Mas Yudha dan Faris. Mereka jadi terbengong-bengong kan jadinya?
"Iya, Re. Padahal lo udah cantik kemarin. Sekarang pakai jeans robek-robek itu lo jadi sangar."
Sialnya Faris menimpal dan menambahi olok-olokan untukku. Sangar.
"Ini gaya casual, guys. Dan gue suka. Any problem?" sahutku cuek. Aku menatap Diandra dan Faris dengan tajam. Sembari menahan segudang omelan dalam hati.
"Tapi jangan setiap hari pakai gaya itu juga, Re," sahut Diandra sambil mengarahkan ujung garpunya ke wajahku. Gadis itu tidak bisa berpikir kalau benda itu bisa melukai wajah cantikku. "Orang jadi bosen ngelihatnya."
"Kenapa kalian nggak jalan-jalan ke mal untuk belanja?" Mas Yudha memberi ide cemerlang.
"Tumben Mas Yudha ngasih ide bagus," sahutku tanpa canggung. "Mas Yudha mau ikut?" tawarku dengan maksud tersembunyi.
"Nggak. Kalian aja," tolak Mas Yudha mentah-mentah. Padahal ia yang memberi ide, tapi ia pula yang meruntuhkan harapan yang sudah kubangun. "Aku ada pekerjaan."
"Aku bisa ikut, kok."
Seseorang yang sama sekali tidak kuharapkan untuk ikut malah menawarkan diri. Diandra pasti juga tidak mau menyertakan Faris ikut dalam acara jalan-jalan ke mal kami.
"Emang lo punya duit berapa? Lo mau bayarin belanjaan kita-kita?" cetus Diandra sengaja ingin menjatuhkan mental Faris.
"Ya ampun, Di. Lo tega banget. Masa gue harus bayarin belanjaan lo berdua? Bisa tekor gue ntar," gerutu Faris dengan memasang mimik menderita.
"Kalau bayarin belanjaan gue doang, lo mau?" Aku menyela bermaksud menggoda Faris.
Laki-laki itu nyengir kuda. "Tapi jangan banyak-banyak ya, Re."
"Dasar pelit, lo. Mana ada cewek yang mau sama lo kalau pelit kayak gitu, heh?" Diandra mencak-mencak mendengar jawaban Faris.
"Kalau ceweknya lo ya pasti nggak mau lah. Kan lo cewek matre, Di," balas Faris dengan nada sengit. Lalu sedetik kemudian ia tersenyum nyinyir.
Aku terbahak mendengar celutukan Faris yang jika dipikir-pikir benar adanya.
"Di dunia ini nggak ada cewek yang nggak matre, Ris. Cuma tingkat kematreannya beda-beda," cetusku usai meredakan tawa. "Eh, tapi ngomong-ngomong siapa ntar yang bayarin makanan kita? Lo, Ris?" Aku langsung menatap ke arah Faris.
"Bukannya kita patungan?" Faris celingak celinguk seperti orang bodoh.
"Patungan berarti bayar sendiri-sendiri, dong," celutukku kecewa. Padahal tadinya aku pikir makan siang kali ini gratis.
"Udah, biar aku aja yang bayar." Di saat gawat darurat seperti sekarang, Mas Yudha menimpal. Membuat kami bertiga langsung bernapas lega.
"Terus acara belanjanya jadi nggak nih?" Diandra meletakkan sendok dan garpu di atas mangkuknya yang sudah kosong.
Aku dan Faris belum sempat menjawab pertanyaan Diandra karena suara lain menyela percakapan kami.
"Bisa bicara sebentar?"
Kami berempat serempak melihat ke arah sumber suara. Seorang laki-laki berkulit putih pucat khas oriental, berbalut setelan jas hitam pekat, berpostur tinggi, bla bla...
Wang Lei sudah berdiri kaku di dekat meja kami. Laki-laki itu berhasil membungkam mulut kami berempat yang kini saling berpandangan satu sama lain. Atau dengan kata lain ia sudah mengganggu acara makan siang kami berempat.
"Bicara dengan siapa maksudnya?" Mas Yudha mewakili kami bertiga sebagai juru bicara. Ia kan ketua tim kami.
"Renata."
Aku tergagap dan melongo mendengar namaku disebut laki-laki itu dengan tegasnya. Bicara denganku? batinku linglung. Bukannya urusan jaket sudah selesai? Sedang masalah Oma, bukannya dia sudah berjanji akan memberi penjelasan ulang pada wanita tua itu? Lalu apa, dong? Pak Sasongko? Amit-amit, deh. Syuting iklan wafer keju sudah rampung dan sekarang dalam proses editing, jadi aku sudah tidak punya tanggung jawab soal itu.
Diandra menyikut lenganku cukup keras untuk membantuku menyadarkan diri.
"Bisa ikut denganku?" tegur Wang Lei seolah ingin memaksaku dengan cara yang halus. Tatapan matanya terlihat tak sabar untuk menyeretku pergi dari tempat dudukku. Padahal mie ayamku masih tersisa separuh dan perutku belum kenyang.
"Aku pergi dulu, guys," pamitku seraya mengangkat pantat. Sungguh, meninggalkan mereka bertiga disertai tatapan curiga plus penasaran rasanya sangat tidak nyaman. Tapi, aku tidak punya dan tidak bisa membuat pilihan lain.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top