part 16

"Minumlah," suruh Oma Wang Lei setelah ia menutup halaman terakhir album foto keluarganya. "Itu teh herbal, bagus untuk menjaga stamina tubuh. Dibuat dari tujuh macam daun obat dan akar-akaran yang dikeringkan. Kamu tahu, tradisi minum teh herbal seperti ini sudah diturunkan dari nenek moyang kami bangsa Tiongkok, lho. Konon mereka adalah para pedagang yang berlayar menjelajah lautan. Awalnya mereka datang ke tanah Jawa ini untuk berdagang, tapi lama-kelamaan mereka berbaur dengan penduduk lokal dan sebagian dari mereka kembali ke tanah Tiongkok. Dan sebagian lagi menikah dengan penduduk pribumi dan memutuskan untuk menetap. Mereka yang memutuskan tinggal di sini mengenalkan berbagai macam metode penyembuhan penyakit dengan obat-obatan herbal pada penduduk tanah Jawa pada zaman itu," papar Oma Wang Lei dengan tampang serius.

Aku hanya mengangguk samar dengan menyelipkan seulas senyum tipis sebagai respon kisah yang terurai manis dari bibir Oma Wang Lei. Yeah, meski itu hanya sopan santun belaka. Kupikir ia lebih mirip guru Sejarah ketimbang seorang oma-oma tua yang kepalanya dipenuhi dengan uban. Pengetahuan dan penjabarannya tentang sejarah terutama soal invasi bangsa Tiongkok ke Indonesia benar-benar luar biasa. Dua jempol untuk Oma Wang Lei.

Dan sebagai pelengkap sopan santun, aku juga harus mencicipi teh herbal warisan nenek moyang Wang Lei. Rasanya agak sedikit pahit, tapi aku tetap menelannya meski dengan susah payah.

"Sampai sekarangpun obat-obatan herbal semacam ini masih dilestarikan," lanjut wanita tua itu kembali. "Kamu tahu, obat herbal sama sekali nggak ada efek sampingnya karena terbuat dari bahan-bahan alami. Beda dengan obat kimia yang kebanyakan menimbulkan efek samping dan kadang-kadang nggak menyembuhkan. Bahkan penyakit-penyakit berat semacam kanker atau tumor bisa disembuhkan dengan obat herbal, kamu tahu?"

Wuah.... Aku berdecak kesal dalam hati. Kalau soal obat-obatan herbal yang konon tanpa efek samping, semua orang juga tahu. Ternyata selain menjadi guru Sejarah, Oma Wang Lei pantas menjadi tukang obat. Ingin sekali aku berteriak sekencang-kencangnya. Dasar Wang Lei sialan!

"Sepertinya kamu gadis yang baik," ucap Oma Wang Lei nyaris membuatku tersedak. Wanita itu sangat pandai bicara dan paling suka mendominasi percakapan. Apa yang dia bilang barusan? Aku gadis yang baik? Hoho. Aku merasa sedikit tersanjung mendengarnya. "Oma sih, setuju-setuju saja Lei menikah dengan siapapun, asal gadis itu baik dan setia."

Eh? Aku terperangah seperti baru saja tersentuh seutas kabel yang terkelupas dan teraliri aliran listrik bertegangan tinggi. Maksudnya???

"O..." Mulutku membulat dan urung melanjutkan kata-kata. By the way, wanita tua itu bukan nenekku, masa aku harus memanggilnya Oma? Sok akrab banget.

"Kamu mencintai Lei, kan?"

Nah, apalagi ini? Tadi saja aku sudah seperti tersengat aliran listrik bertegangan tinggi, lalu sekarang? Pantas saja dari tadi Oma Wang Lei terus mengoceh ke sana kemari tidak jelas. Bercerita tentang ini dan itu, membawa pikiranku flashback ke zaman peradaban lampau. Menyebalkan!

Jadi, wanita tua itu mengira aku pacar Wang Lei? Huh!

"Uhm... Sebenarnya...."

"Kenapa? Kamu malu mengatakannya?" Wanita tua itu menyerobot ucapanku. Padahal aku ingin sekali menjelaskan kesalahpahaman di antara kami. Aku datang ke sini hanya untuk mengambil jaket dan aku bukan pacar Wang Lei. Ada yang bisa membantuku untuk mengatakan hal itu pada Oma Wang Lei?

Aku mendesah. Tiba-tiba saja udara di sekitar tubuhku meningkat suhunya secara signifikan. Keringat dingin mengucur di pelipis kiri dan kananku. Bagaimana dan dari mana aku harus memulai penjelasan, ya? Sedangkan wanita tua itu tampak tidak sabar dan sok tahu. Harusnya ia bertanya dari awal aku siapa dan apa maksud kedatanganku ke sini, bukan malah berspekulasi tidak jelas seperti ini.

"Oma." Aku terpaksa memanggilnya dengan sebutan oma karena ini keadaan darurat.

"Oh, ya. Tadi Lei pamit ke rumah kakak perempuannya." Lagi-lagi wanita tua itu menyela sebelum aku sempat mengeluarkan kalimat. Harusnya sejak awal dia bilang kalau Wang Lei pergi, jadi aku bisa segera pamit dan tidak perlu mendengar ceramah dari bibir wanita tua itu. Ya, sudahlah. Biarkan saja dia bicara terus sampai bosan dan aku akan menguraikan kesalahpahaman ini jika saatnya tiba. "Ping Ping sedang demam, jadi Lei ke sana untuk menjenguknya. Sebenarnya Oma juga ingin pergi, tapi Lei melarang. Anak itu takut Oma ikutan sakit."

"Ping Ping siapa, ya?" gumamku tiba-tiba tertarik dengan sebuah nama lucu yang baru kali ini kudengar.

"Pingping itu keponakan Lei, anak kakak perempuan tertuanya. Kamu nggak cemburu, kan?" Oma Wang Lei memicingkan sepasang mata sipitnya.

Cemburu? Hah? Mendadak perutku mual mendengarnya.

"Oh, ya. Kalau begitu saya pulang dulu, Oma." Aku memanfaatkan jeda beberapa detik untuk pamit. Mumpung wanita tua itu sedang menyesap teh herbal yang konon bagus untuk menjaga stamina tubuh.

"Kenapa buru-buru? Kamu nggak mau nunggu Lei? Kita bisa ngobrol banyak atau kamu mau melihat album foto Lei yang lain?" cerocos wanita tua itu cerewet. Ia sedang berusaha keras untuk menahanku agar tetap tinggal menemaninya. Mungkin juga ia kesepian. Entahlah.

"Makasih, Oma. Saya pulang saja," ucapku seraya mengangkat pantat dari atas sofa. Kali ini aku tidak mau berlama-lama lagi tinggal di sana. Sungguh, ini seperti sedang membuang waktuku yang sangat berharga. Dengan kata lain, aku merindukan kasurku.

"Padahal Oma belum nanya-nanya soal kamu," ucapnya dengan nada menyesal. "Tapi lain kali kamu harus mampir. Siapa tadi nama kamu?"

"Renata," balasku pendek.

"Iya, Renata. Oma akan mengingatnya dengan baik. Kamu hati-hati di jalan, ya. Atau biar kamu diantar supir saja...."

"Nggak perlu, Oma. Saya bisa pulang sendiri," tolakku mentah-mentah. Aku harus pulang sekarang, batinku. "Jaga kesehatan ya, Oma." Aish, mulutku pandai berbasa-basi sekarang.

"Iya. Kamu juga harus jaga kesehatan dan baik-baik sama Lei." Wanita itu menepuk punggungku saat mengantarku ke depan pintu. Suasana yang mengharukan padahal kami baru saling mengenal. Kok bisa?

Sial! Ini jebakan Batman namanya. Aku terus mengomel dalam hati ketika melangkah keluar dari rumah Wang Lei. Harusnya laki-laki itu memberitahuku kalau sedang pergi agar aku tidak perlu datang dan bertemu Omanya yang cerewet luar biasa. Dan lebih parahnya ia menganggapku sebagai pacar cucunya. Dasar sok tahu!

Aku akan membuat perhitungan denganmu, Wang Lei! Dan jaketku? Huh. Mungkin aku harus belajar untuk merelakannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top