part 15

Seperti saran Diandra--yang menurutku benar, tapi sayangnya aku terlalu gengsi untuk mengakuinya--akhirnya aku mendatangi ruangan Bos. Iya, aku mengetuk pintu seperti yang dikatakan Diandra lalu menanyakan soal jaket yang kubeli dari gaji pertama pada Bos Wang Lei. Kupikir benda itu masih bersarang di salah satu sudut di dalam mobilnya, paling tidak benda-benda seperti itu biasanya akan diletakkan di jok belakang karena sewaktu-waktu akan diambil oleh pemiliknya. Namun, aku tidak beruntung kali ini.

"Aku menyimpannya di rumah. Datanglah kalau kamu ingin mengambilnya," tandas Wang Lei dengan nada cuek. Bahkan ia masih terpekur menatap layar laptopnya yang entah sedang menampilkan apa.

What?

Aku terperangah menatap makhluk yang konon kata Diandra mirip Baekhyun, padahal itu adalah fitnah sama sekali. Bagaimana bisa ia menyuruhku untuk datang ke rumahnya hanya untuk mengambil sebuah jaket yang baginya sama sekali tidak berharga?

"Apa Bos nggak bisa membawakannya untuk saya?" tanyaku hati-hati. Bahkan aku menggunakan suara pelan dan sopan. Pemilihan bahasaku pun juga halus. Sayangnya aku tak bisa memasang wajah memelas karena laki-laki itu tidak menatapku.

Tak ada jawaban selama beberapa detik sampai akhirnya ia mengangkat dagu.

"Kamu menyuruhku membawakan jaket itu?" Kedua alis Wang Lei terangkat ke atas. "Bukannya kamu yang meninggalkan benda itu di mobilku?"

Busyet!

Aku tertegun menatap laki-laki itu. Aku tahu ia bukanlah orang yang ramah atau suka mengumbar basa basi tidak penting. Bahkan aku belum pernah melihatnya tersenyum. Tapi, apa yang baru saja ia katakan, apa tidak keterlaluan, hah?

"Tapi...." Bibirku kelu. Rasanya seperti ada sebongkah es batu yang menghuni rongga mulutku saat ini sampai-sampai untuk berbicara pun sangat sulit kulakukan. Padahal aku hanya ingin bilang, apa susahnya sih membawakan jaket itu?

"Aku seorang pelupa," ucap laki-laki itu kemudian. Karena kalimatku juga urung untuk meluncur. "Aku ingin membawakan jaket itu buat kamu, tapi aku selalu lupa. Maaf, aku nggak punya ingatan yang bagus. Ah, kalau kamu nggak mau mengambilnya ke rumah, apa kamu mau menunggu beberapa hari lagi? Barangkali aku ingat kapan-kapan."

Oh.

Ribet banget sih, jadi orang, batinku heran. Apa segitu parah penyakit pelupanya?

"Uhmm." Rasanya aku perlu berpikir beberapa detik sebelum mengambil keputusan. "Baiklah, kalau gitu saya ke rumah Bos aja. Besok kan hari Minggu," ucapku setelah menimbang. Urusan jaket saja kenapa mesti serumit ini, sih?

"Oke. Aku akan mengirim alamatnya buat kamu."

"Ya."

***

Dan....di sinilah aku sekarang. Di hari Minggu siang nan panas dan menawarkan begitu banyak debu yang beterbangan di udara, aku sampai di depan sebuah rumah mewah berlantai dua yang didominasi warna putih yang terletak di kawasan perumahan elite. Berpagar besi dan dihiasi beberapa pohon palem yang tumbuh di beberapa titik di depan rumah.

"Makasih, Mas." Aku mengangsurkan sejumlah uang kepada abang tukang ojek online bukan langgananku usai melepaskan helm berwarna hijau dari kepalaku.

"Sama-sama, Mbak." Abang tukang ojek itu segera melesat pergi setelah menghitung uang pembayaranku. Meninggalkan sejumlah asap hitam ke sekeliling dan sempat membuatku terbatuk.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rumah itu tampak sepi dan hanya ada sebuah mobil berwarna hitam yang terparkir di dalam garasi. Seingatku mobil milik Wang Lei berwarna putih. Apa ia sedang mencoba menipuku, hah? Atau jangan-jangan ia sudah lupa dengan alamat rumahnya sendiri? Bukankah kemarin Wang Lei sempat bilang kalau ia adalah seorang pelupa berat? Whatever. Mari kita cari tahu dulu kebenarannya.

Seorang wanita berseragam hitam putih membukakan pintu gerbang selang beberapa menit setelah aku menekan tombol bel.

"Mau mencari siapa?" tanya wanita itu seraya menatapku dari atas sampai bawah. Pandangannya sarat dengan kecurigaan. Memangnya ada penjahat yang secantik aku, hah?

"Bener di sini rumah Wang Lei?" tanyaku berusaha sesopan dan semeyakinkan mungkin.

Wanita itu terdiam sejenak lalu mengangguk. "Masuklah," suruhnya seraya membuka pintu gerbang untukku.

Selama mengekor langkah wanita itu, aku tak berhenti berdecak dalam hati demi melihat betapa mewah dan megahnya rumah Wang Lei. Pohon-pohon kerdil yang tumbuh di dalam pot-pot berukuran besar terlihat menghiasi salah satu sudut pekarangan. Bunga-bunga anggrek dan beberapa jenis lain turut menghuni sudut lain dari tempat itu.

"Silakan masuk." Wanita itu mempersilakanku untuk masuk ke dalam sebuah ruang tamu yang dihuni satu set sofa empuk berwarna merah kehitaman. Di sanalah akhirnya aku disuruh duduk selama menunggu. Entah menunggu siapa karena rumah itu terlihat senyap.

Seorang wanita tua--mungkin usianya 60 atau 70, aku tidak terlalu pintar menghitung soal itu--muncul beberapa menit setelah aku menunggu. Ia tak terlalu tinggi dan punggungnya sedikit bungkuk. Rambutnya sebahu, ikal, dan dipenuhi dengan uban. Wajahnya juga dipenuhi dengan kerut-kerut halus. Sementara wanita yang berseragam hitam putih itu menyusul dari belakangnya dengan membawa sebuah nampan berisi minuman. Pasti untukku. Eh, tapi yang kucari kan Wang Lei. Kenapa malah wanita tua itu yang muncul?

"Akhirnya ada seorang gadis yang mencari Lei." Wanita tua itu bergumam tak begitu jelas disertai seulas senyum tipis menghias bibirnya. "Siapa namamu?" tanyanya usai mengambil tempat duduk di atas sofa panjang tak jauh dariku.

"Renata," jawabku singkat. Sumpah, aku seperti orang idiot yang sedang linglung karena tatapan wanita tua itu yang tak lepas mengarah ke wajah dan tubuhku. Membuatku merasa tidak nyaman. Sama sekali!

"Renata... Nama yang bagus," puji wanita tua itu seraya mengangguk-anggukkan kepalanya tak jelas. "Aku Oma-nya Lei."

Oh. Aku mengangguk samar. Jadi, laki-laki itu memberiku alamat yang benar, batinku lega.

"Jadi, sudah berapa lama kalian berhubungan?" desak wanita tua itu di kala aku hendak menanyakan keberadaan cucunya. "Apa Lei memperlakukanmu dengan baik?" tanyanya kembali padahal aku belum sempat memberi jawaban atas pertanyaan yang pertama.

Agh. Kenapa hanya untuk mengambil jaket saja, aku mesti dirundung begitu banyak pertanyaan?

"Lei memang bukan tipe orang yang pintar bergaul. Sejak kecil dia harus pulang pergi Jakarta-Taipei setiap beberapa bulan sekali. Makanya dia nggak punya banyak teman," tutur wanita tua itu kembali. "Lihat ini," suruhnya setelah mengambil sesuatu dari bawah meja.

Sebuah benda yang kuketahui sebagai album foto terulur ke tanganku sejurus kemudian. Dan dengan senang hati, tanpa kuminta wanita tua itu membuka halaman pertama untukku.

"Ini Lei waktu kecil," ucapnya dengan ujung telunjuk mengarah tepat ke sebuah gambar anak kecil berkaus putih. Usianya sekitar 3 atau 4 tahun dan bisa dipastikan itu adalah Wang Lei. "Saat kecil Lei sangat pendiam dan penyendiri. Tapi dia manis, kan?" Bibir wanita tua itu merekahkan seulas senyum bangga. Dan aku dengan bodohnya ikut tersenyum merespon cerita Oma Wang Lei.

Lalu setelahnya, wanita itu menunjuk foto kedua orang tua Wang Lei. Konon ayah Wang Lei adalah asli warga negara Taiwan, sementara ibunya orang Indonesia keturunan Tionghoa. Dalam kurun waktu setahun, mereka bisa tiga sampai empat kali terbang Taipei-Jakarta karena harus mengurusi bisnis keluarga. Sebagian besar kerabat ibu Wang Lei juga tinggal di Indonesia.

Usai memperkenalkan kedua orang tua Wang Lei, wanita tua itu menunjukkan foto kedua kakak perempuan cucunya yang kini sudah menikah dan memiliki keluarga kecil. Kakak perempuan tertua Wang Lei menikah dengan orang Indonesia asli bukan keturunan Tionghoa dan mereka tinggal beberapa kilometer dari rumah yang Wang Lei tinggali sekarang. Dan kabar baiknya mereka sudah dikaruniai seorang bayi perempuan. Sementara kakak keduanya menikah dengan orang Tiongkok dan menetap di negeri tirai bambu tersebut. Namun, mereka memutuskan untuk menunda memiliki anak karena suatu alasan.

Dan ocehan demi ocehan terus meluncur bak buku dongeng dari bibir wanita tua itu, sampai membuatku lupa akan tujuanku datang ke rumah Wang Lei. Jaket!

***



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top