part 14

"Lo survei lokasi bareng Baekhyun jadi-jadian itu?" Diandra memukul pundakku dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Sumpah, aku tidak tahu ia sengaja melakukannya atau tidak. "Terus dia nganterin lo pulang segala? Daebak! Jangan-jangan dia naksir lo, Re." Gadis itu berseru dengan gaya histerisnya.

"Diem lo." Dengan telapak tangan kanan, aku segera membungkam mulut bawel Diandra. Aku mencegatnya di depan lobi bukan untuk membicarakan tentang perjalanan survei lokasi yang kulakukan dengan Bos kemarin, tapi untuk sesuatu yang lain.

"Apaan sih, Re." Gadis itu menepis tanganku dengan paksa. Bibirnya merengut kesal.

"Lo sih, siapa juga yang naksir gue? Impossible, tahu nggak? Dia nganter gue survei lokasi karena nggak ada siapa-siapa lagi di ruangan kita, ngerti? Lagian mana mungkin orang kayak dia naksir gue? Gue bukan level dia kali, Di," cerocosku kesal.

"Tapi lo mau kan, sama Baekhyun jadi-jadian itu?" Diandra terkekeh pelan seraya mengedip genit ke arahku.

"Daebak!" Aku menjerit mengulangi kata-kata yang sering Diandra ucapkan saat menunjukkan kehebohannya. "Lo ngaco banget, ya? Kenapa punya pikiran kayak gitu, heh? Itu nggak masuk logika, kan? Mana ada orang kayak dia naksir cewek kayak gue? Sinting banget kalau dia beneran naksir gue. Eh, tapi sebenernya gue mau cerita sesuatu sama lo, Di." Di penghujung kalimat, aku menatap Diandra dengan pandangan serius. Aku hanya ingin menunjukkan padanya kalau aku ingin segera mengalihkan topik percakapan seperti yang kuinginkan.

"Apa?" Diandra balas menatapku dan menghentikan kekonyolannya.

Aku perlu menarik napas dalam-dalam sebelum memulai kalimatku.

"Danang udah nikah, Di," ucapku sangat pelan setelah memastikan ruang di dalam dadaku sudah terisi dengan oksigen cukup.

Kedua mata Diandra melebar lalu mengerjap dua kali dan bibirnya membulat. "What?" desisnya hampir tak terdengar. Tapi, aku yakin berita yang baru saja kusampaikan padanya benar-benar mengejutkan. "Kapan?"

Aku mendehem sejenak sekadar untuk menjernihkan suara.

"Kemarin gue buka Facebook Danang dan gue lihat foto-foto pernikahan dia," ungkapku dengan nada pelan.

"Hah? Lo stalking dia?" Kali ini Diandra melengkungkan salah satu sudut bibirnya ke atas. Senyum penuh ejekan, tapi aku menerimanya dengan lapang dada.

Aku mengangguk.

"Bukannya selama ini lo nggak pernah buka-buka akun Danang? Tapi, kok tiba-tiba lo buka Facebook dia, sih?"

Bagaimana aku harus menjawab, ya?

"Re." Setelah puas bermain dengan mimik herannya, Diandra kembali menatapku. "Lo masih cinta sama cowok sialan itu?"

Aku terenyak. Sumpah, aku tidak pernah mengira akan diserang dengan pertanyaan ini oleh Diandra.

"Sejujurnya... gue...."

Agh. Kenapa ya, bibirku sulit sekali mengucapkan kata-kata? Sepertinya otak dan bibirku tidak berkoordinasi dengan baik.

"Astaga, Re!" Gadis itu berseru kesal. "Danang itu udah nyakitin lo, kan? Terus ngapain lo masih mikirin dia? Nggak ada gunanya kali, Re. Dia nggak bakalan inget sama lo, tahu nggak?"

"Gue nggak mikirin dia, Di." Aku mencoba ngotot untuk membela harga diri, tapi kata-kata Diandra sungguh di luar dugaan.

"Kalau lo nggak mikirin dia, terus ngapain lo buka akun dia, heh?" Diandra menaikkan level volume suaranya. "Bego lo, Re."

"Gue emang bego, Di." Aku membenarkan makian Diandra. Harusnya aku kesal, kan? Tapi entahlah. Rasanya aku sudah kehilangan segenap energi untuk mendebat gadis itu. Ternyata aku tidak sekuat yang kubayangkan.

"Sadar, Re. Kalian tuh udah putus dan punya kehidupan masing-masing. Nggak ada gunanya menengok ke belakang. Itu malah akan nyakitin hati lo, tahu nggak?"

Kepalaku mengangguk lambat. Diandra benar dan aku hanya mengandalkan kebodohan saat memutuskan untuk bersedih ketika tahu Danang sudah menikah.

"Lo nggak pa pa, Re?" Diandra mengguncang lenganku pelan. "Lo jangan mewek di sini dong. Malu tuh sama orang-orang. Ya? Please."

Tidak ada yang ingin menangis di tempat seperti ini, Di. Tak terkecuali aku. Tapi, aku tidak punya kemampuan untuk membendung sejumlah genangan air yang tiba-tiba merembes keluar dari sudut mataku.

"Gue baik-baik aja, Di." Aku buru-buru mengusap mata dan pipiku yang sudah lembab. Kenapa ini begitu sulit, ya?

"Bos?"

Seketika kepalaku menoleh saat Diandra menggumam. Astaga!

Wang Lei sudah berdiri di belakang punggungku ketika aku menolehkan kepala. Apa ia melihatku menangis tadi? Sial pangkat empat! Di antara sekian banyak orang, kenapa mesti dia yang harus memergokiku menangis? Kemarin kan sudah? Masa sekarang harus melihatku mewek seperti ini? Arghhh!

Wang Lei sedikit menganggukkan kepalanya dan menatap ke arahku sejenak. Tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirnya, laki-laki itu melenggang dengan santai pergi dari hadapan kami. Benarkah ia yang kemarin mentraktirku es krim? Kok sikapnya beda banget, ya?

"Keren banget ya, Re," decak Diandra seraya tak lepas mengawasi punggung Wang Lei yang bergerak menuju lift. Bibirnya tersenyum menyiratkan sebuah kekaguman yang mendalam. Sikapnya mengingatkan akan diriku sendiri saat mencuri pandang pada Mas Yudha. Kekaguman yang sama, tapi bukan cinta. Bukan untuk memiliki. 

"Sebenernya kemarin dia memergoki gue nangis, Di." Akhirnya aku mengaku juga perihal kemarin. Rasanya bibirku gatal jika menyimpan rahasia ini lama-lama dari Diandra.

"Hah?" Kepala Diandra berputar ke arahku. Gadis itu terlihat sangat terkejut dengan pengakuanku. "Lo bilang apa tadi, Re?"

Aku melenguh pelan. Kupikir ia mendengarku dengan baik.

"Kemarin pas gue stalking Danang, Bos dateng ke ruangan kita dan waktu itu gue nangis, Di," jelasku.

"Astaga, Re." Gadis itu menggumam tak jelas. Kepalanya menggeleng pelan beberapa kali. "Kok bisa, sih?"

Aku mengedikkan bahu. "Gue aja yang apes, Di."

Diandra tampak mengambil napas panjang. "Ya udah, tapi sekarang lo baik-baik aja, kan?"

Aku mengiyakan meski sarat keraguan. Tapi, aku yakin masih bisa menangani pekerjaan dengan baik. Selama aku tidak sendirian, aku akan baik-baik saja.

"Masuk, yuk." Diandra menarik tanganku setelah percakapan kami selesai. Topik tentang Danang resmi kami akhiri sampai di sini. Setelah ini aku berjanji tidak akan pernah membahas tentangnya lagi.

"Di." Langkahku terhenti persis di depan pintu lift yang tertutup rapat.

"Uhm?"

"Gue lupa belum nanyain soal jaket gue sama Bos." Aku menepuk jidat mengumbar penyesalan di hadapan Diandra.

"Astaga! Kemarin lo kan pergi sama dia seharian, Re. Masa sampai lupa lagi? Kayaknya lo udah mulai pikun, deh."

"Enak aja," desisku sembari meninju pundak Diandra dengan kekuatan seadanya.

"Tadi juga orangnya lewat lo diem aja," cetusnya. "Lagian jaket kayak gitu aja lo pikirin. Beli lagi sono napa?"

"Jaket itu banyak sejarahnya, Di."

"Sejarah sama Danang?"

"Bukan. Gue beli jaket itu pakai gaji pertama gue kerja di sini. Makanya gue sayang banget sama jaket itu," jelasku bersungguh-sungguh. Kupikir sesuatu yang dibeli menggunakan gaji pertama sangat berharga dan memiliki nilai sejarah. Tak peduli berapapun harganya.

"Oh."

"Kok cuma oh doang?" protesku kesal. Aku sudah bicara panjang lebar, tapi Diandra hanya menanggapi dengan dua huruf saja. Kesal, kan?

"Terus gue harus gimana? Itu kan jaket lo, masa gue yang harus minta sama Bos, sih?" Gadis itu nyolot seolah lupa dengan siapa dia berbicara. Aku masih sahabat terbaiknya, kan?

"Nggak gitu juga keles...."

"Ya udah, ntar lo samperin ke kantornya Bos langsung. Beres kan?"

Aku mencibir mendengar kalimat Diandra dan tak berniat memperpanjang obrolan karena pintu lift sudah terbuka. Ada jadwal meeting dengan bagian produksi setengah jam lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top