part 13
Danang?!
Sepasang mataku melebar menatap ke arah layar komputer yang sedang menampilkan jajaran foto-foto pernikahan. Kalau koleksi foto itu milik orang lain, aku tidak akan pernah bersikap seheboh ini. Tapi, itu adalah foto-foto pernikahan milik Danang. Bagaimana aku bisa bersikap biasa-biasa saja dan tak terkejut sama sekali? Laki-laki sialan!
Agh.
Aku mendapati buku-buku jariku bergetar di atas keyboard usai menggulir layar komputer ke bawah dan menemukan lebih banyak lagi foto-foto Danang. Foto pre-wedding, lamaran, siraman, dan semua kegiatan yang ia lakukan beberapa bulan terakhir. Apa pentingnya ia mengabadikan semua kegiatan dan membagikannya ke media sosial? Apa ia artis? Tentu saja bukan! Lalu untuk apa ia melakukan hal norak semacam itu? Apa ia ingin seluruh dunia tahu tentang kebahagiaan yang pada akhirnya laki-laki itu gapai terlebih dulu ketimbang aku? Oh, dasar tukang pamer!
Ya, Tuhan. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Kenapa tiba-tiba dadaku terasa nyeri usai melihat foto-foto pernikahan Danang? Seharusnya ini tidak pernah menimpaku, kan? Aku sudah bertekad move on dari Danang secepatnya pasca putus darinya beberapa bulan lalu. Tapi, kenapa wajah dan sepasang mataku berangsur menghangat setelah membuka akun media sosial milik Danang dan menemukan sejumlah foto-foto kebahagiaannya?
Kamu tidak selemah itu, kan, Re?
Aku hanya membatin pelan ketika kepalaku mulai jatuh ke atas meja. Dan sebutir air mata mendadak jatuh saat aku mencoba memejam. Sial. Kenapa aku masih menyimpan sejumlah genangan air mata untuk laki-laki sialan itu? Sungguh, ini bukan gayaku. Tapi, kenapa aku mendadak menjadi serapuh dandelion?
Danang bukan siapa-siapa, kan? Ia hanya sepenggal kecil masa lalu yang seharusnya sudah usang dan berdebu. Harusnya tak ada penyesalan atau tangis saat aku menengok ke belakang. Tapi, kenapa aku menjadi seperti ini?
Sebuah tepukan mendarat dengan tiba-tiba di atas bahu kiriku. Mengejutkan sekaligus menyadarkanku dari kebodohan yang sedang kulakukan. Bukankah menangisi Danang adalah sebuah kebodohan?
Apa Diandra dan yang lain sudah kembali? Sembari membatin, aku segera menegakkan kepala dan melihat siapa yang sudah menepuk pundakku. Kupikir aku butuh Diandra sekarang, bukannya....
Wang Lei?!
Aku terperangah dan hampir menjerit karena terlalu terkejut melihat sosok Wang Lei yang sudah berdiri di samping kursiku.
"Kamu menangis?" sentak laki-laki itu sebelum aku sempat membuka mulut. Bahkan aku belum lepas dari keterkejutan saat pertanyaan itu meluncur bebas dari bibirnya.
Ah. Bodoh. Aku buru-buru mengusap pipiku yang sudah terlanjur basah. Mengambil napas pelan dan mencoba bersikap wajar.
"Maaf," gumamku pelan. "Ke..kenapa Bos ke sini?" tanyaku dengan suara terbata.
Ia mendehem sejenak. "Tadi Pak Sasongko meneleponku, katanya kamu nggak menjawab panggilannya," tandas Wang Lei sejurus kemudian.
Iya kah?
Aku tergesa memeriksa smartphone kepunyaanku dan Wang Lei benar. Beberapa menit lalu Pak Sasongko menelepon, tapi kenapa aku bisa mengabaikannya? Meski dalam mode getar saja, aku selalu tahu jika ada panggilan atau notifikasi yang masuk. Tapi yang tadi adalah pengecualian.
"Maaf." Aku mengulangi kata yang sama untuk kasus yang berbeda. Kenapa aku bisa setolol sekarang?
"Pak Sasongko minta iklan itu selesai minggu depan," beritahu Wang Lei meski aku belum bertanya apa keperluan Pak Sasongko mencoba menghubungiku. "Jadi, kamu harus melakukan survei lokasi secepatnya."
"Ya," anggukku cepat.
"Di mana yang lain?" Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke segenap penjuru ruangan yang kosong.
"Ada yang harus mereka kerjakan di luar," jawabku. Diandra dan Faris harus bertemu klien, sementara Mas Yudha, aku tidak tahu apa yang ia kerjakan di luar sana. Mengurus perceraiannya mungkin. Itupun jika informasi dari Faris benar adanya.
"Baiklah. Kalau begitu aku akan mengantarmu untuk survei lokasi. Jadi, bersiap-siaplah."
Hah? Mulutku ternganga usai mendengar ucapan Wang Lei. Kupikir indra pendengaranku masih sangat bagus dan aku yakin tidak salah dengar.
***
Aku hanya bisa tertegun menatap ke arah semangkuk es krim rasa vanila yang bertabur butiran-butiran cokelat dan remah-remah biskuit yang berada di atas meja. Bukan aku yang memesan, tapi Wang Lei. Tiba-tiba saja laki-laki itu membawaku ke sebuah kedai es krim padahal jadwal kami adalah melakukan survei untuk iklan wafer keju. Aneh, kan?
"Makanlah. Nanti esnya keburu cair."
Suara itu seakan ingin membangunkanku dari kediaman.
"Kenapa Bos membawaku ke sini?" tanyaku sesaat setelah berhasil mengangkat wajah dan menatap ke arahnya. Wang Lei duduk dengan menyilangkan kaki dan sepertinya posisi itu sangat nyaman buatnya. "Dan kenapa cuma pesan satu?" Aku menambahi satu pertanyaan lagi.
"Es krim bagus untuk menperbaiki suasana hati," tandasnya datar. "Kurasa suasana hatiku sedang baik-baik saja dan aku nggak perlu makan es krim. Jadi cepat makan dan kita bisa survei lokasi setelah ini."
Jadi, dia sedang menyindirku? batinku sembari mengalihkan tatapan ke arah lain di mana Wang Lei bukan menjadi titik fokus mataku.
Kuakui suasana hatiku sedang tidak bagus, tapi tidak seburuk itu, kok. Aku bisa mengatasi dan memperbaiki mood secepatnya.
"Masih nggak mau makan?" tegur laki-laki itu kembali seakan ingin membuatku semakin terpojok.
"Okay." Aku mengangguk setuju dan mulai menyenduk es krim di atas meja. Enak, batinku. Tapi, mungkin aku tidak akan sanggup menghabiskannya sendirian. Saat aku melirik ke arah Wang Lei, laki-laki itu terlihat sedang mengawasi segala tingkah polahku persis seperti yang ia lakukan beberapa hari yang lalu. Ah, masa bodoh.
"Apa kamu sudah lebih baik?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Wang Lei setengah jam kemudian. Saat isi mangkuk es krim di depanku tandas tak bersisa padahal tadi aku tidak yakin bisa menghabiskannya.
"Ya," jawabku dengan mengangguk samar. Setengah ragu. Rasanya perutku mengalami penurunan suhu saat ini. Huh.
"Bisa kita pergi sekarang?"
Aku menarik napas dalam-dalam. Kenapa aku merasa orang itu sangat tidak sabaran, ya? Padahal aku baru saja meletakkan senduk es krimku. Kenapa tidak membiarkan aku duduk beberapa menit lagi sampai suhu perutku kembali normal?
"Ya, Bos." Aku mengikuti gerakan laki-laki itu dengan ogah-ogahan. Akan lebih baik jika ia yang memimpin langkah dan aku tetap berjalan di belakangnya seperti biasa, kan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top