part 12

"Tunggu!"

Aku mengayunkan kedua kakiku dengan gerakan cepat. Mungkin di sinilah aku harus mempertaruhkan segenap kekuatan, waktu, energi, dan keberuntungan tentunya sebelum pintu lift benar-benar tertutup rapat.

Yes!

Aku berdecak dalam hati begitu tanganku berhasil menahan pintu lift dan tubuh langsingku berhasil menyelip masuk ke dalam kotak besi itu tepat waktu. Tampaknya keberuntungan benar-benar berpihak padaku kali ini. Eh?

Aku yang sedang sibuk mengatur pernapasan baru tersadar saat menoleh ke samping di mana seseorang sedang berdiri dan sepasang matanya melirik ke arahku. Bos?!

Astaga! Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi dan terjebak dalam situasi yang sama? Kenapa takdir suka sekali memadukan aku, laki-laki itu, dan lift?

"Pagi," sapaku setengah bergumam. Dengan gerakan pelan, tangan kananku yang mencengkeram tali kresek berisi gorengan beringsut ke belakang tubuhku.

Tak ada sahutan yang kudengar keluar dari bibir Wang Lei. Hanya isyarat gerakan bibirnya yang sempat tertangkap dari ekor mataku. Hei, apa ia terlalu malas untuk membalas sapaanku? Tapi, aku tadi jelas-jelas melihatnya melirik ke arah kantung kresek di tanganku. Ya, ia pasti teringat kembali dengan kejadian pagi itu. Sudahlah.

Saat pintu lift terbuka aku sengaja membiarkan laki-laki itu keluar terlebih dulu. Selama ini aku juga melakukan hal yang sama, tapi kali ini aku menyesal telah membiarkan laki-laki itu berlalu begitu saja dari hadapanku. Jaket! Aku lupa menanyakan perihal jaketku yang ketinggalan di mobil Wang Lei. Kupikir aku bisa mengambilnya sebelum laki-laki itu membuang benda itu ke tempat sampah. Tapi, masa sih dia akan melakukan hal itu?

"Hei, guys." Aku meletakkan kantung kresek berisi gorengan di atas meja begitu tiba di ruang tim kreatif.

"Any problem?" tegur Diandra sok-sokan menggunakan kosakata bahasa Inggris. Mungkin semalam ia absen nonton drama Korea dan memilih begadang di depan televisi beberapa jam untuk film Hollywood. Whatever. "Muka lo kayaknya kusut banget? Ada apa?" Gadis itu mendekat ke mejaku lalu mengambil salah satu isi kantung kresekku bahkan tanpa meminta izin sebelumnya. Meski ia mengambilnya di depan mata kepalaku sendiri, tetap saja bagiku itu termasuk dalam kategori kriminal. Pencurian!

"Gue tadi ketemu Bos di lift," sahutku tanpa menjelaskan apa yang mengganggu pikiranku sebenarnya.

"Bagus dong. Pagi-pagi udah ketemu cowok ganteng, harusnya bikin lo semangat kerja, kan?" Diandra mengoceh seraya mengunyah. Dan karena ulahnya itu Faris tergoda untuk mengambil gorenganku.

"Semangat apaan?" sahutku cepat. "Gue lupa nanyain soal jaket gue."

"Terus? Apa masalahnya? Tuh, orangnya ada di ruangan paling ujung. Lo tinggal ketuk pintu, masuk, dan tanya sama orangnya. Beres, kan?"

Aishh. Aku mendengus dan memutuskan untuk mencomot pisang goreng dari dalam kantung kresek sebelum dua pencuri itu menghabiskan makananku. Bicara dengan Diandra bisa-bisa membuat tensi darahku meroket dalam waktu singkat.

"Eh, tapi untung ya, Pak Sasongko nggak berani ngajakin lo kencan." Tiba-tiba saja Faris menyahut dengan tema yang berbeda.

Aku membenarkan ucapan Faris dengan sekali anggukan. Ia benar dan semestinya aku berterima kasih pada Bos karena sudah sudi menemaniku meeting dengan Pak Sasongko kemarin.

"Eh, tapi gue mau loh, nemenin lo survei lokasi ntar," usul Faris dua detik kemudian padahal aku maupun Diandra sama sekali belum berkomentar.

"Tapi gue lebih seneng survei lokasi sendiri." Aku melempar cengiran bodoh ke arah Faris. Laki-laki itu bisa besar kepala kalau aku menyetujui rencana konyolnya. "Atau gue ngajak Mas Yudha aja gimana? Gue bisa dapet es krim atau makan siang gratis, kan?" Aku terkekeh sesaat kemudian.

"Dasar! Lo tuh, ya. Pikirannya cuma makan gratis doang." Diandra melempar olokan sembari mencolek ujung pundak kananku. Padahal tangannya baru saja memegang gorengan, loh. Sialan tuh anak.

Yeah, sebenarnya bukan itu alasan sebenarnya. Tapi, aku tidak bisa menunjukkan kekagumanku pada Mas Yudha di depan Diandra atau Faris. Apa kata mereka nantinya kalau tahu aku menyimpan rasa suka tidak wajar pada laki-laki yang sudah beristri. Aku tidak mau dikatakan sebagai orang ketiga atau pelakor. No way! Aku tidak sejahat itu, kok.

"Tapi ke mana Mas Yudha? Kok belum dateng jam segini?" Aku masih bersemangat mengangkat Mas Yudha sebagai tema perbincangan pagi kami kali ini. Sembari menikmati gorengan tentunya.

Diandra hanya mengedikkan kedua pundaknya sebagai ganti kalimat 'gue nggak tahu'.

"Eh, kalian nggak lihat kalau Mas Yudha akhir-akhir ini beda?" Faris berhasil membuat keningku dan Diandra berkerut seketika.

"Beda gimana?" timpalku lebih cepat sebelum Diandra sempat melakukannya. Sebagai penggemar nomor satu Mas Yudha, aku harus tahu apapun gosip tentangnya.

Faris melirik ke arah pintu sebelum membuka mulut. Benda itu masih tertutup rapat dan Mas Yudha belum muncul dari baliknya.

"Gue sempet denger Mas Yudha berantem sama istrinya." Faris berucap pelan. Berbisik tepatnya.

Aku melongo dan langsung menatap Diandra. Sahabatku itu juga memasang ekspresi heran.

"Kok lo tahu, sih?" tanyaku antara percaya dan tidak. Selama ini Mas Yudha selalu terlihat baik di mata kami semua dan tidak pernah marah. Jadi, kesimpulannya adalah ucapan Faris perlu dipertanyakan lagi kebenarannya.

"Gue nggak sengaja denger Mas Yudha lagi teleponan sama istrinya dan mereka berantem. Bahkan Mas Yudha sempet bilang kata cerai, gitu," ujar Faris masih dengan nada yang sama.

"What?!"

Duh, Diandra kebangetan. Di saat gawat darurat seperti ini ia masih sok-sokan pakai bahasa Inggris segala. Tapi, iya juga sih. Aku juga kaget pakai banget. Masa sih, Mas Yudha berantem sama istrinya sampai terucap kata cerai segala?

"Lo jangan bikin gosip deh, Ris." Aku mendelik tajam ke arah Faris. "Kali aja lo salah denger...." Entahlah, aku terlalu speechless untuk menanggapi kabar ini.

"Gue yakin nggak salah denger, Re." Wajah Faris mendukung pernyataannya. Kalau ia benar-benar serius dengan ucapannya. "Gue curiga kalau beberapa hari ini dia lagi sibuk ngurus surat cerai, tapi nggak tahu lagi, deh. Kecurigaan gue bener atau nggak." Laki-laki itu mengedikkan bahu usai menuntaskan kalimatnya.

Aku dan Diandra saling bersitatap dalam diam. Ada begitu banyak pemikiran yang mendadak menyeruak di kepalaku. Mungkin Diandra juga sama dan kami sedang berbincang banyak hal hanya lewat tatapan mata.

"Pagi."

Aku, Faris, dan Diandra nyaris terlonjak mendengar sapaan dari Mas Yudha yang tiba-tiba muncul di saat kami sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Untung saja kami sudah membungkam mulut masing-masing dan berhenti membicarakannya.

Diandra dan Faris kembali ke mejanya dengan senyum canggung menghias bibir mereka. Sementara aku pura-pura menekuri smartphone sembari sesekali melirik ke arah Mas Yudha.

Benarkah Mas Yudha....

Ah, andainya Mas Yudha benar-benar berpisah dari istrinya, apakah aku boleh mendekati laki-laki itu? Sebenarnya mempunyai suami seorang duda bukanlah cita-citaku. Tapi ini Mas Yudha! Laki-laki yang selama setahun terakhir kukagumi dan menjadi panutanku dalam bekerja. Namun, rasa kagum dan cinta itu apa sama?

Huft. Kamu pasti sudah gila, Re!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top