part 10
"....dan setelah si gadis melihat anak kecil yang sedang makan wafer keju itu, dia jadi teringat dengan pacarnya. Karena mereka sama-sama suka makan wafer keju itu. Jadi, mereka berdua terikat oleh wafer keju itu dan si gadis merasa menyesal dengan apa yang baru saja dia lakukan. Lalu pada akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke pinggir jalan tadi untuk berbaikan dengan pacarnya," ulasku lumayan panjang di depan Pak Sasongko yang terlihat tekun menekuri kertas-kertas yang kuberikan beberapa saat yang lalu. Semoga penjelasanku tidak bertele-tele dan memuaskannya. Tapi, sepertinya ia butuh waktu yang sedikit lebih lama untuk mencerna konsep iklan yang sudah susah payah kubuat.
"Baiklah." Suara Pak Sasongko terdengar memecah keheningan beberapa menit kemudian. Laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah kami dengan bergantian. Senyum samar terlihat menghias bibirnya yang berwarna sedikit kehitaman. Aku menduga ia seorang perokok berat. Whatever. Yang penting dia mau bekerja sama dengan perusahaan kami dan tentang kesehatan paru-parunya bukanlah urusan kami. "Saya lebih suka konsep ini ketimbang sebelumnya," ucapnya kemudian.
Huh. Leganya, batinku yang sedari tadi menahan napas karena terlalu tegang. Ekspresi wajah Pak Sasongko juga tak jelas sekaligus tak bisa kutebak.
"Kami selalu memberikan pelayanan terbaik, Pak Sasongko." Wang Lei yang duduk di sebelah kursiku menyahut dengan suara empuk. Ya, ampun! Lagaknya seperti aktor dalam drama.
"Anda bisa saja," timpal Pak Sasongko seraya menderaikan tawa renyah. "Oh, ya, harusnya Anda jadi selebriti daripada duduk di belakang meja seperti sekarang. Negeri ini butuh wajah-wajah Asia seperti Anda, loh," ucap laki-laki itu seraya menderaikan tawa sumbang. Hanya Tuhan saja yang tahu senyumnya tulus atau tidak. Atau itu hanya sekadar basa basi atas nama bisnis dan keuntungan.
Wang Lei mengembangkan tawa lebar, namun tanpa suara. Sepasang matanya terlihat berbinar cerah dan aku mencium aroma bangga dari sebelah kursiku.
"Saya sama sekali nggak punya bakat akting, Pak Sasongko," ujar Wang Lei merendah.
"Tapi akting bisa dipelajari, kan?" Pak Sasongko menimpal dengan tampang serius.
Hoho... Memangnya ke mana arah tujuan percakapan ini? batinku jengah. Kedua laki-laki itu seperti sedang bermain drama sekarang dan aku hanya seonggok pot bunga tak berguna yang kebetulan tertangkap kamera. Menggelikan. Jadi, aku memutuskan untuk menyesap minuman di atas meja. Huh. Aku tidak suka minum kopi saat perutku kosong seperti ini.
"Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu." Pak Sasongko bangun dari tempat duduknya setelah berbincang ke sana kemari tak jelas. Laki-laki itu menyalami Wang Lei lalu padaku. "Saya masih ada urusan lain."
Melihat punggung laki-laki itu yang bergerak menjauh lalu menghilang di balik pintu keluar cafe membuatku menarik napas lega. Bertemu dengan klien bersama Bos memang ide bagus dan membuatku merasa aman. Tapi, kupikir akan lebih baik jika Mas Yudha yang menemaniku kali ini. Ah, kenapa aku selalu memikirkan laki-laki itu, ya? Dia sudah punya istri, Re! batinku seraya mengetuk kepalaku sendiri.
"Kita balik kantor sekarang." Wang Lei bangkit dari kursinya dan bersiap melangkah pergi meninggalkan meja kami.
"Ya, Bos."
Setidaknya satu masalah sudah teratasi dan setelah ini aku harus menentukan kiat-kiat move on dari Mas Yudha.
***
Perjalanan kembali ke kantor kali ini tidak ada bedanya dengan keberangkatan kami ke cafe beberapa waktu yang lalu. Suasananya bahkan masih sehening tadi. Tanpa percakapan meski itu hanya sepatah basa basi garing, apalagi musik pengiring perjalanan demi membunuh kebosanan saat lampu merah atau terjebak macet. Wang Lei diam membisu seribu bahasa dan menatap fokus ke depan sembari mengemudikan mobil mahalnya yang begitu nyaman. Sudah kubilang kan, kalau pergi bersama Mas Yudha akan jauh lebih baik.
Tapi, harus aku akui mobil milik Wang Lei ini benar-benar nyaman. Kira-kira berapa harganya, ya? Apa dia membelinya cash ataukah kredit? Agh, tentu saja cash. Dia kan keponakan CEO Dongsheng Group. Jadi, bisa dipastikan ia juga kaya raya. Tapi, berapa gajinya di perusahaan periklanan kami?
Krucuk.
Apa itu barusan? Apa itu bunyi yang berasal dari pikiran atau alam bawah sadarku? Tapi, aku jelas-jelas mendengarnya tadi.
"Kamu lapar?"
Ah, tiba-tiba suara lain terdengar menyapa gendang telingaku. Tapi, bukan suara aneh mirip aliran air seperti tadi.
"Apa?" Bukannya aku tidak menyimak pertanyaan Wang Lei dengan baik, tapi itu keluar begitu saja dari bibirku.
"Itu tadi suara perut kamu, kan?" Laki-laki di sebelahku itu bertanya kembali, tapi sepertinya ia enggan untuk menoleh.
Bodoh! Aku hanya bisa menggigit bibir bawah dan merutuki diri sendiri. Yeah, terkadang orang pintar sekalipun mengalami saat-saat terbodoh dalam hidupnya. Dan situasi terkonyol itu sedang menimpaku saat ini. Tapi, aku tidak punya tempat untuk menyembunyikan diri.
"Ah, maaf," ucapku seraya terkekeh seperti orang tidak normal. Tangan kananku mengelus tengkuk. Aku memang perlu dikasihani sekarang.
Sial. Laki-laki itu sama sekali tidak merespon ucapanku. Bahkan ia malah menatap ke depan kemudi lebih tekun dari sebelumnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Bukankah seharusnya dia mentraktirku makan setelah semua yang kulakukan semalaman? Atau minimal membelikanku sesuatu untuk mengganjal perutku. Tapi, bertanya atau menawari makanpun tidak. Keterlaluan!
Jangan berharap terlalu banyak, Re, batinku menasihati diri sendiri. Orang kaya tidak selalu punya perasaan peka terhadap kaum lemah. Mereka hanya peduli pada diri mereka sendiri dan pada apa yang menguntungkan bagi mereka.
Loh?
Aku tersentak dari setumpuk lamunan ketika menyadari mobil yang kami tumpangi bergerak keluar dari jalur utama menuju kantor. Apa orang di sebelahku sudah lupa jalan kembali ke kantor?
"Bos." Aku tak bisa menahan diri untuk diam saja kali ini. "Kita mau ke mana?" tanyaku memberanikan diri.
Beberapa detik tak ada jawaban dan ia berhasil memaksaku mengomel dalam hati.
"Bukannya kamu lapar?" Ia menoleh setelah menepikan mobil yang dikemudikannya. Ekspresi wajahnya terlihat datar dan aku sama sekali tidak menemukan keramahan di sana.
Oh. Bibirku setengah membuka, namun urung mengeluarkan komentar. Pandangan mataku beralih ke depan ketika mobil yang kami tumpangi sudah benar-benar berhenti dan laki-laki itu mematikan mesin.
Restoran! decakku girang bukan main dalam hati. Laki-laki itu membawaku ke restoran? Ini sungguh mengejutkan dan aku benar-benar terkejut. Nyatanya ia tidak seburuk yang kupikirkan. Dengan hormat aku menarik kembali segenap penilaian burukku padanya.
"Nggak mau turun?" tegurnya berusaha menyadarkanku dari tertegun.
Oh, tentu saja, batinku seraya bergegas melepaskan sabuk pengaman dari tubuhku dan melompat turun dari atas jok.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top