Memoir 5: Let Me Broke If It Means I Can See You Again

(Masa sekarang, Ruang makan Mansion Moriarty, Durham, Inggris, pukul 07:45)

Suasana pagi yang terlalu diprediksi orang-orang datang akhirnya. Mereka berenam duduk bersebelahan, saling bertatap-tatapan dengan gaya mereka masing-masing, berusaha menyamankan diri mengingat hampir mereka semua tau ini akan menjadi sarapan paling panjang yang pernah dilalui. 

Ada yang merokok, ada yang menunggu dengan santai sambil menikmati minuman pilihannya. Yang lain antara tidak peduli atau membaca koran demi menghilangkan kebosanan. 

Jam besar yang berdenting menandakan waktunya sarapan dimulai. Namun serentak tidak ada yang mengambil peralatan makannya. Orang-orang yang tercatat begitu patuh dan disiplin dengan tiap detiknya sekarang malah membangkang dan menunda kegiatan rutin dan wajib itu. 

Tidak ada keluhan yang datang. Bahkan setidaknya setengah lebih dari mereka justru mengharapkan hal ini terjadi. Sisanya, sudah mengetahui dan pura-pura tidak menyangka akan benar kejadian. 

"Kopinya lebih pahit dari biasanya," candaan itu bermaksud mencairkan suarana, dan baguslah tidak ada yang tersinggung karenanya. 

William menutup matanya sebentar, mencoba mencoba menyusun pikiran yang sepertinya masih terombang-ambing di alam bawah sadarnya. "Ya, kau benar Mr. Holmes, kopi ini terasa pahit pagi ini." 

Tatapan aneh diberikan Sherlock padanya, "tapi kau meminum teh, Liam."

Kemudian hening melanda mereka lagi, dikurangi seruput teh atau kopi dan suara lembar koran yang dibalik. 

Tepat detang jam ke delapan. pintu di samping mereka terbuka, dan William langsung menyongsong pendatang baru itu, membawanya duduk tepat di sebelahnya dan Albert di kepala meja dan Mycroft di hadapannya. Sherlock yang duduk berhadapan dengan Moran yang di sebelahnya terdapat Fred menatap diam pemandangan itu, sambil memutar otak tentang apa yang harus mereka bahas. 

"Kau baik, Louis? Wajahmu masih pucat, mau istirahat dulu?" 

Diam yang tidak biasa menjadi jawaban Louis pada kakaknya. Manik delima yang serupa dengannya mempertahankan pancaran kegelisahan serta kekhawatiran yang mendalam sebelum hal itu hilang bersamaan dengan tangannya, yang ada di atas pehanya, digenggam lembut, lemah mungkin lebih tepat, oleh sang adik.

'Aku baik-baik saja, Kak,' begitu yang ditangkap William dari gesturnya. Membiarkan Louis melakukan apa yang dia mau, akhirnya William menyentuh sarapan miliknya, yang sudah dingin, tentu.

Barusan suasana kembali normal, kini udara berat memasuki lagi ruang makan besar itu.

"Sepertinya kau sudah cukup baik untuk menceritakan mimpimu."

"Direktue Holmes. / Mycroft..!"

Kali ini, yang bertindak adalah sang kakak tertua dan adik bungsu pemerintah. Mereka tidak terima, tentu, namun ada alasan lain yang bersembunyi, pemicu kenapa teriakan itu melengking tajam sampai William menutup sebelah telinga menghindari tuli mendadak.

"Astaga, anda sangat tidak sabaran sekali. Sarapan anda belum tersentuh, para koki pasti sedih jika mengetahuinya," mengusap telinganya, William memperhatikan cara makan adiknya, syukur dia tidak berhenti atau pergi.

Decakan setipis benang berlalu dan sambungan deting alat makan perak terdengar. Sunyi berlanjut kira-kira setengah jam lamanya. Baru sesudah piring mereka hampir dihabiskan isinya, permulaan dari 'diskusi alot' dimulai. 

"Kau bisa diam saja, Louis. Jangan terlalu memaksakan dirimu jika belum siap," Albert mengambil langkah duluan. Dia hanya ingin adik bungsunya tenang dan menghentikan segala bentuk ekstrim tindakannya. 

Anggukan lagi-lagi muncul menjadi jawaban Louis. Orang yang melihatnya pertama kali mungkin berpikir dirinya bisu. Sebenarnya, Louis ingin membisukan diri sendiri, sayang terlalu banyak halangan yang dia dapatkan untuk mencapai keinginan satunya itu. Yang memulai sekarang adalah Sherlock, entah mereka sepakat mengangkatnya sebagai ketua pertemuan kali ini atau bagaimana. 

Deheman keras tercipta, seperti genderang sesaat lagi sesuatu besar akan muncul. "Langsung saja karena aku tau kalian telah mendapat detail awalnya. Aku hanya akan menyampaikan beberapa berita tambahan yang mungkin belum semua mendengarnya." 

"Malam itu, John diajak keluar makan oleh Louis, sebagai bentuk pertemuan mereka setelah sekian lama belum jalan bersama. Kalian pergi ke restoran laut, memesan beberapa menu dan tinggal di sana sampai pukul sebelas. Lanjut, kalian pergi ke bar, memesan dua gelas bir sebelum akhirnya balik ke apartemen John." Pandangan matanya tidak melepas dari gerak-gerik pemuda yang masih dirangkul kekasihnya. Iba dan sesak menghampiri Sherlock, siapa yang tidak sakit membacakan bagaimana cara teman terbaikmu mati secara mengenaskan begitu?

Tepukan pelan William berikan, menguatkan adiknya sambil dia melanjutkan pernyataan Sherlock. "Paginya kau menemukan jasad John tergantung di apartemennya. Kita menduga dia dibunuh lantaran posisi benda-benda sekitarnya tidak wajar. Perampokan tidak termasuk sama sekali karena tidak ada barang berharga yang hilang namun keadaan ruangan itu lumayan berantakan. Ada pisau yang ditemukan dekat kusen jendela, tempatnya 'digantung'. Setelah ditelusuri ternyata itu pisau yang menghilang dari dapur, tepatnya di kabinet atas." 

"Tidak ada sidik jari, tapi ada bekas kulit dijeratan dekat leher Dr. Watson. Kesimpulan sementara pelaku dan korban sempat terlibat pertengkaran sebelum korban menghembuskan nafas terakhirnya setelah cukup lama tergantung." Tutup Albert, memegang dahinya antara pening dan berpikir. 

Semua diam, memutar otak dan mereka ulang dalam kepalanya masing-masing. "John meninggal karena kehabisan nafas, bukan pukulan keras pada beberapa tubuhnya," gumam Sherlock. 

Kalimatnya didukung pelan oleh William, "memar yang ada pada ujung bibir, tenggorokan, dan perutnya sama sekali tidak berbahaya, bahkan aku yakin besok paginya memar itu bisa hilang sepenuhnya."

Semua masih berupa rumitan teka-teki yang tidak ada habisnya. Bila satu penyelesaian datang maka ada saja jeratan kusut datang menghampiri. Waktu satu minggu yang bagi orang lain masih terlalu cepat untuk mengungkap sebuah kasus kriminal biasanya, kini berbeda dengan mereka yang merasa sesak tiap kali hari berganti, mengingat langkah mereka belum sepenuhnya beranjak. 

"Malam itu ada telepon," sebuah suara, pelan sekali dan kalau bukan William menoleh maka semuanya tidak akan menyadarinya, berdegung keluar dari mulut yang memberikan kejutan. 

"Louis?" 

Pandangannya masih sama, "sebelum aku dan John keluar untuk makan malam ada sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. John mengangkatnya sementara aku menunggunya di kamar. Itu hanya sebentar saja, namun raut yang diberikan John cukup buruk untukku tahu bahwa telepon tadi bukan hal baik," dengan intonasi datar Louis menutup kesaksiannya. 

Bukan pernyataan yang penting namun kala ini semua informasi yang terdengar harus dicatat dengan baik tanpa ketinggalan sedikit pun. 

"Setelahnya kami pergi seperti tidak ada yang terjadi. Sampai di bar juga tidak ada hal mencurigakan yang terlihat. Bagitu pulang ke apartemen dan menghabiskan waktu sebentar baru aku kembali, dan selama itu juga tidak ada hal yang berbahaya hingga merengut nyawa." 

"Apa kau yakin itu yang terlihat di matamu?" 

Suara berat yang sedari awal diam terbungkam kini kembali terangkat, menyatakan sebuah kalimat yang jelas sekali sindiran di dalamnya. Sedang yang ditunjuk cukup sadar untuk tidak melayaninya. 

"Jika ada sesuatu yang aku tau, pastilah langsung kuberikan detailnya pada anda, Direktur Holmes." 

William, diantara rasa bangga melihat adiknya sama sekali tidak termakan emosi, atau murung karena tau salah satu sikap adiknya perlahan memudar. "Kami akan menghubungimu jika sudah mendapat pentunjuk baru. Untuk sekarang kita akhiri dulu pertemuannya. Louis juga ingin beristirahat bukan?"

Anggukan pelan tidak berasal dari yang ditanya, melainkan sosok lain dengan mata penuh kejengahan menatap salah seorang yang begitu jelas, "kita akan berdiskusi lagi. Sekarang, apa Direktur punya waktu? Aku ingin sekali berbicara denganmu." 

Itu adalah titah. Mycroft hanya mendengus sebelum membersihkan bibirnya dengan serbet putih dan berdiri dari tempatnya. Suara pintu yang tertutup entah bagaimana membuat Sherlock menghela nafas, tak lupa mengacak rambutnya untuk kesekian kalinya. 

"Kakak bodoh itu..! Kerutannya mungkin sudah menutup matanya hingga buta tidak bisa melihat suasananya!"

Langkah kaki mendekat ke saudara paling mudanya. Menepuk bahu yang dia tahu tidak akan meringankan pikiran berkecamuk di sana. Setidaknya Albert berharap pemuda itu sedikit tabah dengan keadaan mereka sekarang. 

"Maafkan Kakak yang belum bisa membantu apa-apa. Setelah ini Kakak akan ke kepolisian dan membuat mereka bekerja lebih giat lagi, begitu juga dengan militer. Bagaimana pun John masih tercatat sebagai mantan dokter militer, setidaknya ada satu dua hal yang bisa diusahakan."

Baru itu Louis menjawab dengan jelas, "aku yang harusnya berterima kasih Kak." 

"Jangan terlalu dipikirkan. Istirahatlah. Aku pergi dulu, Will. Kabari segera kalau terjadi sesuatu," dari saling tatap kedua saudara itu berkomunikasi. 

Baru Albert benar-benar menghilang dari ruangan itu, meninggalkan lima orang lain. 

Moran dan Fred ikut berpandangan, merasa tidak ada lagi keperluan mereka segera menganggukan kepala bermaksud ikut pergi dari tempat 'kacau' ini. "William, kami juga ikut permisi dulu. Kalau perlu bantuan jangan sungkan untuk langsung mengatakannya."

"Kami permisi dulu Tuan William, Tuan Louis, Sherlock Holmes." 

Dan begitu sekarang hanya tiga orang, dua yang merangkul salah satunya serta lainnya sedang menyalakan rokok berusaha menenangkan amarah. 

Jarum jam berdeting mengingatkan mereka dengan waktu yang ditunjuk. Ada janji temu dengan polisi setempat bersama William dan Sherlock. Netra delima tidak tega untuk meninggalkan adiknya sendirian lagi, tidak dalam suasana yang belum kondusif seperti sekarang. 

Seakan mengerti kegundahan hati kakaknya, Louis menepuk pelan punggung tangan yang tanpa sadar semakin mengeratkan genggamannya, menyadarkan William dan membuatnya fokus pada pemuda yang lebih muda setahun darinya. 

"Kakak pergi saja, aku janji tidak ada hal yang akan membuat Kakak khawatir sampai nanti Kakak pulang," ucapnya berusaha setenang mungkin. 

Tentu William tidak ingin percaya begitu saja. Sudah terlalu banyak kejadian yang terjadi dan peristiwa baru-baru ini semakin meyakinkannya untuk terus mengawasi sang adik. "Apa aku panggil Moran dan Fred? Mereka belum pergi terlalu jauh-"

"Kak William," Louis tidak membiarkan kalimat kakaknya selesai. 

"Tidak apa-apa." Hanya tiga kata, namun tepat mengena hati William. Mana tega dia yang seorang kakak membantah dengan lirih yang menyengat perasaannya sekarang.

Keduanya, William dan Sherlock, memutuskan keluar dari ruangan besar itu.

Akhirnya hening melanda lagi. Bukan bosan yang menerjang namun sakit hati dan muak merembes dalam bentuk air mata. Hal yang Louis kira sudah kereng seperti sumur tua ternyata dipatahkan sekarang juga. Bedanya tidak lagi ada raungan menemani.

Pernah sekali Louis berpikir, apa sebuah operasi bisa menghentikan rasa kecam dalam dadanya? Atau setidaknya menghilangkan air mata kebodohan yang terus menerus dia keluarkan?

Lalu baru dia ingat kalau operasi adalah keahlian kekasihnya, dan dirinya sudah teekubur dalam tanah merah yang basah, entah karena hujan atau darinya sendiri. Kemudian satu kenyataan lagi menamparnya jika,

"bodohnya aku berpikir begini. Hanya jari miliknya yang bisa memgehentikan kumbangan yang menetes ini. Dan sayangnya lagi, jari itu telah rusak sebelum aku memintanya mengusap wajahku."

Sarapan pagi itu mengeyangkan. Membuat hatinya penuh akan kecemasan serta kesedihan tanpa akhir yang bisa membuatnya kembali merasakan lapar.

***

(Masa sekarang, Taman samping mansion Moriarty, Durham, Inggris, pukul 15:46)

Hari beranjak sore dan bising sinar menyengat matahari perlahan tergantikan oleh sejuknya udara. Belum malam namun sekelilingnya mulai terasa padam dengan nyanyian burung yang ingin kembali ke peraduan mereka.

Sayang hal itu hanya membuahkan rasa iri didalamnya.

.

.

.

Setahun Lalu, Taman samping mansion Moriarty, Durham, Inggris, pukul 16:17

Hentakan kaki nyaring melintasi jalur semak dengan penuh mawar bermekaran. Dirinya terlihat buru-buru dengan keringat sebesar biji jagung turun dari pelipisnya. Pipinya merah, rona yang selalu manis kini menggambarkan kemarahan luar biasa. 

"Idiot! Aku benci John!" Teriakan itu menggema, membuat burung-burung kecil yang senang hinggap di pohon sekitar terkejut dan berlarian pergi menjauh. 

Sesampainya di rumah kaca, pintunya dibanting, tidak pusing bila ada retakan di sana nantinya. Batinnya gusar dan orang yang menenangkannya adalah pelaku kegusarannya sekarang.

Bagaimana kini dia menenangkan hatinya? 

Tes. Tes. Tes. 

Sungai kecil mengalir dari bawah matanya. Dia yang tidak ingin menangis harus merelakan egonya yang tebal untuk satu-satunya sosok dambaannya. 

"Bodoh. Idiot. Dasar gombal. Tukang selingkuh!" 

"Hei, Louis, aku tidak selingkuh, kau tau-"

"Tidak dengar!!" 

John harus mengelus dada, antara ingin tertawa atau kasihan dengan perlakuan kekasihnya ini. 

Sungguh hari ini keduanya berencana untuk keluar, pergi ke akuarium besar yang baru dibuka dan menutup hari dengan makan malam bersama di restoran Jepang yang kebetulan telah dipesan jauh-jauh hari olehnya. Tadi pagi, tepat saat dia menunggu Louis di tempat janjian mereka tidak disengaja terlihat wanita hampir terjatuh. Tentu sebagai pria John membantu wanita kesusahan dan tak lama mereka terlibat pembicaraan singkat sebelum Louis melihat mereka. 

"Jangan temui aku lagi! Pergi sana! John bodoh, idiot!"

'Aku masih terkejut Louis masih bisa berteriak setelah berlari dari stasiun sampai ke sini yang jaraknya bisa memakan waktu setengah jam dengan mobil,' yah, walau sekarang bukan saatnya memikirkan hal itu. 

Dengan cepat john ingin menarik tangan itu untuk dimasukan dalam dekapannya. Sayang Louis lebih kesal dari yang dia pikirkan hingga sebelum diraih pemuda itu telah keluar, berlari menjauhinya. 

Kedua kali John gagal meraihnya, sebelum ini ketika mereka kejar-kejaran di jalan, dan hal itu cukup membuatnya frustasi. 

Untung Louis berlum terlalu jauh, hanya sampai taman samping dirinya berlari sebelum tersandung akar pohon dan terjatuh. 

"Louis!" Dengan rasa panik John tergesa-gesa mengahampiri pemuda itu, menariknya pelan untuk memeriksa apa ada yang terluka. 

Yang John dapati kala itu adalah raut menyedihkan yang penuh lumpur serta air mata yang terus merembes keluar. 

"Hiks.. jangan lihat..!"

Tanpa menunggu atau memusingkan rontaan dari pria yang lebih kecil, John merangkulnya tidak membiarkan jarak memisahkan mereka bahkan jika itu satu inci saja. Keduanya yang diam di bawah curahan hujan terus mencoba menyalurkan perasaan masing-masing. 

Bersalah, kesal, murung, tidak terima, rindu. Semua bercampur aduk, pusing jika harus mencari mana salah satu yang paling mendominasi. 

"Aku tidak akan pergi. Aku akan selalu bersamamu," kalimat tenang diucapkan mengharap cukup meredakan kegusaran yang terlihat. Nyatanya hal ini selalu efektif dan akan menjadi cara paling ampuh yang akan terus dia gunakan. 

.

.

.

"Aku akan bersamamu sampai kapan pun itu Louis."

Kembali dia hanya mendengarkan kebohongan yang sama. Dalam telinganya yang berdegung, hanya kata-kata itu yang terputar. Dengan kejam memutuskan tali yang menggerakan anggota tubuhnya, dan membiarkan tubuh ringkih terendam air hujan sekali lagi. 

Isakan yang lirih tidak mencapai langit, seperti doanya yang terkubur di tanah merah yang basah entah karena langit atau dirinya. Lelah yang dia rasakan memuncak hingga tubuhnya terbaring meringkuk di lumpur kotor. 

"Benar, aku pun sudah terlalu kotor untuk menggapaimu. Pantas saja aku tidak pernah datang lagi," harapannya sebatas ucapan hampa. 

Berharap rintikan deras dapat membersihkan dirinya, sekaligus menyampaikan keinginan padanya. 

"Kalau aku sekali lagi merusakan diriku, maka kau akan datang menyembuhkanku? Kau yang selalu berbinar saat berbicara tentang kedokteran pasti akan memarahiku bukan? Kalau begitu, bisa kau datang dan marahi aku, John?"

Rasa percayanya menunjukan kerusakan akan mendatangkan sosok itu, terlanjur menghilang seperti pandangannya yang menggelap dan harinya semakin muram. 

.

.

.

.

.

.

Author's note:

Heloooo, maaf kalau cerita ini lama update dengan kesibukan rl author dan witer block parah yang melanda TT

Aku usahakan cepat di up dan selesai mengingat sebentar lagi konfliknya akan masuk ke puncaknya

Kira-kira siapa yang membunuh John? Siapa bayangan yang mengawasi Louis? Kenapa Mycroft seperti ingin mencari tahu sesuatu? Apakah William dan Sherlock bisa menemukan titik terangnya? Bagaimana Moran dan Fred mengetahui segala petunjuknya? Apa yang akan dilakukan Albert untuk membantu menemukan pelakunya? 

Kenapa semua ini terjadi? 

Apa kalian bisa menebak siapakah dalangnya!? 

Okeh sekian dari author sampai jumpa di chapter selanjutnya, baiii!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top