Memoir 4: If You Not Visible Anymore, Please Don't Come To Me

(Masa sekarang, stasiun Durham, Durham, Inggris, pukul 11:28)

Rambut yang acak-acakan terlihat semakin berantakan dengan usapan kasar tangannya. Sungguh dirinya tidak mempunyai waktu berlama-lama dan ada saja yang menahan lamgkahnya. Dan apa yang kali ini menghalangi merupakan hal yang paling menyebalkan yang bisa dirinya pikir menyintas di hadapannya.

"Sudah kubilang, pelakunya adalah nyonya gemuk penumpang kompartemen sebelahnya! Kenapa kalian tidak paham juga!?" Seruan kekesalannya menuang pandangan penasaran dari orang-orang dekat mereka.

Sedang pria besar, yang sepertinya polisi bertugas, masih menatapnya sangsi, dengan melipat tangannya di depan dada. "Bagaimana nyonya gemuk itu melewati celah kecil dan masuk ke dalam ruangan di sebelahnya?"

"Dia tidak masuk dari celah itu! Dia membuatnya terbuka seakan pelakunya masuk dari sana yang sebenarnya hanya umpan. Dia masuk secara sukarela karena diundang meminum teh bersama dan setelah membunuhnya dia menggunakan trik lama dengan senar dan mengunci pintu dari luar dan membuat pembunuhan ruang tertutup!"

Manik merah William menyebar. Senyumnya sudah menunjukan hal kurang baik, mengetahui juga dua orang kawanan mereka merasakan kesamaan dengannya. Jam dipergelangan tangan telah menunjuk setengah dua belas, dan perjalanan menuju mansion membutuhkan waktu sejam lebih jika tidak terjebak kemacetan.

Mereka dalam situasi tengat dan ini sama tidak bergunanya, hanya membuang waktu.

"Permisi pak polisi," tepukan bahunya mengantar pandangan pria berumur ke hadapannya. Dengan senyum lenarnya William cepat mengatakan maksud tepukannya, "kami sedang terburu-buru dan masalah pembunuhan kereta itu telah selesai. Buktinya ada goresan panjang di jari telunjuk wanita tersebut dan senarnya ditemukan dalam tas bawaannya. Aku rasa anak kecil pun tau itu bukti otentik dalam menjebloskan pelaku ke meja hukum. Kalau sudah mengerti sekarang kami permisi dulu, karena ada hal lebih mendesak daripada berkerumun dengan polisi buta."

Senyum kecil mati-matian Albert tahan agar tidak keluar dari ujung bibirnya. Tangan yang terbalut sarung dari bahan sutra menutup sebagian wajah bawahnya, salah satu upaya menahan rasa geli yang membludak.

Dengki dan runtukan belum selesai keluar beruntun dari mulutnya. Mereka berempat yang telah memasuki kendaraan pribadi dan melesat ke tujuan selanjutnya masih belum habis pikir dengan keadaan sebelumnya.

"Setelah ini aku akan melaporakan ke Lestrade dan menyuruh mengganti anak buahnya. Benar-benar ceroboh dan pemalas!"

"Sudahlah Sherly, sekarang bukan waktu kita mengurus hal itu lagi," ingat William akan masalah lain yang lebih mendesak untuk mereka pikirkan.

Dua hari memang berlalu, namun penyelesaian belum dimulai, bahkan merencanakan secara matang saja nihil dilakukan. Ada beberapa dari mereka telah menyiapkannya. Jangan heran bila nantinya mereka bergerak secara terpisah dengan pemikiran masing-masing karena begitulah yang mengejar mereka. Semakin lama dibiarkan maka siapa yang tau bila pelakunya kabur lebih dulu.

Saling mengumpulkan bukti dengan cara tersendiri akan efektif digunakan dibanding berharap keputusan lainnya. Urusan kerja sama itu bisa belakangan.

Bzzt! Bzzzt!

Getaran ponsel menyadarkan lamunan dari putra tengah Moriarty. Diraihnya ponsel dalam mode diam itu dari balik sakunya, mengetahui ada pesan masuk di sana. Sedetik kemudian alisnya menyerngit, heran dengan kalimat yang baru saja dirinya baca.

'Kalau benar begitu maka bukankah kita harus lebih cepat lagi ke sana?' William tidak berani membuka mulut. Dia diam dan berpikir, berusaha tidak menunjukan sikap aneh yang bisa dicurigai.

Helaan nafas diam-diam dia keluarkan. 'Baiklah mari kita susun semua skenario yang ada. Dua hari lalu, John Watson ditemukan meninggal gantung diri di apartemennya dengan Louis. Tentu saksi mata pertama adalah Louis, tunangannya sendiri pada pagi hari ketika dia mengunjungi John untuk rencana piknik mereka. Kejanggalan lain adalah kursi yang terlempar ke depan bukan ke belakang, menunjukan tidak mungkin itu usaha bunuh diri. Tak lupa ada bekas cakaran di seputar tali yang mengikat lehernya dan ada bekas pukulan pada pipinya. Tidak ada tanda perlawanan lain, barang-barang masih rapi dan tidak ada bukti yang menunjukan ancaman dan sebagainya.'

Punggung tangan kirinya menopang di dagu sambil melirik keluar berusaha menjernihkan pikirannya. Ada hal paling tidak masuk akal yang William pikirkan, dan sayang hal yang dia yakini sebagai kunci permasalahan ini yang belum sama sekali tersentuh oleh siapa pun.

Awan yang tidak nampak di langit kala itu justru membuahkan firasat tidak enak untuknya.

'Tunggu sebentar lagi Louis, kumohon bertahanlah sampai kami datang.'

***

(Masa sekarang, Ruang tamu Mansion Moriarty, Durham, Inggris, pukul 13:54)

Orang-orang yang berkumpul di bawah lampu kaca megah ruangan itu masih diam dengan suasana yang tak rubahnya selama kurang lebih setengah jam.

Pembicaraan sepihak membuat hening lebih sering menghampiri. Tersadar akan jam yang sudah berputar lama, Louis segera bangkit dan meninggalkan tempatnya, membiarkan para tamu-nya itu mengurus diri mereka sendiri.

Langkah kaki tergesa bergema di lorong lantai dua, tempat yang menjadi saksi bisu kedua kalinya air mata mengalir menuruni pipi tirusnya.

Louis sudah benar melupakan segalanya. Yang dia tau sekarang adalah menyiram seluruh tubuhnya dengan air dingin. Sekalian menenggelamkan badannya di dalam bath up, mencoba menghilangkan rasa asin yang semakin deras turun.

Louis benci menangis. Dia membenci perasaan dingin ketika air itu mengalir di pipinya. Dia takut karena sensainya sama saat tangan kekasihnya mengelus pipinya di saat terakhirnya. Dia membenci fakta bahwa dingin kesukaannya kini menjadi hal paling menjijikan yang ingin sekali dihindarinya.

"Sekeras apapun aku berusaha, ternyata rasa yang kau bawa tidak bisa menghilang atau pudar. Kehangatanmu yang begitu aku rindukan, sekarang berubah sepenuhnya menjadi dingin yang penuh teror. Aku senang kau tidak menghilang, namun tolong jangan hanya kembali dengan sentuhan membekukan itu, tapi kembalilah dengan dekapan yang mencairkan rasa takutku ini, John."

Tangannya merangkup erat badan yang telah setengah tenggelam. Nafasnya terputus-putus bukan karena sesaknya air, namun pada isak tangisannya yang tidak lagi bisa dia redam. Hancurnya perasaan setelah tau semuanya bukan hal mudah bahkan jika kapabilitasmu seperti Louis sekalipun.

Dia sudah menduga, dia tau karena dia yang melihatnya pertama kali. Louis tidak bodoh, dia pintar seperti kakak-kakaknya. Karena pemahamannya itulah dia semakin tidak terima dengan kenyataan di depan matanya.

Berkali-kali dia mencoba untuk melepaskan, merelakan apa yang sudah seharusnya dia biarkan pergi agar tak tertahan pada dunia yang bukan miliknya lagi. Namun salahkah Louis di saat tertentu sebuah rasa egois muncul dan membuatnya takut membiarkan sosok itu benar pergi dan tidak bisa kembali? Tangisan yang harusnya dia keluarkan ketika pemakamannya adalah tanda penolakannya. Sayang tubuhnya menolak untuk membohongi dirinya lagi, membuat kejujuran itu terbuka.

Bisikan lirihnya tidak lagi terdengar, 'aku mohon kembalilah padaku, John,' hanya ada batinnya yang meronta dan berteriak, menumpuhkan segala rasa sesal dan amarah yang entah pada siapa harus dia limpahkan.

***

(Masa sekarang, Pintu Depan Mansion Moriarty, Durham, Inggris, pukul 14:10)

Suara mesin berhenti tepat di dua pintu jati besar mansion itu. Ke-empat penumpang di dalamnya buru-buru turun, merasakan situasi yang terlampau sepi.

Langkah kaki cepat, tangan yang akan membuka pintu itu telah didahului oleh tamu yang ada di dalam sana. Dengan refleks mereka semua saling siaga, barulah menit kemudian menyadari siapa yang ada di depan mereka.

"Fred? Moran?"

"Tuan William? / William."

"Ada apa kalian di sini?" Sang sulung membuka suaranya duluan. Pandangan matanya menatap lurus pria tinggi serba hitam yang balik menatapnya juga.

"Tuan Louis, meminta kami untuk membawakan sesuatu untuknya," kalimat pelan dari pria yang paling kecil menjelaskan semuanya. Tidak ada pertanyaan yang lebih jauh, hanya ada keterdiaman sebelum William berlarian masuk, akibat firasat buruk menimpanya.

Moran dan Fred, sang tamu tadi, tidak jadi berbalik untuk pulang. Mereka mengikuti langkah orang-orang yang baru datang ini langsung ke lantai dua, tepatnya di depan pintu kamar yang sangat mereka ingat siapa pemiliknya.

TOK! TOK! TOK! TOK!

"Louis. Louis, ayo jawab Kakak. Kau ada di dalam bukan? Tolong bukakan pintu ini, Louis." Tak khayal William menepuk keras daun pintu itu, tidak memperdulikan suara berisik yang dirinya timbulkan.

Sherlock yang melihat hal itu menghentakan kakinya berkali-kali. "Moran, bantu aku mendobrak pintunya."

Anggukan kepala pelan dari Moran menjadi tanda bagi William untuk berhenti mengetuk dan membiarkan dua orang pria itu melakukan dobrakan kuat hingga pintu tertutup itu akhirnya terbuka lebar.

Suara desisan air terdengar samar, namun semua orang di sana memiliki telinga tajam jadi tidak heran bila selanjutnya adalah pintu kamar mandi yang didobrak.

"Louis!! Ya Tuhan! Louis ayo sadar..!"

Baru kali ini William panik, gemetaran melihat tubuh adiknya telah mengambang di dalam bath up yang airnya tumpah. Tangannya bergerak mengeluarkan tubuh Louis, memeluknya mencoba memberikan rasa hangat.

Pipi yang biasa merona kini putih sepucat kertas, dingin dan tidak terlihat hidup. Seluruh bajunya basah, dan tubuhnya ikut lemas tak ada tenaga. Louis yang telah pingsan beberapa saat sebelum mereka sampai.

Tepukan pelan William rasakan, menatap Sherlock memberikannya handuk besar dan tebal untuk membungkus tubuh Louis. Berlapis-lapis handuk mereka lilitkan namun belum ada kemajuan dalam meningkatkan suhu tubuh pemuda itu. Albert telah sigap menelepon ambulans, sedang Fred dan Moran membantu mengangkat Louis untuk membaringkannya di ranjang. Melihat tubuh adik bungsunya telah diamankan, Albert pula berinisiatif mengambil kemeja untuk menggantikan pakaian basah yang masih dikenakan Louis.

Semuanya bergerak dalam diam. Tidak ada suara berlebih selain gumam halus untuk memberikan kabar, itu saja dan selain itu diam. Antara terkejut dan menghela nafas lelah lantaran tau akan jadi begini sulit untuk dipisahkanl lagi perbedaannya.

Barulah beberapa saat kemudian dokter keluarga panggilan Albert datang dan memeriksanya, mengantar mereka semua menunggu di depan kamar tak berpintu, hasil dobrakan tadi.

"Louis," helaan nafas dari William ternyata belum berhenti. Tangannya memegang sebelah pelipisnya sedikit memijat, agaknya sakit kepala memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya.

Rangkulan William rasakan melingkari pundaknya. Ada Sherlock yang memberikannya simpati berupa dekapan dan itu lebih dari cukup untuknya sekarang. "Biarkan aku berpikir sejenak," katanya sebelum menyembunyikan wajahnya tepat di ceruk leher pria detektif itu.

Pandangan manik gelap tertuju pada dua sosok kejutan di sampingnya. Mengerti dengan pandangan bertanya yang diarahkan pada mereka, salah satuya sudah berinisiatif duluan menjawab, "Louis yang meminta kami menyelidiki secara diam-diam, dan dia sudah tau semuanya, yang mungkin melebihi apa yang diketahui polisi dan kalian saat ini." Nada rendahnya menekan kalimat akhir dari perkataannya, mau tak mau mendapat tatapan tegas serta penuntutan dari orang-orang di sana.

"Kami tidak bisa memberitahu lebih. Hanya jika Tuan Louis memberikan ijin, barulah kami buka mulut."

"Nah, kalian dengar itu. Maaf William aku belum dapat membantumu, dan kau Albert, jangan harap ancamanmu bekerja padaku," Moran ternyata mengenal rekannya lebih dari yang mereka ketahui.

"Sepertinya kalian telah menemukan sesuatu," nada dalam dari orang yang diam sedari tadi mengudara.

Moran? Dia malah tersenyum semakin lebar, "mungkin saja, eh?"

Menit-menit itu mereka, lebih tepatnya William saja, lalui dengan ketegangan menunggu hasil pemeriksaan bungsu Moriarty.

***

Malam ternyata sementara berlalu dan manik delimanya baru kembali terbuka setelah tadi dipaksa menutup oleh tekanan air. Badannya sangat lemas, paru-parunya bekerja keras demi mendapatkan tarikan nafas yang cukup baginya. Rasa basah itu sudah tidak ada, kini dirinya di kelilingi oleh balutan tebal selimut hangat, walau badannya seperti mengambang di udara.

Tidak sebentar maniknya menatap ke atas, lurus pada langit-langit yang tidak asing lagi dalam pandangannya. Hitam yang membesar tak menyisakan satu butiran cahaya pun, bukan karena sekarang tapi karena memang waktunya bulan dan bintang menempati tahta masing-masing.

'Oh, aku baru saja melakukan bunuh diri ya? Apa tidak berhasil? Siapa yang menolongku? Aku tidak merasakan apa-apa setelah pendanganku menggelap tadi,' dirinya bertanya namun sama sekali tidak mengharapkan balasan.

Alasan pertama jam sudah menunjuk pukul dua belas lewat sedikit, tengah malam sementara berlalu dan tidak mungkin masih ada yang berjalan-jalan di sekitar mansion. Kedua, dia tidak ingin berbicara pada siapa pun sebenarnya sekarang, kalau saja ada yang masuk atau mengajaknya bicara maka dipastikan orang itu diusirnya tanpa tanya.

Merasakan tenaga sudah muncul dalam ototnya, dia bangun, duduk dulu meredakan tegang dan pusingnya, baru beranjak menuju tempat terdekat namun paling disukainya ketika berdiam diri di kamarnya.

Balkon.

"Ternyata malam ini pun awan menyembunyikan diri mereka, membiarkan Putri Malam dan antek-anteknya merajalela memamerkan ke-elokan mereka. Sungguh kadang aku muak sekali dengan mereka. Salah satunya mitos yang mengatakan sesuatu tentang pengabulan harapan, tapi yang kuterima hanya hancurnya harapan itu," monolognya lebih penuh dengan caci maki dengan kekesalan kental terngiang.

"Dasar pembohong."

Dia sudah kenyang dengan segala kebohongan di sekitarnya. Janji yang dibatalkan, pertemuan yang hancur, kenyataan yang menipunya. Kalau selanjutnya kematian mempermainkannya pula maka lengkap sudah penyiksaan yang diberikan alam semesta padanya. Entah dosa mengerikan apa yang telah diperbuatnya. Membunuh semut mungkin hampir tidak pernah dia lakukan.

Kepalanya tertunduk, membiarkan angin menerbangkan helai pirangnya, dan membuat manik delima redup menatap ujung kaki hampir biru punyanya. Tentu beku menusuk kulitnya, namun tentu juga dia tidak peduli barang sedikit saja.

Lagipula sosok yang biasa peduli padanya juga sudah tidak nampak, selamanya tidak pernah kembali dalam dekapannya. Hanya silir angin dingin seperti ini yang akan menemani malamnya dan terik panas yang bersamanya ketika siang.

"John, apa kau benar-benar tidak bisa kembali padaku?"

'Setidaknya bila kau ada di sini, kumohon jangan hantui aku sampai seperti ini. Tapi bawalah aku ikut bersamamu.'

***

(Masa sekarang, Ruang Keluarga Mansion Moriarty, Durham, Inggris, pukul 19:34 sebelumnya)

Aroma harum teh yang diseduh sudah hilang beberapa saat lalu. Terasa berbeda dengan dulu yang bertahan sampai berjam-jam. Justru suasana tegang yang berthan di sana.

"Lebih baik kalian berbicara jujur sekarang sebelum jeruji besi menjadi tempat peristirahatan kalian malam ini," nada datar terkesan penuh otoritas menggema pertama memecahkan kesunyian.

Dua mata gelap saling melirik, tersenyum mengejek tanpa harus melengkungkan bibir mereka. "Coba saja," hanya itu jawaban yang diberikan Moran pada Mycroft, berhasil membuat pria itu menatapnya kesal walau tak kentara.

William mau tidak mau harus mengambil alih suasana, tidak ingin mansion mereka hancur karena dua orang pria tua di hadapannya. "Baiklah, baiklah kami mengerti. Namun setidaknya, beritahu kami kenapa kalian bisa datang bahkan sukarela mencari bukti?" Kalimat tanya itu dikatakannya dengan nada tidak meyakinkan.

Gelengan penolakan diberikan oleh Fred, "bukan. Kami datang atas jawaban dari permintaan Tuan Louis pada kami untuk membantunya. Dan sepertinya benar kalau dikatakan sukarela, kami tidak akan bekerja sama dengan kepolisian kalau itu maksudnya."

Aherlock hanya diam menatap suasana tegang itu, sedangkan Albert masih setia dengan gelas anggur kesayangannya.

'Terasa pahit,' atau begitulah yang dipikirkannya. "Kalian tinggalah malam ini. Besok pagi kita bicarakan lagi ketika Louis sudah bangun. Semuanya pasti lelah dengan kejadian yang terus terjadi, aku harap semua bisa beristirahat dan kembali segar besoknya."

Anggukan pelan dia terima atas perkataannya. Namun tidak ada satu yang sadar bahwa ada manik menatap ke arah mereka, ke salah seorang di antara mereka dengan tatapan datar dan begitu dingin, 'dengan tenang ya? Aku tidak yakin tapi.' 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top