Memoir 1: The Red Land That Eat You Makes Me Throw Up

Hujan bulan itu bukanlah pertanda baik. Kulitnya menjadi pucat dan kering walau terus menerus basah. Kantong mata yang makin hari makin hitam sama sekali tidak tergubris, masa bodoh bila tiba saatnya bola sebesar bekel itu akhirnya menggelinding keluar dari tempatnya. Warna yang seharusnya berputar antara kemerahan atau tan, kini hanya terbalut hitam kedukaan tanpa merefleksikan bayangannya.

Kepalan tangannya membuat buku-buku memutih, sangat putih sampai tulangnya bisa terlihat di antara kulit tipis miliknya. Tidak ada suara yang keluar, namun raungan dari dalam dirinya entah mengapa terdengar jelas bagi orang-orang di sekelilingnya. Begitu naas, sayang belum ada obat yang bisa menenangkan.

Nyatanya, penenang hatinya telah berpulang dan tidak akan kembali walau tanah kemerahan dia garuk dan hancurkan.

Tepukan pelan kesekian kalinya dia rasakan. Niat berpaling sama sekali tak terpikirkan. Terlihat angkuh dan dia membiarkannya karena untuk apa lagi dia memperhatikan?

Kini tepukan berganti rangkulan, dari sosok pirang yang serupa dengannya dan sosok berambut coklat ikal dengan permata hijau yang meredup, mereka bertiga berpelukan- hanya dua, yang satu betah dengan posisi macam batu. Berdiri tegak, kepala tertunduk membiarkan poni yang panjang sebelah menutup sebagian rautnya. Hujan tak lupa menambah perannya dalam meredupkan sinar yang seharusnya ada.

"Adikku yang malang, kenapa kau harus melewati semua ini?" Pertanyaan yang terkesan bodoh untuk menyampaikan rasa bela sungkawa. Basa-basi lama yang menurutnya cukup memecahkan suasana daripada menunggunya histeris.

Bisikan lain pun ikut menyuarakan, "Louis, maaf kau harus melewati semua ini. Aku janji kita akan menangkap pelakunya dan membuat mereka membayar harganya."

Berbeda dengan sang kakak tertua, anak tengah lebih menusuk ketika dia mengucapkan kalimat itu. Anggukan pelan si bungsu berikan, daripada tidak sopan mengabaikan. Telapaknya perlahan naik dan menyentuh dua lengan yang melingkar erat di pundaknya.

"Terima kasih Kak William, Kak Albert. Masa kami memang singkat namun aku sangat menghargainya. Dan tentu kupastikan pelakunya merasakan derita yang harus dilalui John."

Tekadnya bulat, tapi akankah cukup mengupas apa yang seharusnya sudah tercium dengan jelas?

'Tenang saja John, atas nama Louis James Watson neé Moriarty, aku akan mengungkapkan apa yang terjadi padamu hingga kau harus meregang nyawa secara tidak terhormat ini!'

Kedua kalinya dia mengucapkan ikrar. Pertama tentu saat mereka disatukan pada pertemuan suci yang mengikat benang merah keduanya dengan kencang. Sekarang sumpah itu dilantangkan dalam duka perpisahan, menggunting tali yang seharusnya bersambung dengan gunting paling tumpul yang pernah ada. Dan kali ini, dirinya akan menjadi penenun yang menghubungkan lagi untaian terputus bersama kekasihnya.

***

6 Bulan Lalu, Kediaman Moriarty, Durham, Inggris, pukul 05:09

Subuh kali ini disambutnya bersama kabut tebal yang membuat putih sedikit transparan saja terlihat. Udara yang dihirupnya pun menusuk, terlalu dingin walau musim gugur baru memasuki pertengahannya. Pakaian yang dipakai hanya berupa kemeja putih tipis, bersama dengan celana bahan yang tidak akan menghalau terpaan angin kala itu.

Walau tau akan kedinginan, semua itu tidak menghentikannya untuk mmembuka pintu balkon, bukan hanya jendela, demi bisa menghirup dan menyambut hari baru. Tanpa alas kaki dia berjalan keluar menginjak beton dingin serta menghadap langsung hamparan taman belakang yang tepat di bawahnya.

Tiap kali dia bangun pagi untuk melihat semua itu, dan selama itu pula rasa bosan sukar datang padanya. Untunglah begitu karena dirinya pasti kebingungan bila tidak memiliki hobi seperti ini. Tangannya merentang, menyambut kembali sejuk dengan alas beku sebagai pengiringnya.

"Udara subuh adalah yang terbaik! Aku heran kenapa banyak yang malas bangun sepagi ini," sindirnya tanpa sadar, pada orang-orang yang terlintas di pikirannya. Helaan nafas selanjutnya keluar, pasrah bila terus menggelengkan kepala akan kekeksalan kelakuan pemalas mereka.

Sebentar dia meregangkan otot yang kaku, kala lengkungan kecil muncul dibelahan bibirnya. "Ayo Louis, hari ini bukan waktumu untuk bersantai-santai!"

Cepat-cepat mengakhiri kegiatan rahasianya di pagi hari, Louis segera masuk tak lupa menutup kembali pintu balkonnya. Berjalan tergesa-gesa menuju kamar mandi dan menyelesaikan keperluannya, Louis keluar dan memilih setelan baju mana yang harus digunakannya. Dan pilihannya jatuh pada sepasang kemeja putih dan rompi coklat berpadu dengan celana bahan hitam. Sederhana, namun efisien dalam bergerak kata Louis.

Merapikan rambutnya sebelum pintu kamarnya diketok perlahan dari luar, "Tuan Louis, apa anda sudah bangun?"

"Sudah, masuk saja Kakek," katanya menampilkan seorang paruh baya menggunakan pakaian khas pelayan pria yang berjalan mendekatinya.

"Lagi-lagi anda memanggil saya kakek," keluh pria tua itu, beranjak menyeduh teh di meja kecil samping ranjang.

Louis turut mendekati meja itu dan duduk di kursinya, "dan lagi-lagi kau memanggilku Tuan, Kakek."

Tak lama dibutuhkan untuk mendengar suara tawa besar dari pria tua itu, bersamaan dengan secangkir hangat teh yang diletakan di atas meja kecil, "kau memang pintar sekali membalas perkataan, Nak Louis. Lagipula aku belum setua itu untuk dipanggil kakek."

"Bagiku dan Kakak-Kakak, kau sudah seperti keluarga," jawab Louis tenang sambil menyeruput teh buatan kepala pelayan.

Kenapa kepala pelayan yang menyeduhnya langsung? Jadi, sebenarnya, "teh yang enak. Ternyata tidak sia-sia aku berburu di pasar kemarin. Aku akan segera menyeduhnya sendiri untuk Kak William dan Kak Albert. Kakek sekarang bisa ke dapur duluan dan menyiapkan bahan sarapan."

"Jadi siapa yang tuan rumah, siapa yang pelayan di sini? Nak, kau bisa mempercayakan urusan rumah tangga pada kami dan pergilah bermain dengan teman-temanmu."

Jujur pelayan di kediaman yang sangat besar itu tidak seberapa. Pekerjaan juga tidak banyak yang ada karena hanya tiga orang Tuan Muda tinggal di sana. Di tambah dengan sang bungsu yang suka sekali 'mengambil' pekerjaan pelayan, membuat sebagian besar pekerja bertanya kenapa mereka dipekerjakan.

"Kakek, aku hanya membantu dalam memasak dan juga memberes kebun sesekali. Selain itu aku juga banyak menghabiskan waktu di luar, jadi jangan terlalu khawatir dengan kehidupan sosialku," ucapnya berusaha menenangkan kekhawatiran yang lebih tua, walau tentu yang sosok senior tidak mudah tertipu dengan mata yang telah terlatih penglihatannya.

'Sekarang aku mengerti kenapa baik Tuan Albert dan Tuan William hampir menyerah mengatakan hal ini pada Tuan Louis,' batinnya yang hanya akan dia laporkan untuk dua Tuannya yang lain.

"Benar juga, aku akan keluar hari ini untuk berbelanja, apa ada yang harus kubeli nanti?"

"Padahal ada pelayan yang lain, tidak ada setahuku- oh selain daun teh dan bubuk coklat yang hampir habis saja." Mengangguk pelan, Louis mencatat dua benda itu dengan baik dalam kepalanya.

Sedikit melirik ke samping, matanya sedikit membola mengetahui jika jam sudah mau menunjuk pukul enam. "Kakek aku harus ke dapur sekarang. Tolong siapkan jaket dan sepatuku, dan taruh di ruang makan. Aku harus segara membuat sarapan, jadi sampai bertemu nanti Kakek," begitu dan suara pintu tertutup mengakhiri subuh damai di kediaman besar itu.

***

Makan pagi berlangsung lancar tanpa ada teriakan marah dari sosk termuda di sana. Bersyukur beberapa orang memang tidak ada di tempat sekarang, meninggalkan tiga orang bersaudara menikmati makanan yang sudah tersaji di depan mereka.

"Sudah kuduga Louis pandai sekali memasak. Lain kali ajari Kakak membuat omelet ini?" Pinta sang kakak tertua.

"Benar, Kakak tidak akan menduga dengan sayuran saja bisa sampai semenajubkan ini. Kau pintar masak Louis," kini gilaran kakak keduanya yang memuji, menimbulkan semburat merah, malu karena walau hampir setiap hari mereka begini, dirinya tidak akan terbiasa.

Batuk pelan terdengar, Louis sedang meredakan rasa gugup yang muncul tiba-tiba, "tidak sampai seperti itu Kak. Aku juga membuatnya setiap saat dan mungkin Kakak yang bosan memakan masakan itu terus."

"Bosan bagaimana dengan cita rasa terbaik dari adikku paling manis ini?"

Kecut bibir di hadapan Albert dan William cukup untuk membuat mereka tertawa pelan, asik sendiri menggoda Louis.

"Maaf Louis, tapi apa yang kami katakan benar adanya. Masakanmu itu enak sekali, apa kau tidak ingin masuk sekolah masak?"

"Aku juga penasaran setelah mendengar kalimat Will, kau mendaftar pelatihan bisnis bukan Louis? Aku kira kau mau mengambil bidang kuliner waktu itu?"

Kewalahan dengan pertanyaan kedua kakaknya, Louis dengan cepat menjawab rasa penasaran mereka, "i-iya benar aku mengambil bisnis karena kupikir kalau mengambil kuliner itu tidak akan terlalu berguna bagi Moriarty. Lagipula aku memasak hanya sekedar hobi, jadi tidak perlu diseriuskan seperti ini."

Serentak manik emerald dan ruby saling bertukar pandang, "padahal kalau ingin serius juga tidak masalah. / Aku berharap bisa melihat Louis menggunakan apron."

Bukannya terdiam, malah Louis semakin memerah mukanya, "Sudah Kakak habiskan sarapannya saja dan bersiap bekerja..!"

Ternyata dua kakaknya belum puas menggoda adik kesayangan mereka.

***

'Aku sayang Kakak, aku suka sekali dengan Kakak, tapi kenapa kalian suka sekali menjahiliku!?' Atau kira-kira begitulah rontaan hati Louis bila mengingat kembali kejadian di meja makan tadi.

Dia tidak bisa berteriak, kebiasaannya untuk meredakan emosi menggebu dalam dirinya. Sekarang ini Louis telah sampai di toko swalayan kesukaannya untuk berbelanja kebutuhan bulanan mereka. Barang seperti perlengkapan rumah tangga dan bahan makanan hanyalah beberapa dari daftar panjang yang telah dibuatnya.

Kenapa tidak menyuruh pelayan? Seperti sudah dia katakan tadi, dia senang melakukan hal semacam ini. Rasa kasihnya pada kedua saudaranya, membuatnya ingin 'berguna' untuk mereka. Dalam kenyataan Louis mendedikasikan kesehariannya 'melayani' khusus semua keperluan saudaranya.

Berkali-kali Albert dan William menolak, mengatakan secara halus agar tidak melukai perasaan sang adik. Nyatanya hingga sekarang pun Louis enggan menghentikan kebiasaannya.

"uis.. ouis.. Louis?"

"Ah! Iya John? Ada apa?"

"Bukan 'ada apa', dari tadi aku sudah memanggilmu berkali-kali tapi kau tidak menjawabnya. Kau sakit? Mau kuantar balik?"

Nada khawatir memenuhi kalimat yang dilontarkan pemuda di sampingnya. Benar juga, Louis lupa saat ini dia tidak sendirian, melainkan bersama dengan kekasihnya, John Watson, yang kebetulan sekali sering khawatir berlebih akan dirinya. Mungkin mengingat pekerjaannya sebagai dokter yang peka dengan keadaan fisik seseorang.

Senyum simpul Louis keluarkan, "tidak, tidak. Aku baik-baik saja, jangan khawatir John, sungguh."

John belum sepenuhnya percaya, namun biarlah bila Louis memang tidak ingin menceritakannya, "baiklah, tapi kalau ada sesuatu kau harus segera menceritakannya, mengerti?"

"Siap, Dokter Watson!"

Melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda, kini keduanya sampai di bagian sayur-mayur. Segera Louis beranjak, memilih mana yang akan dia ambil. Satu persatu tanaman mayoritas hijau dia lihat dengan teliti. Mau tidak mau membuat John tersenyum lebar, tidak tahan dengan raut manis sosok tersayangnya.

"John kau mau singgah makan malam nanti?"

"Kalau kalian tidak kebertan aku menumpang makan," jawabnya sederhana, langsung menuai delima yang menyipit sengit ke arahnya.

"Dokter bodoh," katanya sebelum berbalik pergi ke daerah daging, meninggalkan John yang masih berkutat menahan tawa.

"Tunggu aku, Louis."

***

Waktu berputar cepat, tak terasa dentingan alat makan dengan piring barusan selesai terdengar dan kini suara itu berputar lagi. Makan malam sederhana, dengan empat orang yang menghiasi meja panjang penuh canda dan gurauan. Semuanya berjalan lancar, terlalu lancar sampai hari itu disematkan terlalu normal bagi Louis.

"Maafkan Sherlock tidak bisa datang malam ini, William. Dia ada tugas mendadak dari kepolisian sampai tadi pagi mencak-mencak padaku mengatakan betapa mengesalkannya Tuan Lestrade," tawa canggung John keluarkan, terlalu hafal dengan kebiasaan sahabat dari masa sekolahnya.

William tentu sudah mengetahui tabit detektif kesayangannya, mengibas tangan memberi signal 'tidak apa-apa', "biarkan dia Dokter. Dia sudah memberi kabar padaku dan aku bisa membayangkan dengan jelas wajah kesalnya saat mengirim pesan itu."

"Baguslah gembel itu tidak menganggu pemandangan," ketus Louis, jauh lebih diprediksikan mereka semua. "Dan aku hanya mengundangmu John, kenapa malah membawa namanya?"

"Eh? Karena aku pikir dia juga diundang olehmu-"

"Mana mungkin aku mengundang gembel menyebalkan itu!?"

"Aku yang mengundangnya Louis, dari beberapa hari lalu. Maaf tidak memberitahumu lebih dulu," sela William, mengantisipasi garpu dan pisau makan hampir bengkok lantaran dicengkram kuat oleh adiknya.

Dan cara itu lebih dari kata efektif. "K-kalau Kakak apa boleh buat. Tapi aku tetap tidak akan memasakannya makanan."

Melihat kesempatan, John juga tidak menyia-nyiakan itu, "bagaimana denganku? Apa kau akan memasakanku setiap saat Louis?"

Dan bingo! Wajah yang putih itu perlahan memerah, berubah menjadi tomat matang.

"Ah, senangnya menjadi Dokter Watson, bisa mendapatkan masakan Louis. Bagaimana dengan Kakak? Kak Albert pasti mau juga masakanmu, bukan begitu Kak?"

"Tentu saja. Siapa yang akan menolak makanan penuh cinta dan rasa yang mengalahkan restoran?"

"Kalian menyebalkan..!"

Makan malam itu ditutup dengan raut cemberut Louis, hasil godaan berantai dari sang kekasih hingga dua kakaknya ikut 'meramaikan' suasana.

***

"John bodoh! Jangan dekat-dekat. Tidur di lantai sana!"

Bukan John kalau dirinya tidak bisa menduga hal ini. "Ayolah Louis, aku minta maaf. William dan Kak Albert juga sudah minta maaf tadi? Kami hanya bercanda, kumohon jangan cemberut lagi?"

"Siapa yang cemberut!?"

Helaan nafas panjang keluar dari belah bibirnya. John sudah hafal dengan kebiasaan pemuda manis yang telah bergulung menjadi bola besar dalam selimutnya.

Dengan perlahan dan penuh kelembutan, dirinya naik di atas ranjang tepat di samping buntalan kain. Merengkuh, memasukannya dalam dekapan walau terasa lebih besar dari sebelumnya karena ada penghalang. Uasapan pelan tak ketinggalan diberikannya, di bagian atas pada pucuk kuning ke-emasan yang mencuat sedikit.

"Maafkan aku, Lou," berakhir menggunakan senjata andalannya, nama panggilan yang hanya boleh dirinya seorang pergunakan.

Butuh sedikit kesabaran sampai bulatan itu terbuka, menampilkan wajah kemerahan dengan bibir mengercut lucu. Louis tanpa menunggu lebih lama lagi menceburkan dirinya dalam dekapan hangat kesukaannya, menyingkirkan selimut tidak peduli dengan udara dingin perlahan terasa semenjak bulan merambat naik.

"Humn, jangan ulangi lagi, dokter bodoh," panggilan lainnya? Entah atau memang John masokis, tapi perasaannya lebih ringan bila mendengar sahutan manja dengan 'nama kesayangan' Louis padanya.

Usapan pada punggungnya merilekskan seluruh ketegangan yang ada. Sekali lagi, mungkin karena John adalah dokter jadi dia tau bagaimana merawat orang kelelahan.

Apa Louis baru saja mengakui dia lelah?

Sadar, Louis semakin mendekatkan tubuhnya, mengeliminasi jarak mereka, membiarkan baik Louis sendiri maupun John bisa merasakan pas dengan keberadaan satu sama lain. Terserah bila ini hanya karena profesi dokter itu, Louis lebih dari senang dan bahagia mendapatkan tempat sandaran miliknya sendiri.

"Aku sayang sekali padamu Lou, sayang sekali sampai ingin menghabiskan waktu saja denganmu, berduaan tanpa ada yang mengganggu," bisikan pelan itu mengalun halus, terekam sempurna dalam pikirannya.

Manik yang perlahan menutup terbawa buaian telapak hangat milik pria-nya, benar-benar nyaman sampai dunia mimpi tidak pernah terasa begitu candu begini.

.

.

.

(Masa Lekarang, Mansion Moriarty, Durham, Inggris, Pukul 02:51)

"Aku juga menyayangimu John, kumohon tetap tinggal bersamaku."

Berbeda, lirihan ini terasa beku, mencengkram tiap tulang yang tersambung di tubuhnya. Mengantarkan merinding tak tanggung walau selimut membungkus dirinya. Musim kala itu bukan musim dingin, lebih pada derasnya hujan yang tidak berhenti mengucurkan airnya di bumi.

Ruangan gelap tanpa pencereahan sedikit pun menjadi peraduannya. Enggan menyalakan lampu, dia sudah sangat nyaman dalam kegelapan ini.

"Lebih baik kau membunuhku dulu sebelum pergi," dia sedang mengeluh, akhirnya dia bisa melakukannya. "Enak sekali kau pergi dan membiarkanku membusuk di sini bersama jasadmu? Harusnya kau mengacaukanku, menghancurkanku dengan cara paling kasar yang kau tau, membelahku dengan pisau operasimu, jangan biarkan tersisa sedikit daripadaku."

Tidak akan ada jawaban yang diberikan padanya berapa kali dia memohon, sampai punggungnya patah karena terus membungkuk, merendahkan diri pada siapa saja yang memgang kendali tali hidup itu. Dewa atau apapun, kembalikan pusat dunia milik anak malang ini.

"Kau pendusta paling menjijikan yang pernah aku temui," belum selesai, "kembali ke sini dan biarkan aku memukulmu, dokter bodoh."

Yang ada, Louis menusuk sendiri hatinya, dalam kesendiriannya, dalam duka yang dia biarkan menabur garam tanpa henti di luka gores abadi miliknya.

"Kembali dan tanggung jawab, kembali dan biacara padaku, kembali dan peluk aku lagi John!"

Percuma karena hanya hampa yang akan datang menghampiri, mencambuknya meninggalkan rasa sakit baru, menambah erangan kesengsaraan tiada henti baginya.

Jiwanya yang pergi, meninggalkan bekas yang tidak bisa hilang bahkan dengan waktu yang berjalan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top