My Little Sister
Kenangan takkan pernah hilang meskipun kita telah tiada. Itu yang aku rasakan ketika menginjakkan kaki di kamar adikku Diana. Kamar yang bernuasa merah jambu khas cewek dengan boneka berbagai jenis dan ukuran berjejer di atas tempat tidurnya, rak buku berukuran sedang penuh buku pelajaran, juga koleksi komik dan novel favoritnya yang sering ku pinjam diam-diam, lemari pakaian besar yang biasa ia keluarkan isinya saat kebingungan memilih baju. Aku ingin tertawa rasanya mengingat hal itu, bagaimana ocehannya yang berkata, "Argh, aku gak punya baju buat pergi ke pensi sekolah nih kak!" padahal pakaiannya penuh selemari bahkan lebih banyak dari punyaku.
Aku berjalan menuju meja belajarnya di sudut ruangan dekat jendela, Diana suka menyendiri saat belajar sambil sesekali memandang kolam ikan di taman belakang rumah yang juga sengaja ditanami berbagai jenis bunga oleh mama. Dulu aku selalu mengejek kebiasaan belajarnya yang menurutku terlalu melankolis itu, tapi kini aku sadar Diana benar. Memandang taman belakang sambil belajar terbukti bisa membuat hati tenang dan lebih konsentrasi.
Meja belajar Diana tertata rapi, hanya ada tempat pensil dan lampu belajar di meja. Sedangkan buku tulis pelajarannya berjejer di rak yang letaknya menempel di tembok di atas meja belajar. Diana sangat menyukai Matematika, pelajaran yang kebanyakan tidak disukai para pelajar termasuk aku. Ku ambil buku catatannya yang berisi rumusan trigonometri, logaritma dan kawan-kawannya itu. Mengenang tulisan tangannya yang rapi, dia bahkan membedakan warna tinta untuk rumus dan contoh soal, dasar perfeksionis dia itu.
Aku balik lembar demi lembar sampai pada halaman yang isinya hanya coretan macam benang kusut. Ternyata Diana bisa frustasi juga dengan matematika, wajahnya pasti lucu saat kebosanan sambil mengeluh "Ahh... aku bosan." Tapi yang kudapatkan dilembar berikutnya dan berikutnya hanya hal sama dan bahkan lebih parah. "AKU INGIN MATI!" tulisan itu ditulis dengan guratan tinta merah. Ku ambil buku yang lainnya dan disetiap lembar belakang terdapat hal yang sama. ENYAH KALIAN, AKU INGIN MATI, BERHENTI MENGGANGGUKU, DASAR PENGKIANAT. Dan sungguh aku tak kuasa menahan air mata saat kulihat sebuah coretan di lembar terakhir buku Fisika miliknya. TOLONG AKU KAK.
Ya Tuhan. Sesak rasanya dada ini, jantungku seperti dihandam godam. Aku merasa gagal sebagai seorang kakak. Disaat adikku butuh pertolongan, bahkan aku tak ada di sampingnya. Ada apa denganmu Diana? Apa yang ku lewatkan saat tak di sisimu? Kenapa kamu pergi disaat aku kembali untukmu? Dan apa maksud surat yang kamu kirimkan itu?
To My beloved brother,
Hai Kak, bagaimana kabarmu? Aku rindu saat kita bersama-sama. Aku rindu ketika kamu jadi pangeran yang selalu melindungi dan menyayangi sang putri yaitu aku. Kak, mungkin saat kamu kembali semua takkan sama. Tapi satu yang harus kakak tau bahwa aku sayang sama kakak, ayah juga mama. Kalau aku bukan sang putri lagi, kakak tetaplah jadi pangeran yang jagain mama. Maaf ya kak kalau aku belum jadi adik yang membanggakan. See you..
With love, Diana.
Diana Putri Alinka, 16 tahun kelas 2 SMA. Diduga meninggal karena jatuh dari tangga lantai tiga di sekolahnya. Menurut polisi Diana jatuh karena terpeleset akibat tidak hati-hati. Tidak ada saksi mata saat kejadian tersebut karena sekolah sudah sepi. Diana ditemukan tak bernyawa kehabisan darah oleh petugas kebersihan bernama Pak Yadi saat bersih-bersih pada sore itu.
Yang jadi pertanyaanku, benarkah Diana jatuh terpeleset karena salahnya sendiri? mengingat Diana seorang yang perfeksionis dan selalu berhati-hati dalam hal apapun, apalagi masalah keselamatan jiwa. Bukannya aku menuduh, tapi bisa jadi ada yang mendorongnya. Melihat coret-coretan di bukunya, mungkinkah Diana di bully? Adikku gadis yang mandiri, kepribadiannya juga baik dan memiliki banyak teman, rasanya tidak mungkin ia punya musuh.
°°°°°°
Aku resmi pindah ke Jakarta, menemani Mama yang masih terpukul dengan kepergian Diana. Sedangkan Ayah yang mengurus surat kepindahan sekolahku juga membawakan barang-barangku. Meskipun telah lama berpisah, Ayah tentu juga terpukul atas kepergian Diana sama seperti Mama. Oleh sebab itu pula lah ayah menyuruhku untuk tinggal di sini menjaga Mama. Ayah takut mama yang depresi akan melakukan hal nekat.
Pindah sekolah dipertengahan semester tidak membuatku kesulitan beradaptasi. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi aku orang yang mudah bergaul dan cukup pintar jadi tidak ada pelajaran yang tertinggal. Mengumpulkan informasi tentang Diana adalah tujuan utamaku sekolah di SMA Cakrawala. Ya, aku pindah di sekolahnya sebagai senior di kelas 3. Akan kucari tahu sebab kematiannya yang tiba-tiba juga hubungan antara pesan dan coretan di bukunya itu.
"Kak Dimas ..." Suara mirip toa yang cempreng menghentikan langkahku ke ruang OSIS. Dia Amelia, junior yang kelewat centil selalu mengekoriku sejak seminggu kepindahanku di sekolah ini. Kehadirannya di sekitarku membuat risih, aku heran tidak ada anggota OSIS atau guru yang menegur anak ini. Dandananya ke sekolah seperti orang mau ke mall saja, make up nya sedikit berlebihan dengan aksesoris gelang yang kelewat batas hingga ada suara gemerincing saat ia berjalan. Kalau bukan karena aku meminta bantuannya, malas rasanya dekat-dekat anak manja satu ini. Walau harus kuakui Amelia termasuk anak yang cerdas. Semoga dia kali ini bawa info terbaru.
"Kenapa Mel?"
"Aku punya info baru Kak!" Nah benarkan. Senyumku langsung terkembang, dan bukannya melanjukan omongannya Amelia malah memandangku intens.
"Ehm!" dehamku menyadarkannya kembali ke Bumi.
"Lalu info apa itu?" kulihat dia salah tingkah, begitu mempesonakah aku sampai dia mendadak gugup begini?
"Eh. Itu... anu Diana murid olimpiade Matematika, di akhir semester kelas satu lalu dia menyumbang piala untuk sekolah. Menurut teman-temanku yang kenal Diana, dia anak yang baik juga ceria. Tapi beberapa bulan terakhir dia selalu menyendiri, dan banyak gosip juga tentang dia yang katanya perebut pacar orang, perusak hubungan orang, teman makan teman, cewek selingkuhan, dan bahkan ada gosip yang bilang dia anak pembawa sial hingga kedua orang tuanya bercerai." Mendengar info dari Amelia membuat hatiku sakit. Diana tidak mungkin melakukan itu semua, dan apa-apaan itu pembawa sial. Seenaknya saja mereka menjelekkan adikku seperti itu, tidak bisa dibiarkan.
"Mel, Aku mau minta tolong sama kamu. Cuma kamu yang bisa aku andalkan dalam hal ini, kamu... mau bantu aku kan?" Amel mengangguk mantap, aku tersenyum melihat reaksinya.
Aku meminta Amel mencari tahu teman terdekat Diana di sekolah ini. Aku yakin temannya itu pasti tau sesuatu soal gosip yang menimpa Diana. Sedangkan aku akan memeriksa CCTV pada hari dimana adikku itu meninggal. Polisi juga sempat memeriksa seluruh rekaman CCTV di sekolah ini dan menyatakan tidak ada saksi mata atau hal aneh yang menimpa Diana. Kepolisian menyatakan kematian Diana murni karena kesalahannya sendiri hingga terjatuh dari tangga. Tapi aku masih tidak yakin sebelum memastikannya sendiri. Tidak mungkin tidak ada saksi mata yang melihat kecelakaan itu.
Di sekolah ini memang dipasang CCTV di setiap lorong, tangga dan ruangan-ruangan seperti perpustakaan, kantin, laboratorium juga ruang komputer tapi enehnya hanya CCTV lantai 3 lorong kelas IPA2 yang rusak. Apa Polisi sudah memeriksanya juga? Kamera di sana mengarah ke kelas XII IPA 2 dan XII IPA 3 yang berada tak jauh dari tangga tempat Diana jatuh, meski dari sudut pandang kamera hanya bisa menyorot sedikit saja ke arah tangga.
Dengan Danial teman masa SMP ku yang menjabat sebagai wakil ketua OSIS ikut membantu megurus tentang hal perijinan, semakin mempermudahku. Meminta izin pada pihak sekolah sangat sulit, butuh alasan yang kuat agar diizinkan melihat rekaman itu. Kami terpaksa berbohong ada kasus pencurian yang menimpaku dan bermaksud mencari pelakunya. Secara diam-diam ku copy seluruh hasil rekaman pada hari itu, dan di sinilah aku sekarang bersama Danial di ruang OSIS. Meneliti satu per satu video rekaman. Tidak ada hal yang aneh selama hampir tiga jam, kami hanya menonton aktifitas siswa yang lalu lalang, praktek di lab, istirahat di kantin dan menyaksikan betapa kurangnya minat baca siswa Cakrawala karena perpustakaan sangat sepi pengunjung.
"Dim, coba lo liat ini Diana bukan sih?" Aku tersiap, kuperhatikan video di layar monitor Danial dan ada Diana di sana. Tersungkur di lantai perpustakaan.
"Coba lo mundurin dikit Al." Sekilas Diana seperti tersandung rak buku, tapi ketika Danial memperbesar gambar terlihat bayangan orang lain di sana.
"Kok gue jadi curiga dugaan lo Diana di bully itu bener Dim. Dan gue gak sadar akan semua itu, gue merasa gagal jadi pengurus OSIS."
"Bukan salah lo Al. Lo juga udah terlalu sibuk ngurusin acara buat kemajuan sekolah, gak mungkin juga kalo lo harus mantau siswa disini satu-satu kan?"
Danial tersenyum kaku, aku tau perasaannya dan andai guru juga OSIS disini lebih peka mungkin pembullian tidak akan menimpa Diana.
"Satu-satunya yang harus disalahkan itu gue, karena terlambat datang saat Diana butuh pertolongan gue sebagai kakaknya."
°°°°°
Ruang kepala sekolah Cakrawala yang biasanya sepi kini dipenuhi dewan guru, anggota OSIS, dan beberapa siswa termasuk aku. Kami membahas kasus bully yang menimpa Diana selama ini, yang tidak diketahui pihak sekolah. Aku tidak berhasil menemukan bukti yang menyebabkan adikku meninggal. Tapi aku berhasil mengungkap dalang dibalik penderitaan adikku sebelum ia tiada.
Callista, yang tak lain adalah teman dekat Diana dan teman-temannya lah yang membully Diana dengan alasan yang menurutku sangat kekanakan. Callista cemburu mantan pacarnya Reinaldi mendekati Diana. Ia menyebar gosip buruk tentang Diana dan mengerjai adikku hingga ia frustasi karena dijauhi teman se-angkatannya di jurusan IPA. Dan korban bully Callista dan gengnya tidak hanya adikku, ada beberapa siswi lainnya yang saat ini ikut hadir di ruang kepala sekolah. Berkat bantuan Amelia dan Danial, setidaknya adikku mendapat keadilan. Callista dan temannya di drop out dari SMA Cakrawala secara tidak hormat. Sekolah pun membentuk organisasi kedisiplinan khusus yang bertugas mengawasi siswa-siswi dari tindak kekerasan atau bully, yang berdiri di bawah tanggung jawab OSIS.
"Kak Dimas, jadi Diana itu adiknya kakak? kenapa Kakak gak bilang sama aku dari awal?" keluh Amel. Aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum, masih pantaskah aku dianggap sebagai seorang kakak bagi Diana. Penyesalan terbesarku karena membiarkan adikku menderita seorang diri, sampai kapan pun aku tidak bisa memaafkan diriku. Janjiku padanya sewaktu kami masih bersama tidak bisa kutepati. Meminta maaf pun aku tidak bisa karena ia takkan kembali. Aku hanya berharap apa yang kulakukan ini bisa sedikit menebus rasa bersalahku dan semoga Diana di alam sana bisa memaafkanku.
The End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top