I'm Sorry, Bro...

Jaejin tidak tahu bahwa sekarang ayahnya semakin tegas dalam mendidik dirinya dan kakaknya. Entah apa yang merubah perangai ayahnya yang dulu adalah sosok lembut, kini berubah menjadi sosok yang penuh emosional. 

Jaejin menatap ngeri pada kakaknya yang sedang di hukum ayahnya dengan mencambuk tubuh kakaknya dengan kasar hanya karena ia tak sengaja melihat Hongki masuk ke dalam sebuah klub malam di tengah kota. Jaejin bersembunyi di balik tembok dapur untuk melihat kakaknyaa yang kesakitan terkena cambukan berkali-kali di tubuh kurusnya. Ia sama sekali tidak tega melihatnya, ingin berlari dan menghentikan semua ini namun ia takut nanti akan berdampak yang lebih buruk lagi. Jaejin tidak mau. Dan akhirnya dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamarnya untuk mengerjakan beberapa tugas sekolah. 


"Bangun, bodoh!" 
Sebuah tendangan keras yang ia rasakan di perutnya membuat Jaejin terpaksa bangun dengan batuk-batuk akibat tendangan itu. 

"Bangun bodoh! Dasar pemalas! Tidur saja yang kau bisa!" 
Seketika, Jaejin segera sadar bahwa tendangan tadi berasal dari kakaknya. Ia duduk dengan memegang perutnya dan meringis kesakitan. 

Jaejin memandang kakaknya yang berdiri di samping ranjangnya sambil berkacak pinggang. Kedua matanya menyiratkan kemarahan disana. Membuat Jaejin memundurkan duduknya di atas ranjang. 

"Ada....apa?" Tanyanya ragu. 

Hongki menarik paksa lengan adiknya. Dengan cepat mereka menuruni tangga dan berjalan menuju salah satu pembantu yang sedang menyapu lantai di beranda. 

"Hentikan Bi. Berikan sapu itu pada Jaejin. SEKARANG!" ucap Hongki yang penuh penekanan di akhir kalimatnya. 
Dengan ragu, wanita paruh baya itu memberikan sapu yang tadi ia pegang ke Jaejin. 

"Ini buat apa kak?" 

"Dengar bodoh! Gara-gara kau, aku di hukum oleh ayah sampai badanku sakit semua. Pasti kau 'kan yang melapor pada ayah?!" 

"Aku tidak ---" 

"PERSETAN! Mana ada maling yang ngaku?!" napas Hongki bergemuruh, menandakan ia sedang sangat marah. "Ayah sedang keluar kota selama seminggu, jadi seminggu ini kau kerjakan semua pekerjaan bibi Oh." 

Mata Jaejin membulat mendengar ini. 

"Itu semua balasan dariku." Lalu Hongki mengalihkan pandangannya ke arah sang pembantu, "dan kau bibi Oh, kau hanya perlu memasak. Selain itu, akan di kerjakan oleh Jaejin termasuk pekerjaan di kebun. Jika aku lihat bibi membantunya, aku tak segan-segan mengusir bibi dari rumah ini meski bibi sudah disini sejak aku bayi. Mengerti?!" 

Penjelasan panjang lbar oleh Hongki hanya di jawab anggukan ragu oleh wanita yang sudah lama mengabdi di rumah itu. Ia memandang putra bungsu majikannya dengan pandangan prihatin. 

"Tapi sebentar lagi aku ujian akhir untuk masuk sekolah menengah atas. Aku harus belaj ---" 

"Aku tidak peduli! Kau tidak lulus juga bukan urusanku!" 

Tanpa Hongki peduli lagi, ia melenggang pergi menuju kamarnya. Dia tidak tahu, bahwa semalam ayahnya juga memukulnya karena telah berbohong di mana keberadaan Hongki saat itu. 





Sejak ayahnya tugas di luar kota, keperluan uang saku, Hongki yang di perintahkan untuk mengaturnya sekaligus milik Jaejin. 

"Ini untukmu." Hongki memberikan dua puluh ribu won pada Jaejin yang masih diam berdiri. 

"Tapi kak, biasanya ayah memberiku lima puluh ribu won." sebenarnya Jaejin ingin protes sejak kemarin, tapi ia urungkan. 

"Itu jatah dariku." sahut Hongki seenaknya sambil mengganyang omeletnya yang baru di sajikan. 

Jaejin menghela napas. Ya sudahlah, kali ini ia tidak bisa makan siang lagi. Uang yang Hongki berikan hanya pas untuk berangkat dan pulang sekolah. 

"Menyebalkan, kenapa kau harus satu sekolah denganku, huh?!" 

Jaejin memandang kakaknya tanpa ekspresi. Ia masih juga diam saat Hongki mendorong bahunya kasar hingga ia jatuh terduduk dilantai. 

"Hei bodoh! Kalau nanti di sekolah kau sok akrab denganku, maka kau akan tahu akibatnya. Paham?!" 

"Aku mengerti." 

"Bagus." 


Dan ketika hari pertama Jaejin berangkat ke sekolah menengah atasnya, ia tidak ikut mobil kakaknya. Seperti yang dulu-dulu, ia berangkat menggunakan bus untuk membawanya ke sekolah. 
Dan dia juga memenuhi janjinya, saat Jaejin bertemu dengan Hongki, ia tak menyapanya maupun tersenyum. Namun usaha itu gagal, saat salah seorang teman Hongki, Choi Jonghun menyapanya ramah. 

"Oh? Lee Jaejin? Kau bersekolah disini?" 

Langkah Jaejin berhenti dan menoleh kearah pemuda berhidung bangir tersebut, dan tersenyum "Uhm, aku di terima disini kak. Mohon bantuannya." Kemudian Jaejin membungkuk sopan pada seniornya tersebut. 

Di samping Jonghun, terlihat Hongki mendecih tanpa melihat kearah Jaejin 

"Kau kenal dia Jonghun?" Seorang laki-laki yang paling tinggi diantara Hongki dan Jonghun, mengangkat alisnya tinggi setelah melihat percakapan Jonghun dengan murid kelas satu itu. 

"Tentu saja. Dia 'kan adiknya Hongki." 

Pemuda jangkung itu menoleh kaget pada Hongki "Benarkah?! Aku baru tahu kau mempunyai adik laki-laki." disusul seringainya. 

"Diam kau Wonbin!" 

"Hee?! Jadi benar?" Wonbin melemparkan sebelah lengannya untuk merangkul Hongki. "Wah kau keterlaluan... Sejak SMP kita berteman dan hanya Jonghun saja yang tahu?! Ckck..." 

Dengan kasar, Hongki melepaskan diri dari rangkulan Wonbin dan melenggang pergi. 

"Woii! Mau pergi kemana? Ck kau lihat dia Jonghun? Aku semakin membencinya dengan tingkahnya yang semaunya sendiri." 

Jonghun hanya menghela napas dan menatap punggung Hongki prihatin. Ia sudah tau semuanya. Dan meskipun Jonghun teman Hongki ia takkan mungkin ikut-ikutan membenci Jaejin. 

Pandangan prihatin juga di tunjukan oleh Jaejin, ia juga merasa takut dan merasa kakakknya setelah ini akan lebih membencinya. 

Ia merasa telah di jebak oleh Hongki. Memang sudah bukan pertama kali ia seperti ini, tapi Jaejin baru pertama kali telah di hukum ayahnya karena di fitnah oleh kakaknya yang menuduhnya mencuri ponselnya. Demi Tuhan! Jaejin tak pernah sekalipun menyentuh ponsel milik kakaknya. Benar, ia memang tadi disuruh kakaknya untuk membersihkan kamarnya, namun ia tidak tahu bahwa itu sebuah jebakan darinya. 

"Aku bersumpah ayah, aku tidak mengambil ponsel milik kak Hongki." 

Hongki menyeringai, "Memang sudah terbukti ponselku ada di tasmu. Maling memang tidak ada yang mengaku." 

Jaejin mengabaikan omongan Hongki dan terus memandang ayahnya dengan pandangan memohon "Tolong yah, aku benar-benar tidak mencurinya..." 

Ayahnya masih memasang wajah dinginnya, "Ulurkan kedua telapak tanganmu." 

"Tapi..." 

"CEPAT!" 

Kedua tangan Jaejin bergetar ketika menjulur. Ia menutup kedua matanya untuk menerima apa yang terjadi selanjutnya. 

PLAK! 

PLAK! 

PLAK! 

Perih yang sangat, terasa di kedua telapak tangan Jaejin. 
Lagi, lagi dan lagi... Rotan yang sering digunakan ayahnya untuk menghukum kedua putranya berayun dan membuahkan beberapa luka sabetan di kedua telapak Jaejin. Tidak seperti dulu, kini Jaejin hanya menatap kosong pada kedua telapak tangannya. 
Berpikir... Sampai kapan ini semua akan berakhir? 

"Ah! Sial." Jaejin meletakkan pena nya dan meringis kesakitan. Cambukan yang dilakukan ayahnya semalam membuat ia tak bisa memegang benda apapun. Terang saja, hampir lima belas pukulan rotan itu telah Jaejin terima, membuat kedua tangannya seperti melepuh dan susah menyentuh apapun. 

Jaejin menghela napas dan memandang ke arah papan tulis yang berisi teori-teori penting, kalau ia tak mencatat pasti ia akan ketinggalan dan Jaejin tidak mempunyai teman akrab di kelas. 
Sampai akhirnya Jaejin tetap berdiam diri di bangkunya sampai bel istirahat berbunyi dan guru berkacamata itu keluar kelas diikuti siswa-siwi yang lain. 

"Kau pasti membutuhkan ini." 
Jaejin mendongak, melihat seorang gadis ---salah seorang teman kelasnya mengangsurkan bukunya yang bersampul biru di depan mukanya. 

"Eh?" 

"Aku tahu tadi kau tidak mencatat yang di papan tulis. Jadi..." gadis itu menjeda ucapannya dan mengangsurkan buku itu hingga tepat di depan hidung Jaejin, "...aku pinjamkan. Ini." 

Sejenak Jaejin hanya terdiam dengan memandang heran gadis yang ada di depannya, seakan ada hal aneh yang terjadi "A-ah...terima kasih Song Habyung." 

Gadis itu tersenyum dan meletakkan bukunya diatas meja Jaejin, kemudan ia menarik kursi asal dari salah satu bangku disana dan duduk tepat di sebelah Jaejin. 

"Kenapa tanganmu luka-luka seperti itu?" 

"Oh ini..." Jaejin menyembunyikan kedua tangannya dibawah meja, "Kemarin aku jatuh dan luka." 

Gadis berambut panjang yang di ponytail itu mengangguk-anggukan kepalanya "Tapi kenapa tidak di bebat dengan perban. Ayo kuantar ke uks. Nanti aku yang akan mengobatimu." 

"Ah... Tidak perlu. Nanti aku saja yang lakukan." Tolaknya sopan. Sebenarnya kemarin ayahnya melarang untuk menutup luka-lukanya itu dengan perban, agar Jaejin tahu betapa menyakitkannya luka yang terus terbuka dan itu pantas untuknya yang telah mencuri ponsel kakaknya. 
Entah bagaimana Jaejin menjelaskan pada ayahnya bahwa ia tidak mencuri. 

"Baiklah. Aku mau ke kantin. Mau ikut?" 

Jaejin menggeleng seraya tersenyum, ia masih saja memandang punggung gadis itu sampai ia menghilang di balik pintu. Sedikit hati Jaejin merasa senang, setidaknya ada satu yang masih memperhatikannya. Yah satu lebih baik dari pada tak ada bukan? 

Hongki memperhatikan mobilnya yang terlihat kotor. Ah, akhir-akhir ini ia malas ke tempat car wash karena padatnya jadwal di sekolah menjelang ujian akhir. 

Seringai tiba-tiba muncul di sudut bibirnya. Ah...dia lupa. Bagaimana kalau mencucinya malam ini. Tentu saja bukan Hongki yang melakukan, ada seseorang yang pasti dengan menurut mau mencucikannya. 
Dan dengan langkah tanpa beban, Hongki berjalan menuju kamar adik semata wayangnya.

"Tapi hyung...ini sudah malam. Besok pasti aku cuci kok mobilnya." 

Jaejin menaruh lap diatas meja kayu yang terdapat di pelataran rumahnya dekat garasi mobil. Namun segera ia lupakan tujuannya kala sebuah tangan dengan kasar merebut lap itu dan melemparkannya ke mukanya. 

"Heh! Siapa yang mengijinkanmu untuk mencuci besok? Aku mintanya sekarang. Apa kau juga tuli selain bodoh, huh?" geram Hongki sambil mendorong kepala Jaejin berkali-kali yang hanya bisa menunduk. "Cuci sekarang, atau kau akan tahu sendiri setelah ayah pulang?" 

"Ba-baiklah. Aku akan cucikan sekarang." 

"Bagus. Kunci mobilku aku pegang, siapa tahu nanti kau membawa lari mobilku." 

Jaejin mendesah berat sepeninggal Hongki yang telah masuk rumah. 
Sudah jam sepuluh malam, dan terlihat di atas sangat mendung. Jaejin berharap ia akan segera selesai sebelum hujan turun. 


Keberuntungan tak berpihak pada Jaejin, hujan deras telah mengguyur bumi. Membuat Jaejin menghentikan kegiatan mencucinya. Ia segera lari menuju teras rumah dan mengetuk pintunya berkali-kali. 

"Kak... Buka pintunya. Di luar hujan. Aku kedinginan. Kak Hongki!" 
Tak ada sahutan dari dalam rumah. Jaejin menekan bel juga. Namun tak ada hasil. Dengan terpaksa ia menerobos hujan untuk menuju pintu dapur. 

"Bi, jika belum tidur bisa bukakan pintu belakang? Bibi oh?" masih juga tak ada jawaban. 
Menghela napas, ia akhirnya kembali berlari menuju teras depan. Setidaknya disana ada kursi kayu panjang untuk dirinya tidur. Ia sedikit menyesal karena tadi saat keluar ia tak memakai jaket. Hanya kaus putih longgar dan celana training. Jaejin mulai di serang kantuk, akhirnya ia baringkan badannya di kursi kayu itu sambil menekuk badannya yang menggigil. 


Sementara di dalam rumah, Hongki sedang menyita semua kunci rumahnya dari para pembantunya "Jika ada yang berani membukakan pintu untuk Jaejin, kalian akan tamat!" 

"Aku merasa kasihan pada tuan Jaejin, dia sejak kecil sudah menderita seperti ini." celetuk salah satu wanita tua yang sudah lama bekerja di rumah itu. 

Jaejin berjalan tertatih-tatih menuju kelasnya, ia semalaman tidur di luar saat hujan deras dan baru masuk ke dalam saat shubuh dimana para pembantu sudah mulai bangun. Ia sedikit merasa pusing. Lihatlah wajah pucatnya. Bahkan ia tadi belum sempat sarapan! 
Dan ia sempat di marahi sang guru olahraga yang menganggapnya malas-malasan sebelum tahu bahwa Jaejin sedang sakit. Ah, dari pada ke kelas, mungkin ia bisa tidur di UKS. 
Jaejin mengangguk mantap. Ia memutar balik melewati gedung belangkang sekolah, karena lewat sana lebih cepat. Tapi langkahnya terhenti saat ia melihat orang yang sangat ia kenal telah berada di sana dengan tangan yang memegang sebuah batang rokok. Oh gawat! 
Dengan terpaksa Jaejin berlari ke arah Kakaknya dan mereka masuk ke dalam gudang yang pintunya terbuka. 

"BRENG---" 

Jaejin membekap mulut kakaknya "Sshh... Ada penjaga sekolah di sebelah barat gedung ini." 

Hongki menyentak tangan adiknya dan memberi tatapan tajam. 

"Kak, kenapa kau merokok? Bagaimana kalau penjaga itu melihatmu? Kau akan kena hukuman dari pihak sekolah." 

"Peduli apa kau?" 

Jaejin menghela napas, "Tentu saja aku peduli, kau kakakku dan aku adikmu." 

Hongki terkekeh seperti baru mendengar hal lucu dari mulut Jaejin "Ah...tentu saja. Itu fakta yang membuatku sangat muak." 

"Kak!" 

"Apa?! Heh jika saja dulu kau tidak lahir, ibu pasti masih ada. Dan ayah tidak akan sekasar sekarang. Kelahiranmu memang pembawa sial!" 

Jaejin mengeratkan kepalan tangannya, terang sekali ia sedang menahan emosinya yang kapan saja meluap. "Tapi apa seperti ini yang kau inginkan kak?! Kau ingin menjadi orang yang hancur, orang yang tumbuh tanpa ibu?! Itu yang kau inginkan?!" 

"KAU---" 

"Baiklah, silahkan saja kau jadi hancur kak. Aku tidak peduli ---" 

BUGH! 

Sebuah pukulan telak yang mengenai sebelah wajah Jaejin, menghentikan ucapannya, badannya terhuyung sedikit. Ada sedikit darah yang merembes di sudut bibir Jaejin yang langsung ia seka. 

GREP! 

Hongki mencengkeram kerah adiknya, wajahnya merah karena marah "Dengar! Kau. Bukan. Siapa-siapa. Bagiku!" ucapnya penuh penekanan di setiap katanya. "JADI JANGAN IKUT CAMPUR PADA URUSANKU!" 


BRAAAAKKK! 


Sekuat tenaga, Hongki mendorong Jaejin ke arah tumpukan bangku yang tertata tinggi di sudut gudang itu. Menyebabkan suara bergedebum di ruangan pengap itu. 
Dan lebih mengerikannya lagi, Jaejin tertindih puluhan kursi-kursi kayu itu. Mimik wajah Hongki yang semula marah, kini berubah drastis menjadi terkejut saat melihat apa yang terjadi. Kedua matanya melebar dan semua organ tubuhnya seakan membeku di tempat. 

"Jae-JAEJIIIINN!" 
Tak peduli lagi dengan apapun, Hongki berlari menyelamatkan tubuh sang adik yang sudah tak sadarkan diri. 

"JAEJIN!" panggilnya lagi seraya menyingkirkan satu persatu tumpukan kursi kayu yang merubuhi tubuh Jaejin. "Jaejin..." 
Ia terlihat terkejut saat menemukan sang adik tak sadarkan diri dengan darah yang mengucur banyak dari kepalanya. 

"Jaejin....bangunlah, Hei! Sudah jangan bercanda!" Hongki menepuk-nepuk pipi Jaejin pelan. Berharap sang adik membuka matanya. Namun nihil. "Jaejin! Jangan membuatku ingin memukulmu lagi! Bangunlah!" 
Hongki sudah mulai frustasi melihat Jaejin. 

Seberapa bencinya seorang kakak pada adiknya, pasti masih ada rasa kasih sayang di dalamnya. Ternyata kata-kata Jonghun tempo hari ada benarnya. Hongki tidak benar-benar membenci adiknya. Lihatlah sekarang, ia sudah sangat frustasi melihat adiknya seperti itu. 

Dengan sigap, Hongki segera meraih tubuh adiknya ke punggungnya. Tak peduli kini seragam sekolahnya terkena darah Jaejin, ia berlari keluar dari gudang itu dan segera menuju parkiran dimana mobilnya di sana untuk membawa mereka ke rumah sakit. 

"Jaejin bertahanlah...aku akan segera membawamu ke rumah sakit. Bertahanlah. Tolong!" ia terus berlari, untung saat itu keadaan lapangan sekolah menuju parkiran sedang sepi hingga tak perlu ada hambatan, tapi itu sampai ada seorang orang yang sangat Hongki kenal menghentikan lajunya. Jonghun. 

Sudah tertebak, Jonghun juga shock melihatnya. "Hongki--- Jaejin... Itu..." ia tak mampu berkata lagi. 

"Minggirlah Jonghun!" Hongki melanjutkan larinya menuju mobil diikuti Jonghun yang berlari di belakangnya. 

"Aku akan menyetir mobilnya. Kau jaga Jaejin saja di belakang." Hongki mengangguk atas usul Jonghun dan menyerahkan kunci mobilnya. 


"Ini sungguh memprihatinkan, adikmu mengalami gegar otak akibat benturan di kepalanya yang cukup keras dan pendarah hebat di kepalanya. Selain itu..." 

"Apa dok?" suara Hongki terdengar bergetar saat berkata, was-was menunggu kelanjutan ucapan dokter laki-laki paruh baya yang ada di depannya. 

"...adikmu mengalami Fraktur tulang tengkorak. Fraktur tulang tengkorak merupakan keadaan 
dimana tulang tengkorak mengalami retak atau 
patah. Fraktur tulang tengkorak bisa mencederai arteri dan 
vena, sehingga menyebabkan perdarahan di 
sekeliling jaringan otak. " 

Hongki menjatuhkan dirinya lemas di bangku ruang tunggu di koridor itu. Jonghun yang melihatnya hanya bisa menyentuh bahu temannya. Mencoba menguatkan. 

"Lalu... Apa tidak bisa di sembuhkan?" ucap Hongki parau. 

"Jalan satu-satunya adalah operasi. Itupun jika berhasil akan mengakibatkan pasien koma."

"Apa? Koma?" 

Dokter itu mengangguk, "Tapi anda tidak terlalu khawatir, jika Tuhan berkehendak adikmu untuk sembuh, pasti segalanya akan lancar." 

"Baiklah. Saya akan menyetujui operasi untuk adik saya dok." 

"Maaf ayah... Ini salahku." Hongki menunduk dalam, meremas kedua tangannya. Setelah operasinya berhasil dengan sukses, Hongki segera menghubungi ayahnya dan Hongki menceritakan semua yang terjadi. Jonghun telah pulang karena telah larut malam, dan sekarang hanya Hongki dan ayahnya yang menunggui Jaejin. 

"Bagaimana kau bisa seceroboh seperti itu? Dia itu adikmu Hongki!" 

"Maaf..." 

"Sudahlah!" 

Pria paruh baya itu segera pulang dan membatalkan acara dengan kliennya ketika mendapatkan kabar buruk dari putranya. Ia mendekat ke ranjang putra bungsunya. Pulse detector dan berbagai alat-alat medis terpasang di tubuh mungil Jaejin. Masker oksigen juga terpasang, membantu pernapasannya. Pria berumur empat puluh lima itu menyentuh tangan anaknya yang bebas dari selang infuse. "Jaejin... bertahanlah. Kau pasti sembuh. Jangan tinggalkan ayah, nak. Kami menyayangimu." 




~2 minggu kemudian~ 


"Sore Jaejin. Hah... Hari ini pun kau belum bangun juga? Dasar pemalas." 
Hongki menyunggingkan senyum, ia menyentuh telapak tangan adiknya. 

"Hei, ada gadis kemarin datang padaku dan bertanya tentang kondisimu. Apa ia pacarmu?"
Sudah dua minggu ini Jaejin belum juga siuman, dan dua minggu pula Hongki selalu menemani adiknya itu. Entah kemana perginya rasa benci itu, Hongki tak ingin mengulangi kesalahannya lagi. Ternyata ia hanya seorang kakak yang tak ingin kehilangan adiknya. 

"Jaejin. Segeralah bangun. Aku berjanji, setelah kau sembuh nanti, aku akan bersikap lebih baik padamu." 
Tak ada jawaban, meski begitu selama ia menemani Jaejin, ia selalu bermonolog sendiri di depan Jaejin. Hanya pulse detector yang berbunyi, memantau detak Jaejin yang terpampang pada layar kecil. 

"...dan kau boleh meminta apapun dariku. Kau bahkan boleh menggunakan mobilku semaumu. Jadi... Bangunlah..." 

Tak tahan lagi, Hongki menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Ia sangat menyesal selama ini ia tidak berbuat baik pada adiknya, dan ia tidak mau jika kebaikan adiknya tak ia balas sebelum adiknya pergi. Tidak akan. 

"Be-benarkah kak...yang ka-kau katakan?" 

Hongki yang sedang menunduk, berjengit kaget saat mendengar suara yang selama dua minggu ini tak bersua. Ia segera menegakkan dirinya dan melihat Jaejin sedang menyunggingkan senyum di balik masker oksigennya. 

"Jaejin..." 

"Aku sudah memaafkanmu kak..." 

Dan tanpa pikir panjang, Hongki segera merengkuh tubuh adiknya yang tambah kurus itu padanya. 


END

jangan lupa vote dan komentarnya ^^

multimedia >>> Choi JongHoon

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top