Hurt
Anak laki-laki itu menangis sesenggukan didepan sebuah gundukan tanah yang terlihat masih baru. Mukanya memerah dan airmatanya tak bisa berhenti sejenak meski sudah berkali-kali ia seka dengan kedualengan mungilnya.
"Ibu..." Lirihnya pedih. Bocah berumur lima tahun itu kembali berjongkok, membuat laki-laki dewasa yang melihatnya ikut merasakan penderitaan sang bocah.
Tentu saja ia juga sedih. Sangat. Mengetahui sang istri pergi secara tiba-tiba dengan menggenaskan dalam sebuah kecelakaan.
"Jaejin... Ayo kita pergi." Ucapnyalembut sambil menyentuh bahu kecil putranya.
Bocah bernama Jaejin itu mendongak kearahayahnya, kemudian berdiri berhadapan. "Ayah, kenapa ibu dimasukkan kesini.Ibu 'kan lagi tidur. Nanti dia tidak bisa napas. Jaejin kasihan sama ibu."
Benar, Jaejin masih terlalu kecil untukmengerti arti dari kematian. Maka ia membohonginya bahwa ibunya lagi terlelaptidur dan susah untuk bangun.
"Tidak apa-apa. Sekarang kitapulang?"
Jaejin masih sesenggukan, menatap gundukan tanah itu sekali lagi kemudian mengangguk. Meraih tangan sang Ayah untuk menuju mobil yang sudah menunggu mereka.
"Ayah, apa ibu nanti akan bangun lagi dan berkumpul bersama kita lagi?"
Sang ayah tersenyum pedih, ia menghembuskan napasnya dan berkata, "Tentu kita akan berkumpul lagi, namun tidak di sinilagi."
Jaejin memiringkan kepalanya, matanya yangsipit menyiratkan kebingungan. "Lalu di mana kalau tidak di sini?"
"Disuatu tempat yang mungkin lebih indah."
.
.
.
.
"DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!"
"Ouch...!!"
"Jika kau tidak menyuruh ibu mengambilkan sepatumu di jalan, ibu tidak akan tertabrak. Gara-gara kamu, ibu jadi meninggal!"
Jaejin mati-matian menahan air matanya agartidak jatuh, namun gagal. Rasa sakit akibat dorongan sang kakak hingga ia jatuh terjerembab di tanah membuat siku dan lututnya sedikit berdarah. Ia tidak kuatmenahan sakitnya. Ia masih berumur lima tahun dan sakit yang di rasa membuatnyatak bisa menghentikan tangisnya.
"JANGAN MENANGIS!"
Sang kakak yang masih berdiri, tak sekalipun membantu adiknya yang masih terduduk di tanah dengan luka-lukanya.
"Hiks... Sakit."
"Aku tidak mau tahu!" sosok yang lebih tua dari Jaejin menghentakkan kakinya sambil memandang marah adiknya"...aku membencimu. Kau penyebab semua ini." Kemudian sang kakak pergi meninggalkan adiknya yang masih menangis sendirian di jalan.
"Kak Hongki... Jangan pergi. Jaejin takut." dia tak bisa melakukan apapun. Keadaan lututnya yang terluka membuat Jaejin tak bisa lari menyusul kakaknya. Sedikit ia tahu jalan menuju rumahnya. Karena jalan ini sering ia lalui saat ia berangkat dan pulang darisekolah taman kanak-kanaknya.
.
.
.
.
Suara cambukan berkali-kali terdengar mengerikan di ruang tengah keluarga Lee. Sang kepala keluarga, ayah dari dua orang putra menunjukkan wajah marahnya. Tangannya memegang sebilah rotan yangia gunakan untuk mencambuk anak bungsunya.
"Anak tidak tahu diri! Kapan ayah mengajarimu mencuri, hah?!"
Setiap ia berkata, satu cambukan ia arahkanpada betis putra bungsunya yang sedang berlutut.
Sang bungsu tidak mengisak pilu dengan suara,ia mengeluarkan air matanya tanpa suara dan dengan pandangan kosong.
"Kau ingin mempermalukan ayahmu?!"
Satu cambukan lagi ia layangkan. Tak peduli kedua betis putranya sedikit mengeluarkan darah dan banyak luka lecetnya, iabelum puas menghukum putra bungsunya.
"Kau ingin menunjukkan bahwa kau tumbuh tanpa ibu?!"
"...." tak ada jawaban dari bocahberumur sepuluh tahun itu. Ia tetap teguh pada pendiriannya, bahwa ia telah difitnah oleh temannya karena telah mencuri uang teman satu kelasnya yang lain.Ayahnya geram ketika mendapat telepon dari sekolah untuk datang. Meski terbukti Jaejin tidak bersalah, sang ayah tetap marah karena tuduhan yang memalukan dirinya yang dikira tidak mendidik anaknya dengan benar.
SRAT!
Cambukan terakhir, dan pria berumur tiga puluh lima tahun itu berdiri sembari melempar rotannya kasar. Tak memandang anak bungsunya itu, ia pergi ke kamarnya dan membanting pintunya kasar.
Jaejin masih berlutut, dengan air mata yang masih terus mengalir dan tak ia seka sama sekali.
"Hah! Lihatlah sang pencuri ini. Sungguhmenyedihkan. Sudah kuduga, kau memang anak yang sial. Ibu meninggal jugakarenamu."
Jaejin mendongak, dan melihat kakaknya yangbaru pulang sekolah berada di hadapannya dengan seringai mengejeknya.Keluarganya kini tak seramah dulu ketika ibunya masih ada. Dimana Jaejin masih merasakan halusnya suara ayahnya yang memanggilnya dan gurauan ramah darikakaknya. Kini semua berubah. Ayahnya sekarang jauh lebih kasar padanya dankakaknya. Terlebih lagi Hongki, kakaknya. Ia dari awal kematian ibunya sudahmenunjukkan permusuhan saudara yang tak dihiraukan oleh Jaejin. Baginya,kakaknya adalah panutan untuknya meski dia dibenci oleh kakaknya sendiri.
Sepeninggal Hongki yang menuju kamarnya dilantai atas, Jaejin mencoba berdiri dengan susah payah. Berpegangan pada sofadi sampingnya ia mencoba berdiri meski pada akhirnya ia terjatuh karena sakit yangteramat sangat yang ia rasakan di kedua betisnya.
Ia mencoba duduk, air matanya kembali merembesmengaliri kedua pipinya. Ia masih sepuluh tahun, dan ia sudah merasakanpenderitaan semenyakitkan ini.
"Tuan muda, mau saya gendong sampai kamar?"
Sopir pribadi ayahnya merasa kasihan melihat tuan mudanya disiksa sedemikian rupa oleh majikannya. Ia tak tega berdiam diri melihat sang anak majikan susah payah berdiri. Maka dengan berani, berhubung majikannya tidak melihat, ia ingin menawarkan bantuan.
"Ah." Jaejin mengusap kedua matanya"tidak perlu paman, nanti juga aku sudah bisa berdiri."
"Tapi kamar tuan Jaejin ada di atas. Itupasti akan susah dan ---"
"Berani kau membantu Jaejin, akan akugantikan kau dengan orang lain."
Kedua mata Jaejin dan sang supir mengarah pada sumber suara. Dia, pria yang tadi telah menghukum Jaejin dengan amat keras.Rahangnya mengeras ketika mengatakan itu pada sopir pribadinya.
Dengan gerakan yang gemetar, akhirnya sang sopir undur diri.
Dan pada malam itu, untuk kedua kalinya, Jaejin menuju kamarnya dengan cara merangkak. Tak peduli betapa menyedihkanputra bungsunya itu, pria yang kini telah menyandang status duda tetap takberkutik untuk membantu anaknya.
.
.
.
Keluarga Jaejin tidaklah miskin, bahkan amat lebih dari cukup. Dia dari kalangan keluarga atas. Tapi Jaejin selalu pulang-pergi sekolah naik bus sendirian. Ia tidak di perbolehkan kakaknya yang lebih tua setahun darinya itu untuk satu mobil dengannya. Ia tak mengeluh akanhal itu. Asal uangnya cukup untuk naik bus, ia tidak akan memprotes karena hal itu.
Tapi kali ini dia tidak bisa diam, karena hariini dia tidak bisa ikut pelajaran olahraga dikarenakan sepatunya rusak. Solsepatunya sedikit tersingkap. Mengakibatkan ia susah untuk berlari. Ia duduk ditribun gedung olahraga, melihat teman-temannya berlari dengan semangat.
Menghela napas berat, ia kembali melihat sepatunya "Hah... Memang tidak bisa dibuat lari." kemudian ia mencopot sepatunya danmengamatinya. Sudah dua tahun umur sepatu itu, sekarang ia sudah kelas dua menengah pertama. Dan pantaslah sepatunya sudah rusak.
Jaejin sangat bingung, pasalnya ia hanya punya sepasang. Ingin minta uang untuk membeli yang baru, tapi tak mungkin semudah itu. Jaejin tahu itu. Jalan satu-satunya adalah meminta sepatu kakaknya yang sudah tak terpakai, namun itu juga sulit sekali terwujud.
"Mungkin aku akan menjahitnya nantisepulang sekolah."
Dan nyatanya, Jaejin harus menanggung malu saat ia bertelanjang kaki saat pulang sekolah, di lihat-lihat orang dengan pandangan merendahkan di bus maupun di jalan.
Sepulang sekolah Jaejin mencari-cari benang dan jarum untuk sepatu di gudang, di bantu pembantu yang sejak Jaejin dan kakaknya masih bayi itu. Saat ditanya untuk apa, Jaejin menjawab.
"Sepatuku rusak, karena aku tidak punyauang, jadi aku menjahit solnya."
Bibi itu hatinya terasa terenyuh mendengarnya.Hampir saja ia menangis saat itu juga setelah ia baru sadar bahwa air di dapur telah mendidih.
Lee Taejun, sang kepala keluarga pulang dari kantornya. Ia akan menuju kamarnya yang ada di dekat teras ruangan keluarga,saat melihat putra bungsunya sibuk memperbaiki sepatunya. Tak ingin mengganggunya, sang ayah tetap masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gamang.
Ini bukan natal, dan Jaejin sudah berumurempat belas tahun untuk berimajinasi bahwa santa clause akan datang. Tapi kiniyang ada di depannya terlihat sangat nyata. Sepasang sepatu baru, bahkan masihtersimpan rapi di kotak berada di depan pintu kamarnya. Ia tidak mungkinmengira itu dari peri, tapi Jaejin sangat tahu bahwa ini semua pemberian dariayahnya. Untuk pertama kalinya setelah kematian ibunya, pagi itu Jaejinmengawalinya dengan senyuman.
.
.
.
.
Jaejin tersenyum kala tahu Hongki, kakaknya telah lulus dari sekolah menengah pertama dan di terima di jenjang berikutnya di sekolah favorit. Ayahnya membelikannya sebuah mobil karena Hongki yangmemintanya. Jaejin dengan senang berjalan kearah kakaknya yang sedang bermain playstation di ruang tengah bersama teman-temannya. Ia ingin memberikan kuebuatannya. Karena Jaejin tak mempunyai uang cukup untuk memberikan hadiah yang lain.
"Kak, ini aku buatkan kue. Dimakan ya.Aku taruh disini."
Meskipun tak di gubris kakaknya, Jaejin tetapmenaruh kue itu di meja kecil dekat televisi.
"Hei!" mendengar kakaknyamemanggilnya, Jaejin menoleh. Kejadiannya begitu cepat, hingga Jaejin tak bisa menghindar.
PRAK!
Kue yang Jaejin berikan, kini berserakan dilantai dan mengotori bajunya. Ya. Kakaknya baru saja melemparkan kue-kue itu kearahnya tanpa segan-segan.
"Kau kira kue-kue murahanmu pantas kau beri ke aku, hah?! Pikirkanlah lagi, DASAR BODOH!"
Teman kakaknya, Choi Jonghun cukup kaget dengan perbuatan Hongki. Dia melempar stik gamenya dan berdiri memandang marah Hongki.
"Jaejin itu adikmu! Apa kau tidak punyahati sampai-sampai berbuat seperti itu?!"
Jonghun menjauh dari Hongki yang takmenggubris ucapannya. Ia mendekat kearah Jaejin dan berjongkok untuk membantumembersihkan kue-kue yang berserakan di lantai.
"Biar aku saja kak. Kak Jonghun duduk saja."
"Tidak apa-apa. Aku merasa kue-kue ini mubazir jika dibuang. Biar buatku saja. Bungkuskan kue itu untukku ya?"
Sedikit rasa lega dan senang ada dihati Jaejin mendengarnya, ia mengangguk dan dengan cepat berlari ke dapur setelah selesai membersihkan lantainya untuk membungkuskan kue untuk Jonghun.
Hongki mendecih kesal, ia lempar stik gamenya dan pergi menggunakan mobil barunya meninggalkan Jonghun yang masih disana.
A/N : Ini cerita re-post. saya lagi hiatus bentaran karena lagi sibuk sama tugas-tugas tercintakuh~ hehehe~
ini cerita udah lama banget so maklumi aja kalau sedikit alay. vote dan komentarnya guys setelah baca :D
Multimedia >>> Lee Hongki yang pake topi dan Lee Jaejin yang gak pake topi
Arigatchu~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top