Doa Dan Harapan

Jodoh itu harapanmu yang direstui Allah, serta doamu yang dikabulkan-Nya

Selvi

Malam itu, Irlan khusyuk berdoa. Tetes air mata yang biasa minim ia keluarkan, jatuh membasahi pipinya. Jujur, ia menyesal kenapa menjadi lelaki kurang ajar yang melegalkan status pacaran hanya untuk menyatukan cinta. Toh, pada akhirnya, wanita yang ia percayakan hatinya, berbalik menyerang ia dengan penipuan. Jenis cinta apa yang April berikan, kalau ia memandang Irlan hanya dalam sisi manfaat. Kalau sejak awal Irlan punya indera keenam membaca pikiran April, Irlan tidak mungkin mencelupkan dirinya pada drama yang April ciptakan.

Ya Allah, kalau apa yang kuyakin, apa yang aku rasa, sama dengan restu-Mu. Maka, lancarkanlah jalannya. Lebih yakinkan lagi hati ini memilih, bahwa dia adalah perempuan yang bisa diajak membangun istana kecil bersama. Bahwa ia satu-satunya wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anak hamba kelak, bahwa ia satu-satunya wanita sholehah yang akan hamba ajak menuju surga-Mu. Maka sekali lagi tetapkan hati ini pada keyakinan, bahwa bersamanya surga-Mu akan lebih dekat.

Diujung kalimat Irlan sedikit terbata, ia tidak ingin doanya terdengar memaksa di mata Allah. Sungguh, Irlan tidak tahu bagaimana cara berdoa yang baik. Karena rasa-rasanya selama ia menjalankan salat lima waktu, tak sekalipun doanya sangat khusyuk macam itu. Baru kali ini, hatinya benar-benar tersentuh. Bahwa seperempat malam, adalah tempat curhat paling baik bagi seorang hamba yang butuh petunjuk.

"Irlan, belum tidur Nak?" Suara Lina, ibu Irlan, terdengar mampir di depan pintu kamar. Rupanya suara isak kecil Irlan, sedikit mengusik rasa penasaran Lina yang tak sengaja lewat karena hendak mengambil air minum.

"Belum, Bu." Tidak ingin menimbulkan pikiran aneh-aneh di benak ibunya, Irlan hanya menyahut dari dalam.

"Jangan begadang, Lan. Besok kamu kerja."

"Iya, Bu."

Memastikan suara langkah kaki Lina menjauh, Irlan melanjutkan doanya. Kali ini, Irlan berdoa untuk kedua orangtua yang selama ini sudah membesarkannya. Kalau Iyana bisa ia doakan, berarti orangtuanya pun harus, karena mereka prioritas Irlan.

***

Iyana gelisah di tempat tidurnya. Ia bukan perempuan lugu yang menerima jawaban Irlan begitu saja. Untuk apa seorang lelaki normal semacam Irlan bertanya soal tanggapan Iyana tentang tindakannya jika ada pria yang menyukainya kalau bukan tanpa sebab. Yang Iyana takutkan, Irlan jatuh cinta dengannya. Jika sampai terjadi, itu akan menjadi bumerang bagi hubungan persahabatan ia dan April. Iyana berharap, Irlan hanya menganggap dirinya seorang teman, tidak lebih dari itu.

Kalau pun, apa yang Iyana asumsikan benar. Ia akan berusaha, mengobati perasaan Irlan agar kembali pulih. Sungguh, Iyana tidak mungkin menerima cinta Irlan. Ia akan jadi pihak tertunduh, dicap perusak hubungan orang, meski mereka sebatas pacaran, tapi hipotesa orang-orang akan berbeda.

Besok paginya, Irlan datang ke rumah Iyana dalam misi diam-diam. Bertemu dengan ibu Iyana, Irlan banyak bertukar obrolan. Hana sendiri sambil memasak, menyahut beberapa pertanyaan yang Irlan ajukan. Sengaja Irlan meminta ijin dengan bapaknya untuk suatu urusan yang ia katakan penting, menyangkut perasaan. Ya, Irlan yang saat ini masih berstatus staff kantoran, dibawah kepimpinan bapaknya, masih diperlakuan sama dengan karyawan lainnya. Hanya saja, Irlan punya usaha kecil-kecilan berupa rumah makan yang berlokasi di kota Samarinda.

"Bu, Iyana suka tipe laki-laki seperti apa?" Hana menarik sudut bibirnya, membentuk senyum kecil.

"Laki-laki yang bisa mengajak dia lebih dekat dengan Allah. Kalau lebih jelasnya, kamu tanya sama Iyana langsung, Lan." Irlan mengacak rambutnya, sedikit frustasi.

"Kalau Irlan jadi menantu Ibu, Ibu restuin nggak?" Gerakan Hana tersetop otomatis. Awalnya Irlan menukar obrolan dengan bahasa yang ringan-ringan saja. Tapi semakin ke sini, pembahasan Irlan menjadi lebih serius.

"Kamu jatuh cinta sama Iyana?" Serangan balik dari Hana membuat Irlan grogi di tempat duduknya.

Ditatap intens oleh Hana, Irlan menunduk. "Iya, Bu," akunya setengah malu-malu.

Ya, jarak antara Irlan putus dengan April memang tidak bisa dijadikan patokan secepat itu hati Irlan berlabuh pada Iyana. Tetapi yang mendasari cinta itu sendiri adalah, frekuensi bertemunya Irlan dan Iyana yang terlalu sering, bahkan nyaris di setiap kencan April dan Irlan, gadis sholehah itu ikut bersama mereka. Dari dulu, sebelum cinta itu menyusup di hati Irlan pelan-pelan, ia sudah mengagumi sosok Iyana dalam versi perempuan idaman yang patut diperhitungkan untuk dinikahi.

Namun, Irlan hanya sebatas kagum pada Iyana yang terlalu religius dan mengedepankan nilai-nilai agama, berbanding terbalik dengan April yang keduniawian. Irlan sadar, ia punya April saat itu yang masih merebut hatinya, menguasai sebagian dari pikirannya. Sosok Iyana yang dimatanya mengagumkan, tersisihkan karena hal itu. Baru setelah kejadian di mana April mengungkap jati dirinya, Irlan sadar, Iyana mengambil sebagian waktunya dalam hidup. Iyana ada di sisinya, meski itu hanya sekadar menemani ia dan April. 

Irlan lebih sadar lagi setelah ia menyakini bahwa rasa-rasa kagumnya selama ini mulai berpindah pada bulir-bulir cinta. Didekat Iyana, Irlan merasa nyaman. Curhat dengan Iyana, membuat Irlan seperti punya teman hidup berbagi cerita. Bersama Iyana, Irlan yakin surga lebih dekat dengannya.

"Semua keputusan ada pada Iyana, Lan. Ibu cuma bagian merestui sama Bapak. Kalau Iyana bahagia, ibu pasti bahagia."

Sambil mengetuk-ngetuk meja, mengusir ragu, Irlan kembali berucap, "tapi saya ragu, Iyana punya perasaan yang sama dengan saya Bu. Kalau saya ditolak, gimana?" Irlan mulai pesimis.

"Lan-lan, kamu belum nyoba aja sudah takut ditolak. Iyana tidak suka laki-laki pengecut, apalagi yang bermental tempe. Dia suka laki-laki pemberani, yang ditolak, tapi tetap gigih mengejar." Bukan Iyana yang punya prinsip macam itu, akal-akalan Hana saja untuk menyemangati Irlan yang sepertinya begitu ragu melangkah.

Detik selanjutnya, Hana berbalik badan, mengamati wajah Irlan lamat-lamat. "Ibu baru sadar ada laki-laki yang lebih dulu mengecani ibu dari perempuan yang dia sukai, daripada wanita itu sendiri." Irlan terkekeh menanggapi sindiran Hana.

"Soalnya restu Ibu, restu Allah. Jadi bagi saya, mengecani Ibu lebih baik sebelum saya mengajak Iyana. Karena restu ibu seperti jembatan untuk memuluskan jalan saya."

Apa sih Lan? Mulai ngaconya

Irlan mengumpat sendiri dalam hati, apa-apan dia. Kenapa beropsi macam itu, pasti Hana geli mendengarnya.

"Hahaha ... jembatan? Kamu pikir ibu ini tali, Lan."

"Iya, Ibu tali yang bisa mengikat saya dengan Iyana."

"Lan, coba ibu masih muda. Pasti mau ibu sama kamu, Lan."

"Kok bisa Bu? Memang Bapak kurang menarik?" Irlan memulai gurauan. Sebelum ini, ia sudah sering bertemu Hana sewaktu mengantar Iyana pulang setelah menemani dirinya dan April kencan. Cerita soal putusnya ia dan April pun Hana sudah tahu.

"Diam-diam aja ya, Lan. bapak itu tidak romantis, cuek bebek sama Ibu. Seumur-umur Lan, bapak tidak pernah ngasih ibu bunga. Boro-boro bunga, Lan. Ngucapin selamat ulang tahun aja bapak bisa lupa." Irlan dengan kurang ajarnya senyum lebar saat Hana menceritakan sifat jelek suaminya. Lucu saja bagi Irlan mendengar ibu-ibu curhat.

"Kamu kalau jadi suami Iyana, jangan begitu Lan. Jangan tiru bapak, cukup ibu aja yang bernasib kasian. Ulang tahun dilupakan suami, tidak pernah diberi bunga, jarang diucapkan selamat tidur. Pokoknya bapak itu sangat minus romantis," tambahan dari Hana, mengundang tawa Irlan. Awalnya Irlan yang datang minta diberi solusi, sekarang kenapa Hana yang justru curhat menceritakan suaminya. Lebih bersemangat pula.

"Kalau saya jadi ibu, nggak mau saya sama bapak Bu. Tapi kenapa ibu mau ya?"

"Karena bapak itu setia, bapak tahu menempatkan rasa sayangnya seperti apa. Meskipun begitu, bapak sangat sayang sama ibu loh Lan," cengir Hana malu-malu.

Irlan mengerti sekarang bahwa definisi cinta yang sebenarnya bukan soal sifat yang perhatian atau yang hiperbolis mengucap kalimat-kalimat receh seperti, aku cinta kamu atau semacamnya. Tetapi definisi cinta bagi Irlan dalam versinya atau mungkin dalam versi bapak Iyana adalah, cinta tidak butuh semua itu, cinta hanya butuh peran di mana ketika seorang istri sakit, suami ada untuk merawat, ketika istri menangis, suami menghapusi air matanya, bukan lagi perhatian macam menanyakan, sudah makan atau belum hari ini? Karena itu pertanyaan paling basi setahu Irlan. Definisi cinta itu lebih banyak bertindak daripada berucap, menempatkan cinta dalam hal sewajar-wajarnya. Kalau soal watak itu pembawaan, bisa dari Allah, bisa juga perpaduan karakter orang tua masing-masing anak.

***

Sorenya, Irlan menyempatkan diri menjemput Iyana di kampus. Peduli apa pada April yang akan melihatnya, toh status mereka sudah resmi menjadi mantan. Tidak ada yang perlu Irlan takutkan, apalagi omongan orang yang mencap dirinyalah yang bersalah, dekat dengan wanita lain dalam rentang waktu yang tidak wajar pasca putus dari April. Tapi sekali lagi Irlan tegaskan, ia tidak peduli. Orang-orang hanya tahu bagian luar, mereka tidak berhak beropsi aneh-aneh, andai saja Irlan jahat, mungkin sudah ditempelnya kertas berukuran besar dan menuliskan keburukan April di sana. Tetapi buat apa, tidak ada untungnya, bagi Irlan, April hanyalah seonggok kenangan yang harus dibuang, dienyahkan bahkan dikubur dalam-dalam.

"Irlan, ngapain ke sini?" Iyana tidak sekaget yang dibayangkan, ia sudah telanjur biasa melihat kelakuan Irlan yang berubah sekitar dua minggu belakangan.

"Jemput kamu, Na."

Lagi-lagi, sore Iyana bagai bencana. Bagaimana kalau April melihat Irlan di sini, bagaimana kalau April tidak terima Irlan mulai berpindah hati dengannya.

Lama mereka terdiam, Iyana masih mencari kata-kata penolakan yang tepat. Tidak mungkin kan, ia menyungging perasaan Irlan. Iyana pun tidak bodoh membaca bahasa-bahasa tubuh Irlan. Apalagi kode saat mereka bertukar obrolan, Iyana tahu pasti, ada yang tidak beres di hati Irlan. Semacam cinta yang mulai tubuh lalu meminta di respon.

"Irlan aku," ah, susah sekali rasanya Iyana bicara, dia orang paling tidak enakan. "Aku, pulang sendiri aja ya, Lan. Tidak apa kan?" tanyanya dengan nada yang, ya lemah lembut.

"Kenapa? Kamu nggak enak sama April?" Sudah bisa menebak arah penolakan Iyana akan bermuara di mana, Irlan mendesah kecewa.

"Irlan kamu paham kan, aku sama April tidak mungkin merusak persahabatan kami hanya karena ...." Sadar mulutnya keceplosan, Iyana berhenti bicara.

"Karena laki-laki bernama Irlan. Iya kan?" Pelan, Iyana mengakui dengan sekali anggukan.

"Jadi aku harus apa? Mundur? Menyerah? atau Berhenti berjuang." Dipaksa menjawab, Iyana semakin merasa bersalah. Ia tidak menyalahkan Irlan atas perasaannya. Iyana paham, cinta datang secara dadakan, tidak diberi pilihan, apalagi alasan. Allah sudah mengaturnya, Iyana sadar. Tetapi posisinya sulit.

"Ya udah nggak usah dipikirin. Kamu pulang aja naik taksi, aku ikutin dari belakang. Boleh?" Menawar permintaan Irlan sama saja melukai hati pria itu, lagipula pilihan Irlan lebih bagus daripada ia harus semobil dengan Irlan lalu kedapatan April, bisa-bisa jadi masalah.

Jadilah sore itu, Iyana pulang ditemani Irlan dari belakang. Ya, melihat Iyana di depan sana sudah cukup membuat hati Irlan bersorak-sorai. Perasaan mana lagi yang bisa Irlan dustakan, kalau didekat Iyana sekarang jantungnya berdetak cepat. Juga senyumnya yang selalu bertambah lebar, dan nafsu makannya yang meningkat apabila Iyana merespon dirinya dengan baik.

"Nggak usah dibayar, Na. Aku aja." Irlan mencegat Iyana yang hendak mengeluarkan dompet. Sebelumnya Irlan turun lebih dulu mengetuk kaca jendela taksi, lalu mengintrupsi Iyana demikian.

"Jangan, Lan. Aku aja ya."

"Iyana tolong jangan tolak yang ini ya, kumohon."

"Tapi, Lan." Iyana masih bersuara saat Irlan mengeluarkan dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang kepada supir taksi.

Demi Allah, bukan ini yang Iyana mau. Dibayarkan Irlan soal keperluannya, disuguhkan cinta, apalagi sampai, ah tidak, itu sebatas praduga Iyana saja. Anggap wanita sholehah itu sedang mengkhayal.

"Iyana." Belum lagi sampai tangan Iyana mengetuk pintu rumah, Irlan kembali memanggilnya. Seolah tak ikhlas Iyana menghilang dibalik pintu lalu meninggalkannya yang butuh direspon.

"Kenapa Lan?"

"Aku mau ikut pamit pulang sama Ibu, boleh?" Bagi Irlan semua tindakannya sekarang tergantung Iyana. Makanya setiap bertanya Irlan selalu menggunakan kata boleh di ujung kalimat.

"Irlan."

"Iya."

"Jangan bertindak berlebihan Irlan. Aku tidak mau April salah paham." Irlan menyeringai tipis. Siapa April, kenapa wanita yang sudah merobek hatinya itu masih saja disangkutpautkan.

"Kamu tahu Na. Aku nggak sembarangan menaruh perasaan. Sudah sering aku berdoa pada Allah, kalau memang kamu orangnya, tolong yakinkan aku. Dan setiap hari aku semakin yakin, kamu orangnya. Terlepas April sahabatmu dan mantan pacarku, aku nggak peduli. Maaf." Disambar kalimat-kalimat Irlan yang bernada keyakinan, Iyana semakin yakin, hati Irlan benar-benar tidak beres. Ada cinta di hati laki-laki itu dan jelas itu bukan lagi milik April, tapi sudah menjadi milikinya sekarang.

Masih bimbang, ragu, dan tidak tahu harus berbuat apa, Iyana diam saja di tempat. Beristighfar dalam hati kalau-kalau saja apa yang ia rasakan ini salah. Tapi sialnya, jantung Iyana berdetak cepat tanpa diminta. Apalagi saat Iyana tak sengaja mendengar Irlan mengaji tiga hari yang lalu di pesantren Al-Rahman. Ya, selain giat mengejar cinta Iyana, Irlan juga gigih memperdalam ilmu agamanya, memantaskan diri menjadi calon imam bagi wanita sholehah seperti Iyana. Makanya, Irlan ikut membantu mengajari anak-anak pesantren membaca al-quran, karena Iyana juga rutin ke sana. Bahkan Iyana juga mengajari anak perempuan mengaji, sama seperti Irlan.

"Irlan, aku paham perasaan kamu, bahkan sangat paham. Tapi April belum tentu. Aku tahu siapa April, dia pasti menuduhku yang macam-macam kalau tahu kamu mendekatiku."

Aku bukan hanya mendekatimu, tapi aku berniat mengkhitbahmu Iyana.

"Jangan pedulikan April. Dia cuma mantan pacarku bukan mantan istriku. Jadi nggak ada sebenarnya yang perlu kita khawatirkan."

"Kamu gagal paham Irlan. Tidak semudah itu yang aku maksud. Lebih baik kita sama-sama berdoa untuk solusi terbaik perasaan ini. Aku masuk dulu. Kamu pamit aja ke dalam sama ibu."

Lagi-lagi Irlan harus menelan pil pahit atas respon Iyana yang ambigu. Dari bahasa tubuhnya, Irlan tahu Iyana tidak menolak. Tetapi ada April yang mengganjali perasaannya hingga perlu membentengi diri sejauh mungkin dengan Irlan. Karena Iyana lebih memilih persahabatan ketimbang rasa cinta dalam ketidakpastian.

Masuk ke dalam, Hana sedang mencuci piring di dapur. Dengan wajah kusut, Irlan memposisikan diri disebelah Hana hingga ia terkejut saat Irlan dengan iseng menyentil pipinya yang gembil.

"Calon menantu kurang ajar. Beraninya colek-colek pipi ibu yang hanya boleh disentuh bapak," guraunya.

"Bapak beruntung sekali punya istri cerewet seperti Ibu."

"Apa maksudmu?"

"Tidak ada maksud, calon ibu mertua. Cuma kayaknya bahagia, bisa punya istri yang menyambut suaminya pulang kerja. Masak makan malam, punya teman ngobrol sebelum tidur, terusss, ah ibu pasti paham." Sontak Hana tertawa, biasa, laki-laki dengan pikiran-pikiran nakalnya.

"Sepertinya kamu butuh dinikahkan cepat, Lan. Usia matang masih jomblo, bisa-bisa senjatamu itu karatan." Keduanya terbahak bersamaan. Mata Irlan sampai berair, kalau dipikir benar juga. Sudah lama ia menghabiskan hidup, tapi senjatanya belum pernah digunakan untuk menanam benih di rahim perempuan yang tentu legal untuknya.

Semoga saja anak ibu mau. Jadi senjata ini bisa kugunakan untuk menanam benih yang berkualitas, menghasilkan anak yang sholeh dan sholehah.

-----------------------------------------------------------

(Assalamualaikum, maaf ya yang ini agak lama. Kemaren pendadaran dulu, terus sempat drop jadi baru sempat dikerjain. Makasih yang udah sabar nunggu dan setia kasih voment... kecup semuanya hahaha😘😘😘😘
Samarinda, 28 Agustus 2017. Senin sore, pukul 15.38 dengan cuaca panas)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top