a Love Letter
Nana membuka matanya perlahan. Sinar yang terlalu terang membuat matanya kembali menutup.
"Nana kau sudah sadar?" Suara Miyuki terdengar bahagia. Langsung saja Miyuki menekan tombol pemanggil untuk memanggil perawat. Nana ingin menjawab Miyuki, tapi tenggorokannya sangat kering dan terasa sakit.
"ada yang bisa saya bantu Nona?" Sapa perawat bertubuh gemuk itu.
"sudah sadar, teman saya sudah sadar" Miyuki memberitahunya. Perawat itu pun langsung mengecek kondisi Nana.
"syukurlah" Desisnya, "saya panggilkan dokter sekarang, mohon tunggu sebentar" perawat itu tersenyum kemudian berlalu pergi.
Dokter pun datang, memeriksa Nana dengan seksama. Dia menuliskan beberapa catatan di kertas yang dibawanya, lalu mengajak Michan keluar.
"teman anda sebetulnya secara fisik tidak mengalami trauma yang serius, ada lebam di tengkuknya tapi tidak berdampak parah, dan hanya mengalami lecet di tangan kakinya, selebihnya fisiknya hanya kelelahan. Tapi saya kira mentalnya lah yang lebih terpengaruh dari apapun itu yang telah dia alami" dokter menjelaskan kepada Miyuki.
"maksudnya dokter? A...apa teman saya jadi gila?" Miyuki membelalak. Dokter muda itu terkekeh. "saya tidak akan menggunakan istilah itu untuk kondisi ini Nona, teman anda saat ini sedang tidak stabil secara emosi biar nanti psikiater yang menjelaskan lebih lanjut. Tapi dari yang saya amati teman anda mengalami trauma psikis yang cukup berat" dokter itu menjelaskan pendapatnya pada Miyuki.
"tentu saja dokter, dia melihat calon suaminya tertabrak bus" Miyuki merinding saat mengucapkan itu.
"ya, saya pribadi tak bisa membayangkan ada seseorang yang mengalami itu dan baik baik saja, saya turut bersimpati atas apa yang terjadi" dokter itu menghela nafas.
"terimakasih dok" Miyuki tersenyum sopan.
"sama sama, surat rujukan dan lain lain akan segera saya buat. Saya permisi dulu" Dokter itu membungkukan tubuhnya memohon pamit.
"ah ya, terimakasih sekali lagi, dok" Miyuki balas membungkuk lebih dalam.
***
Miyuki membantu Nana mengemasi barang barangnya, tak banyak, hanya pakaian kotor dan beberapa oleh oleh dari teman yang datang menengok.
Nana hanya terduduk disisi ranjang matanya menatap dinding kosong di hadapannya. Miyuki tak bisa menduga apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya itu.
"Nana..." Miyuki menyentuh lembut pundak Nana.
"ah, maaf Michan" Nana tersadar dari lamunannya, matanya basah.
"kau sudah siap?" Miyuki mencoba tersenyum pada sahabatnya itu.
"ah, iya aku siap, maaf aku tidak membantumu berkemas" Nana merasa bersalah pada sahabatnya.
"tidak apa-apa, ayo kita pulang" Miyuki menggandeng tangan Nana.
Mereka berdua berjalan melewati lorong lorong panjang sampai keluar dari Rumah Sakit. Miyuki melambai pada taksi yang melintas lalu mereka naik.
Perjalanan ini terasa seperti perjalanan terpanjang dalam hidup Miyuki. Nana sama sekali tidak bersuara. Wajahnya menghadap jendela dan matanya menatap jalanan yang sibuk. Saat berpapasan dengan sebuah bus, Nana langsung memalingkan wajahnya, dia menggenggam erat tangan Miyuki, Miyuki balas menggenggam tangan Nana untuk menenangkannya.
"kau tidak apa-apa Na?" Miyuki bertanya tulus. Nana menggelengkan kepalanya. Mulutnya tetap membisu.
Sepanjang jalan Miyuki memutar otaknya, bagaimana cara mengatakan pada Nana kalau dia membutuhkan perawatan Psikiater, tanpa menyinggung perasaan Nana. Miyuki tau sahabatnya ini pasti akan menolak karena dia merasa baik baik saja.
Nana menghela nafas panjang. Pikirannya kacau, dia tidak tau bagaimana harus mengurainya, kenyataan bahwa dia baru saja kehilangan calon suami yang sangat dia cintai dan kenyataan bahwa calin suaminya adalah seorang pembunuh, bahkan mungkin pembunuh berantai yang saat ini sedang dicari cari di negara ini. Apa yang harus Nana lakukan. Shuji sudah tidak ada, perlukah Nana mengungkap semuanya?, atau Nana hanya perlu mengubur semua fakta itu bersama kepergian Shuji?. "Mana yang kau inginkan sayang?, apa yang harus kulakukan" Nana pun menangis lagi.
Taksi akhirnya berhenti di depan rumah Nana, rumah sederhana di gang tengah kota. Nana masuk ke halaman kecilnya meninggalkan Miyuki yang sedang membayar ongkos taksi. Wanita itu memandang pintu rumahnya, bayangan Shuji yang tersenyum setiap dia membukakan pintu itu berkelebat diingatannya. Dadanya sakit mengingat itu.
Nana menatap kotak surat transparan yang dia gantung di samping kanan pintu. Ada sehelai surat kilat disana. "Siapa yang mengirim surat padaku ya?" Pikir Nana. Selama ini surat yang masuk ke kotak itu hanya tagihan-tagihan dan brosur iklan.
Nana mengambil surat didalam kotak suratnya, dan dia terkejut saat membaca nama pengirimnya. "Shu... Shuji!" hampir saja tubuh Nana rubuh ke tanah kalau Miyuki tidak segera menangkapnya.
"Nana kau kenapa?" Tubuh Nana bergetar hebat, dia menangis, Miyuki mengambil surat yang terjatuh dari tangan Nana.
"a...apa!?" Matanya membelalak. Miyuki mengangkat tubuh sahabatnya dan memapahnya kedalam rumah. Dia mendudukan Nana di sofa dan memberinya segelas air. Setelah merapikan barang bawaan Nana, Miyuki duduk disamping Nana sambil membawa surat kiriman Shuji.
"Nana... Kau mau membacanya?" miyuki mengusap punggung Nana yang sedang terisak. Nana makin terisak.
"mungkin isinya penting, dan bisa membantumu melalui ini semua" kata Miyuki.
Nana mengangguk lemah, dia berusaha menahan isaknya. Tangannya meraih surat yang dipegang Miyuki dan mulai membukanya.
Dear Nana...
Sayang... aku adalah pria paling bahagia di alam semesta saat engkau menerima pinanganku untuk menjadi pendamping hidupku. Aku tak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupku sebelumnya, dan aku tak pernah menyangka Tuhan mengizinkanku untuk bahagia.
Nana sayang... Kebahagian yang kurasakan juga membawa kepedihan yang luar biasa bagiku, aku... memiliki sisi gelap yang sangat kelam... Aku adalah seorang pendosa, Nana...
Aku tak tahu bagaimana cara menyampaikan semua ini kepadamu, aku tak tahu apakah ini keputusan yang tepat, atau seharusnya aku menyembunyikan semua ini darimu... Tapi, aku sangat mencintaimu Nana.. Aku ingin bisa sepenuhnya jujur padamu.
Nana... Keraguanku sirna saat aku bertemu Sawamura dan istrinya. Hmm... Lebih tepatnya setelah aku... membunuh mereka berdua... Nana aku tau kau terkejut, aku tau kau marah atau mungkin hatimu hancur saat ini, tapi kumohon bacalah surat ini hingga selesai, kuharap kau akan mengerti semuanya.
Wanita itu, dia memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri saat aku membunuh suaminya. Dia tetap mencintai dan memaafkan suaminya setelah semua yang bajingan Sawamura itu lakukan padanya. Dari situ aku menyadari kekuatan cinta sejati, Nana... Kau pun akan memaafkan aku kan? Iya kan? Kumohon, Nana... katakan aku benar.
Calon istriku yang sangat aku cintai....
Inilah fakta yang kupunya. Aku... Aku adalah pembunuh dari 8 wanita yang gencar diberitakan hilang di media akhir akhir ini... Aku tak punya pembelaan atas itu sayang... Aku memang bersalah. Aku tidak menyesal membunuh mereka semua, aku berusaha menoling mereka Nana.. Mereka yatim piatu... Seperti kita Nana... Seperti kau dan aku... Seperti kakakku, Mendiang kakakku.
Kakakku bunuh diri saat usianya 15 tahun. Aku masih 8 tahun saat itu. Kakak bilang dia, rindu Ayah dan Ibu, kakak bilang dia akan bahagia bila bersama Ayah dan Ibu. Karena itu aku membantu mereka untuk bahagia Nana.. Mereka semua kini sudah berkumpul dengan Ayah dan Ibu mereka, mereka sudah bahagia... Iya kan? Sejujurnya akupun hendak membantumu saat itu Nana... Aku memilihmu dari daftar biro jodoh moonlady karena statusmu yang yatim piatu. Tapi kau dan Sawamura... Ah.. Sekarang aku bersyukur kita tidak bertemu saat itu. Mengikutimu selama satu bulan, melihatmu dihancurkan Sawamura... Ah.. Nana... Aku jatuh cinta padamu, pada senyumanmu, pada etiap gerak gerikmu, aku ingin membuatmu bahagia.. Aku yakin aku bisa membuatmu bahagia tanpa harus bertemu Ayah Ibumu... Dan aku ingin mempertahankanmu karena kau pun telah membuatku bahagia... Membuatku hidup... Membuatku berharga...
Nana aku mengirim surat ini dan mengaturnya agar sampai di hari jumat. Aku tahu kau butuh waktu untuk mencerna semua ini. Dan aku akan bersiap dengan segala keputusanmu.
Nana... Aku akan menunggumu di restoran eropa tempat aku akan melamarmu dulu, hari sabtu besok. Jam 7 malam. Tempat itu mungkin masih menyisakan kepedihan di hatimu... Tapi kau tau? Sawamura sudah tidak ada... Kau bisa tenang sekarang Nana...
Jika kau memaafkanku.. Dan masih bersedia menjadi istriku datanglah kesana dengan baju yang kubelikan saat itu. Jika kau tidak datang, aku berjanji aku tak akan muncul lagi di kehidupanmu mulai saat itu, aku akan pergi meninggalkanmu. Ya.. Sejak aku tak bisa hidup tanpamu mungkin aku akan memilih meninggalkan dunia ini juga, untuk selamanya. Harapanku satu, suatu saat kau bisa menemukan kebahagiaanmu Nana... menemukan cinta sejati yang bisa membahagiakanmu melebihi aku...
Nana... Pada akhirnya aku hanya ingin kau tahu.
Aku sangat mencintaimu. Sangaaaaat mencintaimu, melebihi apapun di dunia ini.
Calon suamimu yang tampan... ;)
Sakurai Shuji.
Miyuki menutup mulutnya, jantungnya serasa berhenti, dia tak percaya apa yang baru saja dibacanya. Shuji? Pembunuh?. Tanggal pengiriman di amplop surat kilat itu memang menunjukan tanggal satu hari setelah sawamura dan istrinya terbunuh. Dan sabtu jam 7 berarti malam ini?.
Miyuki melirik Nana disampingnya, reaksi Nana tampak lebih tenang darinya. Miyuki menduga malam saat kecelakaan itu, Nana sudah mengetahui semuanya. Ah tapi apa itu memang kecelakaan?. Miyuki jadi menduga duga. Nana terisak hebat saat membaca bagian akhir dari surat, dia mulai menangis histeris, dan akhirnya kehilangan kesadarannya.
"Nana! Nana!" Miyuki berusaha membangunkan sahabatnya. Lalu tangannya bergerak menelpon panggilan darurat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top