Nightmare
Secarik kertas diserahkan, dengan wajah penuh harap ia menunggu orang di depannya menganggukkan kepala. Kedua tangannya saling menggenggam erat di depan dada.
"Ibu yang datang ya-"
"Maaf, Anya. Ibu tidak bisa datang, diwakilkan Paman Vasko seperti biasa saja, ya?"
Anya menunduk, gadis itu berkaca-kaca, kedua tangannya saling mengepal erat menahan kesal. "Kenapa, sih, Ibu selalu tidak bisa datang! Ibu sesibuk apa memang?! Toh, ibu cuma jualan kue! Bukan seorang direktur!"
Gadis itu hanya ingin ibunya datang sekali saja di pertemuan antar orang tua di sekolahnya. Sekali saja.
Setidaknya sekali untuk yang terakhir kalinya, ia sudah sangat senang.
Kenapa ibunya itu tidak pernah datang, dan selalu mewakilkan orang lain, berbagai alasan selalu diutarakan setiap dirinya memberikan undangan dari sekolah.
"Anya ... Ibu banyak pesanan yang harus dibereskan pada tanggal itu juga."
"Bereskan sebelum tanggalnya dong!"
Anya menghentak-hentakkan kakinya.
[Name], wanita paruh baya itu memijit pelipisnya, merasakan migrain kembali menghantam. Kemudian menatap kearah sebuah foto pernikahan yang digantungkan di dinding.
"Ayah, lihatlah anakmu ini!"
Anya melirik kearah mana ibunya menatap kemudian mencebikkan bibir. "Ibu yang nakal! Dia tidak mau datang ke setiap acara sekolahku!"
"Kalo ibu tidak datang, aku juga tidak akan datang. Bodo amat dengan pengumuman kelulusan minggu depan!"
"Bodo amat juga dengan lanjut SMA! Aku tidak akan daftar! Buat apa sekolah jika ibu tidak pernah mau datang untuk menemaniku mengambil piala kalau aku dapat juara!"
[Name] menghembuskan nafas pasrah, ia mengangkat tangan mengaku kalah. "Baiklah! Tapi, Ibu tak janji tetap di sana sampai acara selesai, loh!"
Anya melotot. "Serius?!" Ia berjingkrak-jingkrak kesenangan, menubruk tubuh ibunya memberi pelukan. "Iya, serius."
"TERIMAKASIH, IBU!"
[Name] mengusap surai putrinya penuh kasih sayang, sambil tersenyum ia membatin, 'apakah ini akan baik-baik saja?'
Semoga saja.
"Ibu, sebentar lagi giliranku! Ibu jangan lupa ambil foto, ya!" Anya tersenyum bahagia, surainya diikat rapi menjadi satu, wajahnya manis terpoles make-up tipis nan natural.
[Name] memegang sebuah kamera digital mengacungkan jempolnya, tangan kanannya terulur merapikan anak rambut putrinya yang turun menutupi dahi, merasa basah, Anya berkeringat dingin.
"Jangan gugup, bukannya kau pemberani?" ucap [Name] memperhatikan sekitar yang tengah ramai bertepuk tangan saat seorang gadis berdiri di atas panggung sana menerima sebuah piala penghargaan, nilai tertinggi nomor 2 satu angkatan. Ia ikut bertepuk tangan pelan.
"Y-ya, siapa yang takut!?" Anya menatap kearah lain, sebenarnya hal ini sudah sering terjadi, kenapa ia masih tak biasa, ya?
"Ayo, Anak Ibu semangat! Bukankah kau senang Ibu datang? Ayah pasti bangga sekali, kan?"
Anya mengerjap pelan, menatap sepasang manik sayu ibunya lekat. "Iya, ini ... pertama kalinya ibu datang."
'Dan Ayah, kau pasti bangga, kan, punya anak cantik yang pintar sekali sepertiku?' batinnya sibuk menenangkan diri.
"Mari kita panggil murid selanjutnya, pemilik nilai sempurna dan tertinggi satu angkatan, dari kelas sembilan A plus, Lee Anya."
[Name] sedikit tersentak mendengar nama anaknya dipanggil, menatap putrinya yang tersenyum kaku, merasa tatapan para orang-orang di sekitar kini tertuju padanya. "Y-ya, giliranku, okay ...." Anya berdiri dari kursinya, kemudian keluar dari barisan para orang tua dan murid, gadis itu gugup, berjalan setengah lari ke depan sana untuk naik ke atas panggung.
Sesekali ia menoleh kebelakang, melihat ibunya setia duduk di tempatnya.
'Astaga ... jangan sampai bikin malu ibu, ini pertama kalinya dia datang.' Mengingat kejadian setahun lalu, ia menjatuhkan piala yang sudah berada di tangannya hingga terbelah menjadi dua.
Ckrek!
Ckrek!
[Name] tersenyum tipis, beberapa kali mengambil gambar anaknya di depan sana tengah begitu gugup setengah mati menyampaikan pidato singkat sambil menggenggam erat sebuah piala.
'Dia berbeda sekali dariku dulu.' [Name] memotret sekali lagi, menghelakan nafas dan menatap semua hasil jepretannya puas.
Tangannya terangkat hendak menjepret gambar lagi.
Sruk!
Wanita itu terdiam, menghentikan niatnya.
Kursi di sampingnya terdengar bergetar, seseorang baru saja mendudukinya, dan Anya hingga kini masih di depan sana dengan kata-kata keluar dari mulutnya.
[Name] menunduk sejenak sebelum menoleh dan hendak mengeluarkan sapaan halus dan sopan, namun..
"Lama tak jumpa."
"Ibu, kenapa tadi tiba-tiba menghilang?"
"Anya– Masuk, lalu ganti pakaianmu, jangan lupa hapus make-up-nya, ya?"
Anya menaruh piala serta piagam di tangannya asal ke atas meja. "Ibu, kenapa, sih? Ibu aneh, Ibu baik-baik saja?" Wanita itu nampak aneh semenjak pulang dari sekolahan.
"T-tidak, Ibu baik-baik saja. Sudah, ya? Ibu lelah, mau istirahat."
Brak!
Anya terpaku, menatap pintu itu tertutup bersamaan dengan sosok [Name] yang lenyap.
"Ibu, kalau mau cerita sesuatu, bilang saja ...!"
"Anya mau main habis ini."
Terdengar sahutan dari dalam, hanya sebuah deheman.
Anya sangat curiga.
"Lama tak jumpa."
[Name] membeku, ia tak bisa menggerakkan tubuhnya, tetap pada posisi menoleh sedikit ke samping. Maniknya bergetar hebat seolah tak percaya dengan apa yang sedang ia alami.
"Apa kabar, [Name]?"
Wanita itu meneguk ludahnya susah payah, merasa udara di sekitar tiba-tiba turun drastis.
"H-hai, a-aku baik."
"Kau makin cantik, ya?" Sepasang kelopak mata tajam itu menyipit manis. "Kau datang kesini mendampingi siapa?"
"Haha, iya– Anakku." [Name] menggenggam erat kamera di tangannya hingga tanpa sengaja memencet sebuah tombol yang membuatnya memotret apapun tanpa sengaja.
Lawan bicaranya terdiam sejenak dengan raut datar sebelum kembali memasang senyum ramah. "Oh, ya? Lalu, mana anakmu?"
Jari telunjuk [Name] terulur kearah panggung, menunjuk Anya tengah memejamkan mata dengan bibir terus berbicara, mengoreksi ucapannya yang belepotan.
"Serius? Dia anakmu? Wah, beruntung sekali."
[Name] mengangguk, lalu tersenyum tipis.
"Ah, iya– Ini dia anakku."
[Name] baru tersadar, seorang gadis berdiri di samping sang pria sambil menunduk, entah sejak kapan dia telah berada di situ, sang wanita baru saja mengetahui keberadaannya.
[Name] terhenyak. 'Dia ...." Menormalkan ekspresinya kembali yang pasti sangat mengikuti betul isi hatinya.
"Ah, cantik," puji [Name]. "Kau yang tadi maju ke depan, ya?" tanya [Name] lembut, gadis itu tampak melihatnya takut-takut. Apa wajahnya terlihat menyeramkan, ya?
"I-iya, Nyonya."
[Name] tertegun, lalu tertawa kecil. "Panggil Tante saja, jangan formal sekali."
"Uh? I-iya." Manik terangnya beberapa kali bergulir panik ke arah sang ayah.
"Siapa namamu?"
"S-Seo Nara."
[Name] tersenyum, diam-diam ia menahan sesak yang mulai merambat mengisi dada. Kenapa? Kenapa semudah ini?
"[Name]-"
"Ah, Nak Nara, duduk sini! Tante mau ke toilet!" Jujur, ia tak tahan sedari awal dia duduk di sampingnya. [Name] berdiri dari kursinya lalu mempersilahkan Nara mengisi tempatnya yang kosong.
Nara, gadis bersurai coklat disanggul rapi itu mengerjap tak yakin. "Ah, tak perlu, Tante-"
"Duduk saja, Tante mau pergi beberapa lama, kau pasti pegal berdiri terus." [Name] tersenyum, menahan sekuat tenaga liquid bening yang kian mendobrak pertahanannya untuk terus berpura-pura tegar.
"Baik, Tante. Terimakasih kasih." Nara menduduki kursi bekasnya duduk.
"Sama-sama, saya permisi, ya, Nak Nara?" [Name] berpamitan, enggan menatap pria tepat di depannya.
"I-iya, Tante."
"Selamat tinggal, Tuan Seongeun." Dan, hanya meliriknya sekilas.
Ia tak ingin berjumpa lagi dan merobohkan segala usahanya.
"Aku berharap, semua yang terjadi hari ini hanyalah sebuah mimpi buruk saja."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top