9 | Jadi seorang istri

"Nanti sore kamu yang belanja," kata Bunda waktu aku sedang serius menyetrika baju.

Wanita itu muncul tiba-tiba, untung aku masih menolerir rasa terkejut. Bunda meletakkan beberapa potong pakaian lagi di atas keranjang, aku menghela napas, baru saja kupikir aku akan segera selesai dengan pekerjaan yang melelahkan ini, tapi kini harus lebih lama lagi.

"Denger tidak kamu?!"

"Iya, Bun. Ana bakalan belanja." Sungguhlah perihal berbelanja bukan hal sulit, aku sering ikut Ibu belanja dulu, juga beberapa Ki ditugaskan pergi sendiri.

Dia menyentuh pakaian yang telah kusetrika, terlipat rapi tersusun di atas meja. "Bagus. Jangan lupa apa yang Bunda pesan, catatannya ada di dapur."

Aku mengangguk sambil terus mengarahkan setrika panas ini.melinfas baju-baju kusut.

"Ya, udah, kalau begitu. Cepat selesaikan pekerjaan kamu."

Walaupun kesal karena disuruh ini itu, aku tetap mengerjakannya. Sedari pagi Bunda menjejeli banyak sekali pekerjaan padaku, dari mengepel rumah, cuci baju, menyapu halaman, pokoknya banyak!

Apa dia lupa kalau aku menantunya bukan pembantu. Satu-satunya hal yang aku suka di rumah ini cuma Mas Herman. Ayah sikapnya pendiam, sangat dingin pula itu, beberapa kali aku berbicara dengannya, pria itu hanya berucap satu dua kata. Sangat irit bicara.

Aku tak sabar rumah kami selesai dan bisa segera pindah dari sini.

Selesai membereskan pakaian, aku bergegas ke dapur, mengambil catatan belanja yang dimaksud Bunda. Benar saja di atas galon sebuah catatan dan uang belanja sudah tersedia.

Karena kediaman Bu da tidak terlalu jauh dengan rumahku, maka kami punya pasar yang sama. Sesungguhnya kami punya prinsip belanja yang sama, ku lihat daftar belanja ini, Bunda tipe yang langsung belanja banyak agar tidak sering-sering keluar.

Pun lebih memilih langsung belanja ke pasar ketimbang di kedai-kedai, soalnya lebih murah. Aku pergi dengan naik motor, sebenarnya akan lebih menyenangkan bila Mas Herman yang mengantar, tapi pria itu sedang bekerja sekarang. Cuti pernikahan hanya seminggu, dan jatah itu telah habis.

Naik ke atas motor matic ini, aku segera menyalakan mesin. Melaju membelah jalan.

***

Aku meremas ujung bajuku menahan air mata turun. Lagi-lagi Bunda marah-marah, padahal tidak ada yang salah. Semua yang ia pesankan sudah kubeli.

"Kamu jadi orang boros banget! Kenapa ndak nawar atuh? Kan, jadi mahal-mahal ini. Dasar!"

Ya ... itulah salahku, belanja enggak nawar. Bunda bilang harganya terlalu mahal, biasanya Bunda bisa beli setengah dari harga yang kubeli. Sangat sakit rasanya bila wanita itu kemudian mengata-ngatai aku, apalagi sudah dikaitkan dengan ajaran orang tuaku.

"Kamu sekarang sudah jadi istri, harus pandai mengatur keuangan, pengeluaran harus seminimal mungkin. Kamu mau buat suamiku miskin kalau boros-boros begini, hah?!"

Ibu tidak pernah memarahi aku, bahkan itu bila aku membeli dengan harga yang paling tinggi. Rasanya begitu mengesalkan, aku sangat ingin membalas perkataan wanita ini, tapi takutnya malah membuat ia semakin emosi. Maka aku mengalah, diam mendengarkan sampai ia selesai berbicara.

"Orang tua kamu emang memanjakan dirimu, sekarang kamu jadi manja, tidak tahu cara mengirit. Seharusnya kalau mereka benar-benar ingin anaknya kawin, kamu harus dididik dulu yang bener. Kalau begini, kan, anak aku yang rugi dapat perempuan tak berguna."

Astagfirullah .... Astagfirullah ....

Aku tidak pernah mengerti jalan pikiran Bunda Putri. Kali ini aku benar-benar sakit hati, tidak menghiraukan dirinya yang masih berceloteh ria, aku membawa kakiku pergi dari sana. Aku menulikan telinga saat ia memanggi-manggil namaku.

Bunda udah keterlaluan, aku tidak terima!

Masuk ke kamar dan membanting pintu kuat-kuat, menjatuhkan diri di atas kasur, menangis sekuat-kuatnya. Dadaku sesak dihina-hina seperti itu.

Entah berapa lama aku menangis, aku tidak sempat melihat jam. Tapi tiba-tiba pintu terbuka, Mas Herman muncul dari balik pintu. Mengusap punggung ku.

"Ana kenapa?"

Aku tidak tahu harus menunjukkan reaksi seperti apa, hatiku masih bercokol kekesalan pada Bundanya, bila tak segera kukendalikan mungkin aku akan mengata-ngatai wanita itu. Dan, aku tidak mau itu terjadi.

"Kata Bunda, Ana marah, ya?"

Meskipun cukup mengejutkan, karena Bunda sudah mengadukan masalah ini pada Herman, aku tetap malas untuk berbalik. "Mas ngerti kenapa kamu marah, Dek."

"Bunda emang kadang suka kelewatan kalau ngomong."

Nah, kali ini baru aku mau membalikkan badan. Menatap Mas Herman dengan mata sembab. "Ana kesal karena disalahkan terus, padahal Ibu Ana sendiri tidak pernah memarahi sampai segitunya."

"Mas ngerti. Mas paham." Tangannya terulur untuk membenarkan rambutku yang acak-acakan.

Mas Herman emang paling baik di rumah ini, aku tidak pernah bisa kuat bila tanpa dirinya. "Ana senang Mas paham."

"Tapi ...." Tangannya berhenti di telingaku setelah anak rambutku berhasil ia selipkan di sana.

"Ana juga enggak benar." Aku melotot mendengar penuturan itu, mulutku terbuka hendak membalas. "Ana sekarang sudah jadi seorang istri, kenapa masih bawa-bawa sifat lama?"

"Maksudnya, Mas?" Aku tidak percaya, katanya ia paham. Kok sekarang seolah menyalahkan aku?

"Maksudnya. Dulu di rumah, Ana emang enggak pernah dimarahi walau melakukan kesalahan, paling dimarahi kecil-kecil begitu."

Dia mengelus wajahku, bibirnya tersenyum manis. Aku yang sedang kesal tiba-tiba merona karena sekarang kepikiran betapa gantengnya pria ini.

"Di rumah ini, Ana emang sudah dianggap sebagai anak bunda juga. Tapi jabatannya sekarang sebagai seorang istri."

"Dek ... ketika kamu siap menikah, itu berarti kamu siap untuk hidup yang baru. Jadi kamu harus bisa menyesuaikan diri."

Aku tertegun. Mas benar, aku tidak boleh terus-menerus selembek ini. Aku menyadari bahwa tingkahku yang tadi sangat kekanak-kanakan.

"Maaf, Mas. Ana mengaku salah. Nanti Ana minta maaf juga sama Bunda."

Mas Herman mengangguk dan menepuk kepalaku gemas. "Bagus-bagus. Tapi minta maafnya besok saja."

"Ha?"

"Sekarang kamu harus menunaikan kewajiban kamu sebagai istri. Mas minta jatah."

Jatah? Belum sempat mengerti ia sudah menindih tubuhku dan menciumku ganas. Ah, aku mengerti.

Aku sekarang seorang istri bukan?

***


Hello, aku kasih bonus satu bab lagi untuk kalian ><

Oh, ya, Cangtip juga mau kasih rekomendasi cerita untuk semua pembaca aku tersayang.

Menceritakan tentang rencana pernikahan Arya dan Mila yang terancam hancur karena viralnya video mesum, juga rahasia-rahasia yang perlahan mulai terungkap


Buruan cek work sebelah sebelum ketinggalan lalu menyesal><

Terima kasih sebelumnya
Salam sayang selalu

Cangtipone ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top