7 | Melanjutkan yang Tertunda
Bunda dan ayah sepakat untuk mengantarkan Mas Fauzan dan Mbak Lina sampai stasiun, sedangkan aku diperintahkan untuk di rumah saja. Sebenarnya, sih, enggak apa-apa. Toh, juga aku sedang malas dengan mereka apalagi Bunda Putri. Masih kesal rasanya setelah ia memarahiku.
Namun, sayangnya Mas Herman ikutan mengantar, alhasil aku sendirian di rumah. Aku hampir-hampir merasa diperlakukan seperti anjing penjaga rumah kalau saja tidak ingat Mas Herman sempat mengajakku, tapi kutolak setelah melihat tatapan sinis Bunda.
Rumah ini tidak terlalu megah, tetapi cukup luas. Punya halaman depan dapat menampung tiga sampai lima mobil, sedangkan di halaman belakang banyak ditumbuhi tanaman bumbu seperti; kunyit, lengkuas, jahe, serai, kemangi, dan banyak lainnnya.
Di sisi samping terdapat kandang ayam kampung yang tidak pernah kutahu berapa ekor dipelihara mereka. Intinya rumah mertua aku ini, adalah multi fungsi.
Bangunan bercat putih ini juga memiliki dua lantai dan loteng tempat barang bekas tidak terpakai tetapi sayang dibuang. Aku dan Mas Herman untuk sebulan ini tidur di kamar bagian atas. Kamar mas Herman sebelumnya.
Aku sempat bingung kenapa Mas Fauzan tidur di kamar tamu padahal dulu kamarnya sampingan dengan kamar adiknya Herman. Tapi setelah kejadian malam itu aku sadar akan sangat memalukan bila pasangan itu mendengar kegiatan kami.
Sudah hendak naik ke atas saat mataku melihat arah dapur aku berhenti. Tumpukan piring kotor yang menggunung di sana membuat arah jalanku berubah, astaga pantas saja Bunda menyuruhku tinggal, ternyata supaya bisa bersih-bersih.
Meskipun agak kesal tapi dengan melapangkan dada selebar-lebarnya aku tetap mengerjakannya. Kutarik lengan baju panjangku sampai sikut dan mulai menggosokkan spon ke piring.
Ana mulai sekarang kau benar-benar harus kuat, nggak boleh jadi anak manja kayak di rumah Ibu.
Kurang dari sepuluh menit cucian itu sudah rampung aku cuci. Saat selesai menyimpannya di rak piring, sebuah tangan melingkar di pinggangku, aku refleks berbalik cepat.
"Dek ...."
"Mas Herman?"
Loh kok pria ini pulang lagi? Aku segera melepas pelukan tersebut dan berbalik, "Kok pulang, Mas?"
"Soalnya mana bisa Mas jauh-jauh sama kamu lebih lama lagi."
Aku tersenyum malu dengan penuturan suamiku ini. "Si Mas ini bisa aja, Bunda enggak marah emang Mas balik?"
"Kok marah?"
"Iya, Bunda itu suka banget marah sama Ana. Padahal, kan, wajar Ana kadang gak bisa apa-apa, namanya masih penyesuaian."
Mas Herman meraih wajahku, menatapku dengan tatapan intens, "Hey, kata-kata Bunda jangan masukkan ke hati, Bunda emang gitu, kalau ngomong tegas."
"Hmm, iya, aku harap begitu."
Lalau ia mengecup pipi kanan dan kiriku bergantian, aku terkikik. Mas yang sudah cukup dewasa ini ternyata punya sisi romantis yang remaja.
Duh, makin jatuh cinta aku tuh sama dia.
Namun, setelah kecupan itu, dia menyosor bibirku, mode dewasanya kiranya sudah on setelah beberapa menit lalu membuatku bersemu merah muda. Kali ini ia membuatku memerah seperti tomat, ia menyentuh bagian tubuhku yang sensitif.
Bagian depan dadaku dia elus puncaknya dan kemudian ia remas halus. Halus. Halus, sebelum ia menggila dan meremasnya bringas. Membuat aku melenguh dalam lumayan bibirnya.
"Ahhhh..... "Akhirnya bibirku lepas dan bisa menyuarakan rasa nikmat dari permainan tangannya.
Bibirnya kini berpindah ke leherku, mengecup tiap senti kulit sensitif di sana, lalu bibir kenyal itu turun ke dadaku ia menarik leher kaosku, menciuminya dengan penuh gairah.
Bunyi ponsel Mas Herman menggagalkan aksinya lebih lagi. Kami memisahkan diri dan ia segera merogoh ponsel untuk menemukan sang Bunda mertuaku menelepon. Ia segera menekan tombol hijau dan meletakkan di telinganya. Ia mengatur napas yang terengah-engah agar senormal mungkin.
"Ya, Bun?"
Pria itu mengangguk dan mengguman menanggapi ocehan wanita itu, lalu setelah berbicara 'akan segera datang' ia menatapku penuh penyesalan. "Maafkan, Mas. Aku harus segera kembali ke stasiun, mobil Ayah nggak mau hidup."
Aku mengangguk sambil mengusap bibir, duh, setiap kali berciuman pasti bibirku bercelemotan, basah, dan sedikit membengkak akibat isapan pria itu.
"Nanti malam kita lanjut lagi," katanya disertai senyum penuh arti, amu mengangguk.
Hampir saja kami melakukannya di dapur, itu akan menjadi pengalaman gila kalau saja beneran terjadi. Sebenarnya aku tidak marah saat aktivitas kami terhenti, justru bersyukur.
***
Malam cepat sekali hadir, Bunda juga Ayah sudah pulang. Kami baru saja menyelesaikan makan malam. Sekarang aku dan Bunda sedang mencuci piring, karena sudah tahu sifat asli Bunda, setiap kali berada di dekat wanita itu aku merasa was-was. Takut-takut melakukan kesalahan dan kembali di caci maki.
"Kenapa kamu kayak takut gitu sama Bunda?" Ternyata wanita ini menyadari gelagatku. Aku hanya bisa menggeleng sambil tersenyum kikuk.
"Eh, enggak Bunda. Ana cuma kepikiran sesuatu."
Ia mematikan keran dan menghadapku, menunjukkan muka judesnya yang jarang sekali ia keluarkan. "Nggak usah bohong, Bunda nggak suka sama orang tukang bohong."
"Enggak Bunda."
"Sudah-sudah, pergi sana ke kamarmu."
Bunda mengatakannya begitu, tapi malah ia yang melenggang pergi duluan. Aku menghela napas, menjadi menantu emang harus punya kesabaran tinggi, apalagi mertuaku model begini.
Pekerjaan sudah selesai, aku pun menaiki tangga menuju kamarku, aku ingin cepat-cepat tidur karena kurasa hari ini cukup melelahkan.
Sesampainya di kamar, sehabis membuka pintu Mas Herman sudah menunggu, ia duduk di tepi kasur. Begitu melihatku masuk ia berdiri lalu menghampiriku.
Tanpa aba-aba ia menyosor dan melumat bibirku.
Ah, ternyata ia tidak melupakan janjinya untuk melanjutkan tindakan itu. Bahkan kali ini ia bertindak lebih cepat dengan melucuti pakaian ku segera.
Lalu ...
.
.
.
***
Lalu apa hayoo?
Temukan jawabannya di next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top