49| Menuai apa yang ditabur

Last Special Part:

***

Lisa Point Of View (POV)

Sehari sebelum persidangan Anna dan Herman.

***

Aku memutuskan untuk pulang ke rumah, aku takut sewaktu-waktu akan digrebek bila bertahan di kost-an. Tentu saja orang rumah kaget melihat kedatanganku dengan kondisi yang acak-acakan. Baju ku yang biasanya bergaya, kini terlihat as pakai, rambutku yang pendek tidak terurus dan tidak sempat aku sisir.

Mommy bahkan terkejut sekali saat membukakan pintu untukku.

"What the hell? What happened?" Serunya sambil menutup mulut.

Aku menghiraukan wanita itu dan segera masuk, membiarkan dia terheran-heran mengikutiku ke kamar.

"Baby, what happened. Tell to Mom, who makes that to you?"

Sesampainya di kamar aku membalikkan badan, menatap Mommy dengan lemah, haruskah aku ceritakan semuanya? Apakah Mommy bisa menerima kenyataan yang sebenarnya?

"Mom, Lisa sudah melakukan kesalahan besar," akuku pada akhirnya, disertai dengan tangisan yang tidak terbendung. Mommy refleks memeluk tubuhku yang gemetaran dengan erat.

"Enggak apa-apa, sayang. Ceritakan aja semuanya, ini Mommy, Mommy akan selalu ada untukmu apapun yang terjadi."

Mendengarkannya aku makin menangis tersedu-sedu, dadaku sesak sekali, untuk mengakui semuanya begitu sulit. Tapi akan lebih menyakitkan bila nanti Mommy tahu dari orang lain.

"Mom, maafin Lisa... Maafkan Lisa Mommy...."

Aku melepaskan pelukan Mommy dengan perlahan, menundukkan kepala tidak berani bercerita sambil melihat mata Mommy.

"I'm make big mistake, Mom. That's something so wrong. Dan, aku melakukannya sejak tiga tahun yang lalu."

Kini kami duduk di lantai dengan Mommy yang berusaha meyakinkan aku untuk terus bercerita, sejauh ini ia masih seperti Mommy yang selalu ada untuk ku apapun keadaannya.

"Lisa .... Se... sela ... ma ini jual .... diri, Mom. I'm really sorry, Mom...." Lagi-lagi tangisku pecah, ribuan nulis air mata turut terus menerus.

Mommy membatu di tempat, tangannya yang tadi sibuk mengelus pundakku jatuh lemas. Sesuai dugaan, ini akan sangat mengguncang jiwanya.

"All is my wrong, I know that. But, Lisa cuma pengen bantu kalian, Mom and Dad."

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di wajahku, ini di luar ekspektasi. Mommy marah?

Aku memegang pipiku yang panas, tamparan itu juga membuat luka bekas gigitan di wajahku kembali berdarah.

"Bercanda mu enggak lucu, Lisa. Mommy salah dengar, kan?"

Aku menggeleng, dia tidak salah dengar.

"Look at Mom, tell me, is a lie? You lying?"

Mommy menarik daguku sehingga kini kami saling menatap, mata Mommy memerah, antara kemarahan dan kesedihan di saat yang sama.

"Aku jual diri, Mom. Lisa tidur sama om-om biar dapat duit," kataku frontal yang sekali lagi dihadiahi tamparan keras.

"Shit!"

"Bagaimanapun Mommy menolak mendengar. Kenyataannya Lisa memang seperti itu."

"Diam! Mommy enggak pernah ngajarin kami kayak gitu. Ini sama aja kamu lempar Mommy ke kubangan taik, Lisa..... Kamu tega, ya, sama keluarga kamu sendiri."

"Maaf Mom."

"Lalu apalagi lagi masalahnya? Mommy yakin, ada masalah yang lebih besar yang kamu lakukan sampai-sampai kamu akhirnya jujur."

Aku mengangguk lemah, yang satu ini lebih sulit untuk diceritakan. Bisa-bisa bukan cuma ditampar, Mommy juga akan membunuhku saat itu juga begitu kukatakan.

Mommy memang ibu yang tegas dan kejam. Aku memakluminya.

Saat dulu Bunda, ibunya Herman mengancam akan memberitahu Mommy agar aku mau menjahui anaknya. Saat itu memang aku menuruti karena tak ingin orangtuaku sedih tahu apa yang aku kerjakan, apalagi sampai melarang, aku masih butuh duit yang banyak.

Namun, alasan sebenarnya adalah Mommy akan jadi monster yang kejam, siap menghajarku sampai mampus bila tahu.

Mommy menjambakku keras lalu melemparkan ku ke lantai. "Kalau begini ceritanya, ngapain kamu pulang?"

"Lisa takut, Mom. Lisa takut...." kataku lemah, memohon agar Mommy bisa sedikit lembut.

"Meskipun Daddy kamu bangkrut, bukan berarti harga diri kita ikutan jatuh, Lisa. Mommy never teach you for that."

"Sorry, Mom....."

"Jadi lonte saja sudah kesalahan besar, apalagi yang bisa kamu lakukan sampai-sampai ada masalah yang lebih besar?"

"Aku membunuh....."

Mommy terbelalak, ia sampai mundur kebelakang saking tidak percayanya.

"Lisa enggak sengaja, nenek sialan itu yang memulai. Dia gigit wajah Lisa, Lis cuma membalas. Mom... Lisa enggak sengaja, polisi enggak akan menjarain Lisa, kan?" kataku masih sambil menangis.

"Go to hell, bitch!" Mommy menendangku kuat.

"Bikin malu, bikin masalah! Pergi sana, ngapain ke sini anak sialan!"
Mommy mendendangkan ku bertubi-tubi, ia tidak peduli tendangannya mengenai perutku, atau bagian vital lain yang sakitnya luar biasa.

"Kenapa pulang? Kenapa? Kamu mau sembunyi di sini? Atau mau bawa polisi ke sini, biar orang-orang lihat betapa menyedihkan keluarga kita sekarang? Ekonomi jatuh hancur, anak Mommy jadi Lonte, terus ngebunuh orang?"

Mommy menarik yang tadi tidur meringkuk ditendangi, menjadi terduduk.

"Tega sekali kamu sama Mommy ya?"

Bukan. Bukan seperti ini harapanku.

"Lisa cuma mau bantu Mom dan Dad. Lisa mau buat Mommy hidup enak lagi, bantu Daddy biar gak terlalu capek kerja. Apakah ini salah Lisa, Mom?"

Ini terlalu kejam untukku. Mommy seharusnya memelukku bukannya memukuliku bukan?

"Mommy juga menikmati hasil kerja kotor Lisa, sekarang malah menyalahkan Lisa atas semuanya! Kenapa Mom? Malu ya tahu ternyata uang banyak yang selama ini Lisa transfer adalah haram?"

Mommy hendak menamparku lagi, tapi kali ini aku cekatan menahan.

"Secara enggak langsung sebenarnya Mom juga alasan Lisa melakukan ini? Tapi kenapa Mommy seolah cuci tangan sekarang?"

"Cuih," Mommy meludah ke wajahku.

"Kalau aja aku tahu asal uang itu, tak akan ku sentuh sepeserpun," jawabnya telak.

"Lisa sebenarnya beneran anak Mommy, nggak, sih? Kenapa Mommy kejam banget sama Lisa?"

"Anak Mommy enggak akan pernah mau mempermalukan keluarganya, itu berarti kamu bukan anakku sekarang."

Saat hendak membalas ucapan Mommy, grasak-grusuk di luar membuat kami terdiam. Jantungku berdetak tak karuan.

Polisi?

Mommy juga sama paniknya denganku, tapi dalam sekejap ia seperti menemukan ide. Ia beranjak ke luar.

"Ada apa ini?" tanyanya ketika sampai di luar.

Aku yang masih di dalam kamar ketakutan, bingung harus bagaimana. Aku tidak mau dipenjara, hidupku sudah sangat sulit selama ini. Tidak mau semakin menyedihkan. Aku berjalan mendekati jendela, bersiap kabur.

"Dia ada di kamar," jawaban bunda membuat aku meyakinkan diri untuk kabur.

Mommy menyerahkan aku ke polisi supaya tidak ikut terjerat dalam kasus ini. Kejam sekali. Jahat sekali. Kalau kutahu dia akan berbuat begini, sedari dulu tak akan ku transfer uang padanya, biar dia hidup menderita kemiskinan.

Baru saja satu kaki melewati jendela, tangan kokoh menahan ku.

"Jangan bergerak, Anda kami tahan atas tuduhan pembunuhan."

Tamat sudah riwayat ku.

***

Aku diringkus dan dibawa ke kantor polisi. Di sana sudah menunggu keluarga korban, dari wajahnya yang sembab, aku bisa merasakan aura kehilangan yang pekat.

Seorang wanita menghampiriku begitu jarak kami dekat, ia langsung menampar ku bertubi-tubi.

Untung ada polisi yang dengan cekatan memisahkan kami. Tidak bisa kubayangkan kini aku benar-benar babak belur. Sampai sejauh mana hukuman ku, ya, Allah....

"Pelacur! Kenapa kamu tega membunuh Bunda Putri hah?" Kendati ia tak bisa meraihku, ia masih saja menyerang ku dengan kata-katanya.

Memangnya apa yang harus aku katakan?

Apa ia aku ceritakan bahwa nenek sialan itu tiba-tiba datang melabrak lalu kami berkelahi, nenek bau tanah itu menggigit wajahku dan aku mendorongnya hingga tak sengaja membentur kursi besi dan mati begitu saja?

Tentunya dia tidak akan terima cerita seperti itu. Yang ia inginkan adalah cerita menyedihkan Nenek sialan itu yang mati kubunuh karena kejahatan ku. Intinya semua ini salahku saja, Bunda Putri mah cuma korban.

Pihak keluarga Om Herman menuntutku, meminta agar aku dihukum berat, bila perlu dihukum mati.

Aku mendengar semuanya hanya bisa diam. Mommy yang ikut dibawa karena sebagai saksi tak ada mengucapkan pembelaan untukku.

Kini aku pasrah. Hingga aku dibawa ke sel tahanan sementara sampai putusan hakim nanti atas hukumanku.

satu sel, sebelum sampai, aku melewati sel Herman. Pandangan kami bertemu, aku berhenti polisi yang mengawalku ikutan berhenti.

Herman begitu melihatku langsung buang muka, ia kini juga membenciku?

Hebat sekali. Padahal beberapa hari yang lalu ia masih mengaungkan kata cinta yang memabukkan seolah akulah wanita paling berharga di dunia. Kini menatapku saja dia jijik.

Padahal hei? Yang membawaku ke dalam masalah ini siapa? Om-om brengsek itu!

****








*****

Herman Point of View (POV)

*****

Abangku Fauzan datang hari ini. Ini sudah ke tiga kalinya kehadiran pria beranak dua itu kemari. Ia tampaknya sangat peduli padaku. Padahal aku selalu saja mengatakan tidak membutuhkannya, bahkan pertemuan kami di rumahku dulu berakhir buruk dengan aku mengucapkan kata kasar padanya.

Ia dan Mbak Lina memang awalnya menikah karena Mbak Lina hamil. Itu fakta, aku awalnya tidak mempermasalahkan sampai dia ikut campur dalam hidupku. Bersama Bunda ia melarangku untuk menyewa pelacur.

Semenjak lulus kuliah, aku tidak mendapatkan lagi kekasih yang bisa dijadikan pemuas nafsu birahiku dengan cuma-cuma. Para gadis yang kukenal selalu saja mengatakan tentang komitmen, pernikahan dan tetek bengeknya saat kuajak tidur bersama.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk menyewa kupu-kupu malam, yang tidak pernah menyuruhku untuk menikahi mereka.

Bunda hampir tiap hari mengomel, ayah juga kadang kali ikutan bahkan kami pernah sampai berkelahi.

Aku mempunyai kelainan!

Mereka tidak bisa menerima keadaanku. Aku mudah terangsang. Hanya sekadar melihat perempuan saja bisa membuat birahiku naik. Rasanya sakit bila tidak dipuaskan. Tapi mereka tidak peduli.

Aku kesakitan sendiri. Maka aku juga tidak peduli pada mereka, aku lakukan apa yang membuat aku bahagia.

Aku bertemu Lisa. Gadis muda yang dikenalkan temanku, beruntung sekali bisa menemukannya.

Ia sama sepertiku. Mempunyai libido tinggi. Kuat kuajak bermain semalaman. Dia juga satu-satunya gadis yang dengan mudah bisa membuat aku orgasme.

Awalnya aku ingin menikahinya. Tapi orang tuaku dengan keras menolak.

Bunda dan Ayah tidak menerima mantu seorang pelacur. Padahal Lisa satu-satunya gadis yang cocok denganku.

Mas Fauzan dan Mbak Lina ikutan menolak, mereka bilang tidaklah pantas aku menikah dengan pelacur.

Lalu mereka dengan seenaknya memisahkan Lisa dari hidupku. Perempuan itu tiba hilang.

Aku kembali bertengkar dengan keluargaku. Meskipun begitu setahu kemudian, saat Bunda menyuruhku menikah aku mau-mau saja. Apalagi saat tahu perempuan yang dijodohkan seusia dengan Lisa. Aku sedikit senang.

Aku pikir staminanya mungkin sama dengan Lisa.

Sejak aku menikah dengan Anna, hubunganku dengan keluargaku membaik.

Mereka pikir aku jadi normal dan akhirnya meninggalkan kebiasaan buruk.

Anna gadis yang cantik, patuh dan polos. Tubuhnya menggoda, walaupun tidak mahir dalam urusan ranjang tapi ia bisa memuaskan aku. Apalagi ia masih sempit.

Semua berjalan lancar, sampai kusadari Anna tidak bisa memuaskan aku di hari haidnya. Itu tidak terlalu buruk aku bisa mengajari cara lain.

Tapi kedatangan Lisa kembali. Membuat aku gila!

Keluargaku mengetahuinya, mereka mencoba memisahkan kami kembali. Tidak untuk kali ini. Akhirnya malam itu aku mengamuk dan mengatakan hak kasar pada Mas Fauzan.

Hari ini datang dengan baju koko hitam, dan sarungan. Aneh sekali pakaiannya hari ini.

Benakku mulai tidak enak saat melihat wajahnya yang sendu. Apa yang terjadi?

"Mas kenapa?" tanyaku begitu ia sampai.

"Bunda meninggal, Man...." jawaban yang to the point membuat jantungku mencelos seketika.

"Mas jangan bohong."

"Tidaklah lucu berbohong tentang kematian, Herman."

"Innalilahi, ya, Allah. Mas...."

Aku menangis seketika dan berteriak meminta dilepaskan. Aku ingin bertemu Bunda untuk yang terakhir.

Bunda memang resek, tapi aku tidak pernah sanggup kehilangan wanita itu. Sosok ibu yang selalu mencurahkan seluruh kasihnya padaku.

Allah, kenapa Engkau mengambilnya dariku, saat kondisi ku seperti ini.

Aku tidak bisa menemui Bunda untuk yang terakhir kali, bahkan aku tidak bisa ikut ke pemakaman.

Sungguh ironi, apalagi saat tahu penyebab kematian nya.

Lisa.

Lisa membunuh Bunda. Langit serasa runtuh menghantamkan diriku dengan keras. Mengapa dia melakukannya?

Apakah karena Bunda melarang kami lagi? Lalu wanita itu marah dan membunuh Bunda?

Bangsat! Sekali pelacur tetaplah pelacur. Manusia kotor.






*****

Di hari persidangan

*****

Hakim ketuk palu dengan putusan yang berisi hasil akhir bahwa aku didakwa bersalah atas kekerasan rumah tangga. Tiga tahun penjara katanya.

Aku tidak bisa melawan lagi.

Kesialan datang bertubi-tubi.

Kulihat Anna di sana tampak bahagia dengan keputusan hakim, mereka menang.

Anjing! Perempuan tidak tahu diri itu bahagia telah membuat suaminya masuk penjara. Kurang ajar, seharusnya kubunuh saja sekalian dia hari itu.

Polisi kembali membawaku. Hanya Mas Fauzan yang mau bertemu denganku untuk terakhir kalinya, Ayah sendiri tidak Sudi.

Benar-benar menyedihkan kondisiku saat ini.

"Semoga tiga tahun di penjara membuat kamu tobat, Man. Kamu sekarang harusnya belajar dari kesalahan. Bila ada kesempatan minta maaf lah pada Anna."

Aku diam saja. Tidak sudi melakukan apa yang ia katakan. Mungkin saat masa tahananku nanti berakhir aku akan membalas dendam pada perempuan kurang ajar tidak tahu diri itu.

"Semangat, hanya tiga tahun saja Herman. Ini sebenarnya tidak setimpal dengan perbuatan mu. Tapi mungkin ini atas kebaikan Allah."

"Sudahlah Mas. Kalau tidak bisa memberikan semangat jangan bicara."

Saat keluar ruangan sidang, aku menemukan Lisa juga baru saja keluar dari ruangan yang lainnya. Matanya penuh air mata.

Hari ini juga bertepatan dia disidang atas kasus pembunuhan. Mas Fauzan bilang jadwalnya bentrok, entah siapa yang buat jadwal jelek ini. Tapi untungnya Mas Fauzan dapat menyewa dia pengacara sehingga bisa dilakukan bersama.

Kami bertemu ia menatapku marah. Begitupun aku. Aku jijik sekarang dengannya. Ia membunuh Bunda. Untung saja ia dapat hukuman setimpal. Sepuluh tahun penjara. Aku senang sekali.

"Ini semua karena kau, Om-om babi!!!" Teriaknya padaku. Ia bergerak gelisah di kungkungan polwan yang menahannya.

Kelihatan sekali ingin menerjangku.

"Rasakan itu lonte pembunuh!" balasku.

Dia makin berapi, ia bisa lepas dari tangn polwan, berlari menuju diriku dan seketika tanpa aba-aba menendang selangkangan ku dengan kuat.

Sakit.

Tuhan. Ini sakit sekali. Rasanya seperti ia mematahkan junior kesayangan mu. Aku jatuh duduk lemas. Perlahan kesadaran ku hilang.

****

WKWKWK, anjay. Lisa nendang burung Herman dong.

Bagaimana bab ini? Panjang nih. Semoga terhibur.

Bab ini menunjukkan sisi lain dari cerita yang pembaca mungkin penasaran.

Jangan lupa pencet bintang dan tinggalkan komentar yaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top