48| Pilihan Hidup
Dalam kondisi seperti ini, alangkah lebih baiknya adalah aku memiliki waktu cukup untuk istirahat, karena sudah pasti besok adalah hari yang melelahkan. Tetapi meskipun sudah aku pejamkan mata berjam-jam, kesadaranku masih kuat, kiranya kantuk tidak mau menghampiri.
Semua karena ucapan Mbak Lina yang menghantui. Memiliki perasaan 'tidak enakan' memanglah tidak enak.
Aku benci Mas Herman. Itu sudah pasti. Namun, satu sisi, kisah hidup pria itu juga menyedihkan sekarang. Meskipun hubunganku dengan Bunda tidak sebaik, mantu-mertua pada umumnya, tetapi aku bisa merasakan bahwa ikatan anak-ibu diantara Mas Herman dan Bunda sangatlah erat.
Bisa kurasakan kesedihan Mas Herman saat ini.
Namun, aku juga ingin dia dihukum sepantasnya. Dia telah menggoreskan banyak luka di tubuh dan di hidupku, aku ingin dia merasakan akibat dari perbuatannya.
Begitu dilema, jam dinding telur berputar tidak terasa sudah subuh. Ibu yang sejak hari pertama aku dirawat di rumah sakit selalu menginap dan tidur di sofa, terbangun. Ia melihatku, aku lekas menutup mata, pura-pura masih tidur.
Ibu mau sholat subuh, beliau jemaat sholeh yang tidak pernah melupakan kewajiban. Aku selalu takjub pada Ibu. Bagaimana pun kondisinya selalu melaksanakan shalat.
Aku pikir ia akan melakukannya sendiri sebagai seperti biasanya, tetapi kali ini ia membangunkan aku.
Tumben, biasanya ia tidak pernah memaksa, apalagi mengingat kondisi ku yang sedang tidak memungkinkan.
"Nak, bangun..."
"Hari ini, adalah hari di mana kamu akan membuat sebuah keputusan besar. Ibu tahu kamu banyak pikiran. Allah dapat menolongmu, minta bantuan padaNya maka Ia akan berikan kamu petunjuk dan jawaban yang kamu inginkan."
Perlahan aku membuka mata, Ibu ternya tahu aku tidak bisa tidur. Insting seorang ibu memanglah sekuat itu.
Aku masih kesusahan untuk berdiri, jadi aku melaksanakan sholat dengan duduk saja. Ibu bilang jangan memaksakan diri bila belum kuat berdiri.
Selesai wuduh atas bantuan Ibu, kami pun melaksanakan sholat bersama. Kali ini Ayah tidak bisa mengimami kami karena beliau tidak datang hari ini, ia di rumah kemarin ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi ia berjanji akan datang menemaniku di persidangan nanti.
Pada raka'at kedua, saat I'tidal, aku membacakan doa qunut.
"Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah aku kesehatan seperti orang yang telah Engkau beri kesehatan. Pimpinlah aku bersama-sama orang-orang yang telah Engkau pimpin. Berilah berkah pada segala apa yang telah Engkau pimpin.
Berilah berkah pada segala apa yang telah Engkau berikan kepadaku. Dan peliharalah aku dari kejahatan yang Engkau pastikan. Karena sesungguhnya Engkau-lah yang menentukan dan tidak ada yang menghukum (menentukan) atas Engkau. Sesungguhnya tidaklah akan hina orang-orang yang telah Engkau beri kekuasaan.
Dan tidaklah akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Berkahlah Engkau dan Maha Luhurlah Engkau. Segala puji bagi-Mu atas yang telah Engkau pastikan. Aku mohon ampun dan tobat kepada Engkau. Semoga Allah memberi rahmat dan salam atas junjungan kami Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarganya dan sahabatnya."
"Allahu Akbar..."
Dalam sujudku aku sungguh-sungguh merasakan dadaku sesak. Kali ini, dalam hidupku akan kulakukan sebuah keputusan besar.
Ya, Allah. Berkatilah hambamu ini memilih pilihan yang tepat.
Bersyukur aku memiliki Ibu, berkat ajakan nya yang kukuh supaya aku sholat. Kini jiwaku sedikit lebih tenang, aku juga sudah punya jawaban atas dilema ini.
***
Sebenarnya, jika dipaksakan aku bisa jalan walaupun masih terseok-seok. Ibu bilang pakai kursi roda saja, aku patuh.
Kami tiba di pengadilan tiga puluh menit lebih awal dari jadwal. Kondisi ruangan yang akan menjadi saksi bisu persidangan nanti masih sepi. Aku melihat Pak Mansur pengacaraku sudah rapi dengan setelan toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam, menutupi setelan dalaman jas hitam dengan kemeja putih dan dasi berwarna senada dengan jas.
Wajahnya ceria menatapku, terbaca dengan jelas itu karena keyakinannya akan memenangkan persidangan kali ini.
"Mbak percaya saja, ini akan berjalan dengan lancar. Jangan pernah sekali-kali ragu. Cukup jawab dengan kenyataan yang sebenar-benarnya bula ditanya," katanya mengucapkan kalimat itu lagi.
Aku kali ini mengiyakan dengan mantap, melihatku yang sudah bersemangat Ibu tersenyum senang.
Ayah dan kedua adikku datang beberapa menit kemudian. Tidak ada alasan lagi untuk gentar, banyak yang mendukung, bisikku pada diri sendiri.
Kemudian pihak yang dituntut datang, Mbak Lina, Mas Fauzan, Ayah mertuaku. Aku akhirnya melihat mereka lagi, deg-degan rasanya.
Saat mataku bertemu pandang dengan ayah mertua, hatiku sedikit goyah melihat kesedihan yang tercetak jelas di sana. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.
Kuat Anna, jangan goyah!
Acara dimulai saat Hakim datang, Mas Herman dibawa masuk kedalam ruangan, dua polisi mengawalnya, ia masih mengenakan baju tahanan orange, dua tangannya diborgol, sampai pada kursinya barulah dilepas.
Tanganku gemetar, bunda yang berada disampingku buru-buru menggenggam nya, "Kamu kuat, Nak."
Pak Mansur sangat cakap dalam menjalankan persidangan, ia berbicara dengan lugas, membela dengan tegas dan menjawab setiap pertanyaan baik dari pengacara dan pak Hakim dengan bijak.
Bersyukur sekali beliaulah pengacaraku.
Saat tiba giliran aku yang ditanya, dia memandangku seperti bapak yang percaya pada anaknya, percaya aku tidak akan berbuat salah. Alhasil aku jadi percaya diri.
Hasil akhirnya, pada kasus perbuatan kekerasan fisik terhadap isteri yang menyebabkan saksi korban menderita kesakitan, karena pelipis, mata, bibir, bagian vital luka dan pinggul sebelah kiri bengkak kebiruan, oleh Jaksa Penuntut Umum terdakwa didakwa melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.23 tahun 2004, dan menuntut hukuman 2 (dua) tahun penjara. Putusan Pengadilan Negeri menjatuhkan pidana dua tahun penjara kepada terdakwa karena terbukti melakukan ”tindak pidana penganiayaan”. Putusan tersebut diputuskan oleh Pengadilan Tinggi, dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ”perbuatan dengan kekerasan terhadap keluarganya”, dan oleh karena itu menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan. Hukuman tersebut diperberat oleh Pengadilan Tinggi, dengan pertimbangan bahwa penjatuhan pidana terhadap terdakwa dirasa terlalu ringan dan tidak setimpal dengan perbuatannya. Selain itu terdakwa terlalu merendahkan martabat perempuan, yang seharusnya sebagai suami dapat menjaga dan mengangkat derajat dan martabat seorang perempuan selaku isterinya. Mahkamah Agung membuat putusan Pengadilan Tinggi dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri, sehingga terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun.
Aku mengembuskan napas lega, bersama keluarga ku yang tersenyum penuh kebahagiaan.
Ibu menangis melihatku akhirnya mendapatkan keadilan, begitupun diriku. Aku tidak kuasa menahan haru bisa melewati ini dengan sukses.
Kupikir aku akan goyah, ternyata Allah sungguh menguatkan hatiku. Meskipun berkali-kali aku bisa merasakan tatapan Mbak Lina yang marah dan terlihat kesal akan keputusan ini, aku tetap teguh.
"Selamat, Nak! Selamat!" seru Ayah memelukku, disusul Ibu dan Adik-adik ku.
Suasana haru dan bahagia tumpah ruah, berbanding terbalik dengan pihak yang kalah.
Dalam dekapan Ayah, aku melihat ayah mertuaku mengusap air matanya, beliau pasti sedih setelah kehilangan istrinya, kini ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, anaknya dijebloskan ke penjara.
Aku ingin ke sana, meminta maaf atas apa yang terjadi, lalu ingin mengucapkan ucapan pengenyemangat, bagaimana yang terjadi hubungan tidak boleh putus begitu saja bukan?
"Bagus, Mbak. Kita menang." Pak Mansur menghampiri kami.
"Tinggal sidang perceraian kalian, itu hal mudah sekali, mengingat sidang kali ini lancar."
Ya, benar. Setelah semuanya. Aku memutuskan untuk mengakhiri rumah tangga ku dengan Mas Herman. Sungguh aku tak bisa melanjutkan ini.
Perceraian bukanlah keinginan, tetapi pilihan yang harus aku ambil atas apa yang terjadi.
"Selamat atas kemenangannya," Mbak Lina secara tiba-tiba datang menghampiri. Wajahnya memerah marah. "Puas sekali pastinya sudah menghancurkan keluarga kami, ya?" katanya penuh tuduhan.
"Dengan menghancurkan keluarga Herman, membuat kami semua kehilangan, kamu pasti bahagia, kan?"
Aku menggeleng, tidak pernah ada niatku begitu. "Mbak Lina...."
"Herman udah dipenjara, kehilangan Bunda, kehilangan pekerjaan, semua kamu renggut dari dia. Pasti kamu udah puas, kan?"
Bila saja hanya ada kami berdua di sini, pasti Mbak Lina sudah menjambak-jambak aku, terliht dari ekspresi nya saat ini.
"Semoga Allah membalas semua perbuatan kamu, Anna. Semoga kamu dapat Karma!!!"
"Lina, sudah-sudah. Ayo kita pulang saja," suaminya Mas Fauzan menghentikan istrinya.
"Dasar perempuan sialan!" umpatnya terakhir kali sebelum diseret suaminya keluar.
Mengetahui aku yang gusar, Ibu lagi-lagi memeluk menyemangati, mengatakan berulang-ulang aku tidak salah.
Ya, Allah. Semoga pilihan ini tidak pernah aku sesalkan di kemudian hari.
****
Bab ini cukup berat dan membosankan, semoga kalian gak ngantuk bacanya 😅
Nextnya bab-nya bakalan aku upload segera hari ini. So, don't forget to vote and comment guys.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top