47| Berita Duka
Tubuhku sudah mendingan, beberapa rasa sakit sudah hilang. Semua berkat kerja keras Ibu yang terus-terusan menyemangati aku. Sudah dua Minggu sejak kejadian, aku perlahan mencoba bangkit. Kata ayah, persidangan Mas Herman akan dilangsungkan besok.
Aku sebagai korban akan turut hadir. Sebenarnya, seharusnya jadwal persidangan itu dua hari yang lalu, tetapi batal karena kondisi tubuhku belum pulih, mentalku juga belum baik.
Jujur sekarang aku takut menatap orang-orang, aku selalu menunduk bila bertemu dengan orang lain. Rasanya begitu malu, apalagi orang itu tahu apa yang terjadi padaku, aku tidak suka ditatap menyedihkan.
Sebenarnya juga, aku tidak mau mengikuti persidangan ini. Mengikuti persidangan berarti akan bertemu dengan Mas Herman, aku belum siap. Tubuhku selalu merinding membayangkan akan bersitatap dengan Mas Herman lagi.
Bayangan malam itu akan muncul kembali, tubuhku seketika berkeringat dan rasanya gelap, sesak, ketakutan.
Aku trauma. Meskipun sudah berkonsultasi dengan psikologi, melakukan beberapa terapi, psikis ku belum kuat.
Namun, saat Ayah menanyakan kembali apakah aku siap ikut persidangan, aku jawab siap. Kuingat Ibu mengatakan telah menyewa seorang pengacara yang membantu kami mendapatkan keadilan, pasti mereka menginginkan aku kuat melawan Herman.
Maka aku kuatkan diri, melawan rasa takut itu, orangtuaku sudah melakukan banyak untukku, aku tidak mau membebani mereka lebih dari ini.
"Kamu tidak perlu takut, kamu sudah memegang tujuh puluh persen kemenangan, bukti yang kita punya kuat. Kita bahkan bisa tuntut dia pakai hukuman yang paling berat," ujar pria bergaya klimis dengan kacamata petak menghiasi wajahnya.
Dia Pak Mansur, pengacaraku, hari ini datang untuk melakukan diskusi dan mewawancaraiku. Ia sudah sepuluh kali mengatakan kalimat tadi sejak kedatangannya.
Mungkin ekspresi ragu-ragu di wajahku terlalu mengusiknya, ia terus mencoba meyakinkan aku.
"Bahkan jika kita hanya punya bukti visum saja, kita sudah bisa menang! Jadi Mbak jangan takut, kita sekarang bahkan punya bukti CCTV dan saksi mata. Mbak hanya perlu datang ke sana, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, menjawab apapun yang ditanyakan hakim."
Ibu yang sedari tadi menemaniku, ia berdiri di sampingku, memeluk pindaku, menguatkan aku di setiap detiknya.
"Kita udah pasti menang, Nak."
Aku mengangguk, sebagai jawaban untuk mereka bahwasanya aku sekarang juga siap menghadapinya.
"Bagus. Besok saya akan ke sini terlebih dahulu, kita pergi bersama ke pengadilan. Kita akan lalui ini bersama."
Itu kata-kata terakhir Pak Mansur sebelum pergi.
"Semangat, Nak. Kita pasti mendapatkan keadilan! Kamu jangan takut, ada ibu ayah, adik-adik kamu, yang selalu berada di sampingmu untuk mendukung kamu."
Aku lagi-lagi hanya menjawab dengan anggukan. Aku kuat aku bisa, aku bisikkan itu untuk diriku.
Ibu izin keluar karena ada telepon, aku kembali merebahkan diri di tempat tidurku, pinggangku terlalu pegal duduk selama berbincang dengan pengacara tadi.
Namun, aku kembali bangkit dengan cepat saat seseorang masuk ke kamarku dan menutup pintu.
Jantungku berdebar kencang, kenapa dia datang?
"Mbak mau bicara sama kamu."
Mbak Lina.
Ya, Tuhan. Aku tidak siap, apakah aku harus teriak untuk memanggil Ibu? Atau suster atau siapa saja yang bisa membantuku sekarang.
"Mbak enggak akan ngapa-ngapain kamu, cukup dengarkan Mbak. Sebentar saja. Hanya kali ini Mbak ada kesempatan ketemu kamu, setiap hari ibu kamu selalu mengusir Mbak."
Aku pun akhirnya pasrah saat itu berkata begitu, meskipun ketakutan, aku juga penasaran mengapa ia sangat ingin bertemu denganku.
Dia mengambil tempat duduk di sisiku, matanya memindai keadaanku, "Mbak turut prihatin atas apa yang kamu alami," katanya memulai dengan basa-basi.
Semu itu bohong, ia tidak pernah peduli dengan keadaanku. Jika memang ia kasihan, aku tidak mungkin mengalami ini, karena tentu Mbak Lina tahu watak Herman, ia seharusnya melindungi ku dari monster kejam, Herman.
"Kamu pasti marah sekali dengan kami, Mbak tahu. Tapi dengarkan Mbak dulu.... Sekiranya ini bisa membuat kamu mempertimbangkan keputusan untuk besok."
Ah, dia ingin menghasut aku untuk tidak menuntut adik iparnya?
Maksudnya aku akan memaafkan Herman, dan Herman tidak jadi masuk penjara?
Cih, tidak!
"Saya akan tetap memasukkan si brengsek itu ke penjara! Aku mau dia membusuk di sana! Aku mau dia dapat hukuman seberat-beratnya!" Bentakku sebagai awal penolakan.
Mbak Lina menggeram kesal, mukanya yang semula tampak bersahabat kini cemberut, kerutan di keningnya tampak jelas menjelaskan suasana hatinya kini.
"Dengarkan dulu Mbak bicara, Anna...." katanya berusaha menjaga intonasi agar tidak meninggi.
"Mbak tahu kamu benci Herman, kamu ingin dia dihukum setimpal sama apa yang kamu rasakan. Tapi kamu perlu tahu satu, hal."
Aku ingin membalas ucapannya bahwa tidak ada yang bisa menggoyahkan pendirian ku sekarang, aku ingin mengusir dia dari ruangan ini. Tapi, tak jadi kulakukan saat ia lebih dulu berbicara, mengatakan satu kalimat yang membuat tubuhku menegang.
"Bunda udah meninggal."
Deg.
Apa?!
"Astaghfirullah, Innalilahi....
Mbak Lina jangan bercanda."
Sungguh, kepala ku seakan dihantam palu sekarang.
Kenapa tidak ada yang memberitahukan ini padaku sebelumnya.
"Empat hari yang lalu." Mbak Lina mengembuskan napas panjang, terlihat berat sekali rasanya untuk melanjutkan perkataan.
"Kamu tahu, kan, kalau bagi Herman, Bunda sangat berharga. Dia sekarang sedang terpuruk. Ditambah besok dia kan melakukan persidangan yang seratus persen akan kalah. Dia akan sangat hancur bila harus masuk penjara.
"Anna ... Mbak minta maaf kalau selama ini banyak salah sama kamu. Tapi untuk kali ini, berilah Herman belas kasihan, dia sedang hancur sekarang, janganlah kau buat dia semakin terpuruk..."
Ini terlalu sesak untukku, perlahan satu bulir air mata jatuh dari pelupuk mata, yang perlahan menjadi aliran turun membasahi pipiku.
"Kehilangan bunda saja sudah jadi hukuman besar bagi Herman, apa kamu masih tega menambahnya?"
Aku menggeleng, antara tidak tega, juga menggeleng untuk menentang perkataan Mbak Lina. Jika aku memaafkan Herman, semua perjuangan ini akan sia-sia.
Namun, jika aku teruskan. Benar kata Mbak Lina, Herman sudah cukup terpuruk dengan kepergian Bunda. Kehilangan ibu adalah hal paling mengerikan untuk seorang anak.
Pintu dibuka, Ibu masuk tampak terkejut melihat Mbak Lina dan seketika gelisah melihat aku menangis.
"Beraninya kamu masuk! Saya kan sudah bilang jangan temui Anna!" seru bunda lalu menarik Mbak Lina keluar.
Kepergian wanita itu membuat aku kini sedikit bernafas lega. Keberadaan nya di sekitarku terlalu mengintimidasi, aku serasa sesak.
Ibu hadir lagi, mengecek keadaanku.
"Maafkan Ibu, Nak. Ibu kelamaan datang menjagamu," katanya memelukku dan menenangkan diriku.
"Jangan dengarkan dia, kamu jangan sampai terhasut olehnya."
"Bu.... Apa benar katanya Bunda Putri meninggal?" kutanya begitu untuk memastikan bahwa apa yang aku dengar bukanlah bualan semata. Meskipun mana ada orang yang mau berbohong tentang kematian.
"Maafkan Ibu, Anna. Bukan mau menutupi ini darimu, Ibu hanya tak ingin kamu jadi lemah karena hal tersebut."
"Ibu...."
"Enggak Nak, jangan cabut tuntutan itu. Herman harus mendapatkan sanksi atas perbuatannya! Apapun kondisinya, itu semua karma atas perlakuannya selama ini."
***
Jangan lupa vote dan komen!
:))))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top