46| Bukan salahku
A/N
Chapter ini bakalan pakai POV Lisa lagi, soale kalau pakai sudut pandang Anna gak bakalan nyampe alur ceritanya. Kan, si Anna tuh lagi di rumah sakit, ruang lingkupnya jadi sempit.
Ini salah aku, sih, sok-sokan pakai POV 1 (Anna) jadi pas kondisi begini sulit menjelaskan situasi nya.🤧
Mohon jgn beranggapan bahwa tokoh utamanya jadi berubah ya! Pengalaman di bab sebelumnya padahal baru beberapa kali pakai, beberapa pembaca udah nanya tokoh utama ganti Lisa apa bukan.
Enggak guys, tokoh utamanya tetep si mbak mlehai mlohoi: Anna.
Hope you enjoy this chapter my best readers 😘😘😘
****
Special Part : Lisa's POV
****
Aku datang lebih awal, sekitar satu dari jadwal buka seharusnya. Cafe masih sangat sepi, tetapi untungnya pemiliknya tidak pernah membatasi jam berapa pegawai dapat hadir. Aku masih ke ruang ganti yang masih gelap, meraba dinding sebentar untuk menemukan sakelar lampu.
Sangat sepi. Alasan aku ke sini adalah rasa tidak enak yang semalaman ini mengganggu.
Aku tidak tenang berdiam diri di kost. Kuliahku juga jadi berantakan, aku tidak fokus memperhatikan dosen menerangkan, tidak bisa tidur, hidupku rasanya seperti tidak beraturan lagi.
Semua semenjak kedatangan Andre hari itu. Kedatangan yang membawa fakta bahwa Om Herman telah melakukan tindak kekerasan rumah tangga terhadap istrinya, Anna.
Dari segala masalah yang pernah aku hadapi selama menjadi seorang perempuan penghangat ranjang, ini adalah masalah paling pelik.
Hari itu aku sangat khawatir terjadi apa-apa pada Herman, Andre saat itu tengah diliputi amarah, ia terus menerjang Om Herman. Jadi aku berteriak meminta pertolongan.
Tidak kusangka, hal tersebut malah membawa mereka berakhir di kantor polisi. Keadaan semakin rumit, saat aku tahu ternyata om Herman sudah punya laporan tindak kejahatan sebelum. Ya, Om-om itu sudah dilaporkan atas tindakan KDRT tersebut. Tentu ini bagaikan menyerah diri sendiri ke penjara.
Aku sangat merasa bersalah, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Selepas Herman ditahan, sebelum nantinya menghadapi persidangan atas kasusnya, aku tidak pernah lagi mengunjungi nya.
Aku takut aku jadi ikut terbawa.
Hell! Bukannya aku cuci tangan, tapi aku juga harus memikirkan diriku sendiri bukan? Hidupku sendiri sudah cukup susah, aku tidak mau terbawa-bawa dalam masalah ini.
Lagipula, aku tidak ada sangkut pautnya. Aku hanya kebetulan punya hubungan dengan Herman. Demi Allah, Herman sendiri yang menganiaya Anna, aku tidak pernah mengasutnya jangan bawa-bawa aku!
Meskipun begitu, ketakutan masih mengerubungi kepalaku. Bagaikan dikejar bayangan, kemanapun aku melangkah, kemanapun aku lari, permasalahan ini seakan mengikuti.
Aku tidak napsu makan, aku takut menatap orang-orang. Aku takut tiba-tiba datang polisi menangkap ku.
Sialan!
Sejak awal seharusnya aku tidak berhubungan lagi dengan pria tua itu!
Shit!
Shit!
Fu*k!
Kenikmatan yang aku rasakan hanya sementara sebelum masalah yang jauh lebih besar menerpa.
Getaran di saku celanaku, membuat aku sadar sudah tiga puluh menit terduduk di lantai dan melamun.
Mommy
Ibuku menelepon. Astaga, di saat seperti ini? Aku tidak dalam kondisi siap berbicara dengan dirinya.
Namun, karena sudah berkali-kali ditelepon akhirnya aku terima juga telepon tersebut.
"Hallo, Mom?"
"Lis, bagaimana kabar kamu?" tanya wanita itu dari seberang sana. Mendadak aku jadi melow, kabarku sekarang buruk, Mom!
Aku ingin jujur dengan kondisiku sekarang, tetapi aku urungkan. Tidak tega aku membebani Mommy.
"I'm fine, Mom. How about mommy and daddy?" Aku mengigit bibir setelah mengucapkannya.
"Boleh Mommy jujur sama kamu? Honestly, keadaan sedang sulit, sayang. Mom butuh duit, kemarin debt colector datang nagih utang."
Sialan, apa masalah memang suka datang keroyokan begini?
Kenapa sekarang, sih, Tuhan?
Jika benar kau ada, maha penyayang kata orang-orang, kenapa harus sekarang? Saat keadaan seperti ini?!
"Mommy butuh berapa?" aku masih ada simpanan hasil kiriman dari Om Herman, tak banyak, tapi mengingat catatan hutang yang tinggal sedikit, kurasa cukup.
"Dua puluh juta, nak."
"ALLAHUAKBAR, MOM?" Mulutku refleks menganga dengan mata melotot.
Seingatku, utang kami kurang dari sepuluh juta lagi. Kenapa jadi bertambah? Kalau dengan bunga-bunga nya, tidak akan sampai bertambah seratus persen seperti saat ini.
"Akhir-akhir panas, sayang. Mom pasang AC di rumah. Tenang aja di kamar kamu juga. Lalu Mom beli mesin cuci, sama merenovasi dapur sedikit. Ini juga demi kebaikan kita. Mama kangen rumah mewah kita nak."
Aku memijat pelipis, sungguh tidak kusangka, di saat aku susah payah mengumpulkan satu rupiah demi satu rupiah untuk bertahan hidup. Mommy sungguh....
Ah, sudahlah, sudah terlanjur.
"Kamu ada uang, kan, nak?"
Belum sempat kujawab, sebuah teriak dari luar mengagetkan aku.
"JALANG KELUAR KAU!"
Djancok, ada apa lagi sih?
Apa kali ini istri dari salah satu pelanggan ku datang lagi?
Kenapa dengan wanita-wanita itu? Selalu saja menyalahkan aku, padahal itu kesalahan mereka. Siapa suruh tidak bisa memuaskan birahi suaminya.
Ingin kuabaikan, tapi aku tidak mau masalah ini berlarut hingga jadwal cafe buka. Jadi aku tutup telepon dengan memberitahu Mommy aku ada urusan sebentar.
Sampai di depan, kejutan baru lagi!
Itu Bundanya Om Herman.
"JALANG KURANG AJAR! DI SINI TERNYATA KAU BERSEMBUNYI!" Teriaknya, padahal jarak kami dekat, tanpa teriak aku juga bisa mendengar semua makian yang keluar dari mulutnya.
"Biasa aja dong bicara, nenek-nenek," ketusku.
Semalam aku sudah memutuskan untuk melepaskan Herman, bodoh amatlah dia husband material banget dengan kekayaan yang banyak, tubuh yang sexy, aku tidak peduli lagi, aku tidak mau terbawa masalah yang ia buat. Jadi, aku bebas menghadapi nenek-nenek ini tanpa perlu repot-repot menghormatinya.
"Lonte sialan, mulut kau sama kotornya dengan dirimu!"
Aku tersenyum sinis, meremehkan, "Kotor-kotor gini, anak lo juga demen, malah ketagihan. Apa perlu sekalian suami lo gue service, kan udah lama tuh gak ngerasain nikmatnya bercinta, istrinya udah peyot soalnya," kataku semangat, tidak takut sama sekali menghadapi manusia satu ini.
Jika dulu aku takut akan ancamannya, kini tidak. Aku siap bila orang tuaku tahu pekerjaan berdosa yang aku lakukan. Mereka bisa apa? Selama ini juga bergantung padaku.
"BABI SIALAN, ANJINGGG. NGOMONG APA KAU BARUSAN?"
"Bising amat, nek. Udah gue bilangin juga gue denger meskipun Lo bisik-bisik, gue belum budek macem lo--- Akhhh..."
Nenek ini menamparku dengan keras, aku sedikit terpelanting tapi tidak jatuh.
"Berani kau ngomong lagi aku habisi kau di sini," tubuh gendutnya terengah-engah, matanya merah menatapku tajam.
"Gara-gara kau Herman dapat masalah. Aku sudah bilang jauhi anakku. Kenapa kau malah terus-terusan menyodorkan kemaluanmu yang bau itu pada anakku?"
Aku kehabisan kata-kata mendengar penuturan nenek bau tanah ini. Anjinglah. Anaknya yang horny-an, masih aja dibela.
"Banyak hidung belang di sana yang bisa kau sodori tubuhmu, kenapa harus anakku hah? Dia sudah beristri kenapa kau rusak hidupnya?"
Lawak bener kalau bicara, memegangi pipiku yang panas, aku kembali menatap muka keriput menjijikkan itu.
"Sadarlah nek. Kemaluan anak lo yang kegatalan padahal udah punya istri, dia yang mohon sama gue untuk dipuaskan, dia yang bahkan berani menawarkan harga tinggi untuk sekali aja gue puaskan. Sadar Nek, anak lo yang sange--AWW," Sekali lagi Nenek itu menampar wajahnya.
Kini emosiku tersulut. Sialan sekali, apa dia pikir aku akan diam saja atas perlakuannya. Akhirnya aku menjambak rambut yang sudah memutih itu. "Lo yang nggak bisa mendidik anak dan kemaluan anak Lo dengan baik, gak usah menyalahkan orang lain BRENGSEK, anjinggggh."
Meskipun tua dan bau tanah tampaknya, kekuatan ibu kandung mas Herman ini cukup besar. Pantas saja stamina Herman tinggi, ternyata nurun dari beliau.
Dia ikutan menjambak rambutku, dia sedikit jinjing karena tinggiku yang tak sebanding dengannya, juga rambutku yang sudah aku potong pendek.
"Pelacur, lonte biadab, jangan banyak bicara kau, ya. Ini semua gara-gara kauuuu!"
"Buka mata lo nenek sialan! Udah katarak ya gak sadar anak Lo yang bangke?!!!"
Tampaknya nenek ini semakin emosi dengan perkataan ku, ia dengan tiba-tiba menggigit pipiku kuat.
Sakit sekali. Aku tidak menduga hal ini, juga tidak habis pikir bagaimana ia punya ide untuk menggigit pipiku?
Pipi? Wajah? Sialan ini aset ku.
Sakit sekali pula, aku bisa merasa dia menggigit nya sampai luka.
Tidak, ini tidak boleh terjadi!
Aku segera mendorong wajahnya menjauh dengan kuat sampai wanita itu melepaskan gigitannya.
Aku menyentuh wajahnya yang nyut-nyutan, melihat di hatiku ada rah bekas aku menyentuh pipi yang ia gigit.
"NENEK SIALAN!" Rasa begitu marah sekali. Kesalll, ini salah satu bagian paling berharga di hidupku. Ia merusaknya!
Dadaku bergejolak, aku menerjang nenek itu dengan keras, mendorong tubuhnya hingga ambruk dan menabrak sebuah kursi besi.
"Berani-beraninya ya Lo!!!!" Kataku meneriakkan tubuh yang terjatuh itu.
Aku tunggu beberapa menit, nenek itu tidak bergerak atau membalas perkatanku. Itu membuat aku tertegun dan panik.
Pelan-pelan aku mendekatinya, melihat ada rembesan darah keluar dari kepalanya. Kututup mulutku menahan diri untuk tidak teriak saking terkejutnya.
Apa yang telah aku lakukan?
Dia mati? Tidak-tidak, bukan, tolong jangan sampai.
Aku pun memberanikan diri untuk mengecek nadi ditangannya yang sudah terkulai lemas. Karena gemetaran aku kesulitan mengecek, tidak ada detakan, semakin memperburuk keadaan ku.
Saat kulihat pegawai lain ada yang sudah datang dari kejauhan, aku gelisah.
Apa yang harus aku lakukan? Membawa nenek ini ke rumah sakit? Dan akhirnya jadi tersangka?
Tidak aku harus kabur.
Meninggalkan tubuh tua itu, aku segera kabur lewat pintu belakang.
****
Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar yak!
Duh, Lis. Kamu sih dorongnya kekencangan 🤧
Sampai jumpa next chapter.
Salam sayang
Cangtip1
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top