43• Bunda
Special chapter: Bunda Putri Poin Of View (POV)
****
Aku hampir saja serangan jantung untuk kedua kalinya saat suamiku mengatakan kabar buruk itu. Pria tua yang telah menemaniku hampir setengah abad itu juga sama syok nya denganku.
Tidak pikir panjang lagi, kami berdua segera pergi ke rumah sakit. Hanya beda satu lantai dari tempatku dirawat, kami dengan mudah menemukan kamar pertama di lorong tersebut.
Di kursi tunggu di depan kamar, aku melihat sosok wanita yang menjadi besanku selama tujuh bulan ini menangis tersedu-sedu.
Di sampingnya, suaminya yang beberapa hari ini masih di rawat karena masa penyembuhan duduk lemas hanya bisa mengelus punggung rapuh itu. Kakinya masih dibebat perban, tongkat kruknya ia biar terjatuh di lantai begitu saja.
Begitu menyadari kedatangan kami, sontak wanita itu berteriak kencang padaku.
"SIALAN! ANAKMU SIALAN!"
Aku meneguk ludah dengan susah payah, Herman berulah, kali ini anak nakal itu pasti sudah melakukan hal yang sangat buruk.
Aku duduk bersimpuh di hadapannya, berharap wanita itu bisa sedikit lebih tenang.
"Maafkan saya, Bu ... Maaf telah lalai dalam mendidik anak."
"SETAN! AKU TIDAK AKAN MEMAAFKAN KALIAN, BRENGSEK!"
Rupa-rupanya ia masih belum menerima keadaan, sehingga kini apapun yang aku lakukan tidak akan ia dengarkan. Kulirik suamiku yang sedari tadi diam, berdecak kagum pada ketenangan yang ada dalam diri pria tua ini.
Situasi nya sedang tidak baik, tidak adakah inisiatif nya membantu aku?
"Mas'e mau diam aja terus? Mbok bantu binikmu ini, kek." Bisikku menyenggol lengan nya. Akhirnya ia pun bergerak, kali ini sasarannya bapak Anna.
Dari kelihatan, pria itu lebih mudah diajak berbicara saat ini.
Aku tersenyum lega saat benar saja, Mas ku berhasil membuat pria itu buka suara tanpa berteriak-teriak seperti istrinya.
Aku pun bergerak mundur, mengambil telepon dari tas, nomor Herman tidak aktif, sepanjang perjalanan tadi aku sudah menelepon berkali-kali, kini pun sama.
Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi anak pertamaku, Fauzan, sekiranya ia bisa aku repotkan kali ini. Meski mengingat pertengkaran di pertemuan terakhir kami, aku sedikit sangsi.
"Nduk, adikmu berulah lagi," kataku setelah panggilan itu diangkat.
"Apa yang ia buat kali ini, Bun?"
"Demi Tuhan, Bunda juga terkejut ia bisa melakukan ini. Si Anna masuk rumah sakit, Zan, Herman benar-benar gila. Kondisi istrinya babak belur. Bunda benar-benar frustasi sekarang."
"Astaghfirullah, Bunda. Astaghfirullah, Ya Allah. Edan! Di mana sekarang si bangsat itu, Bun?"
"Enggak tahu, Fauzan." Aku menangis membayangkan hal buruk yang akan menimpa Herman bila pria itu benar-benar kabur saat ini.
Mungkin saja orang tua Anna akan melaporkan Herman atas tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Aku tidak mau Herman di penjara. Kalaupun nanti mereka tidak mau damai, akan kusembunyikan Herman di tempat aman.
Sedari awal ide ini milik Manra, suamiku, ia pikir menikahkan anaknya pada wanita polos akan merubah sikap keras, kenyataannya malah buat masalah.
"Bunda di mana sekarang? Biar Fauzan jemput dan kita cari Herman sama-sama."
"Di rumah sakit, Nak. Kami hati-hati di jalan, ya."
****
Hampir semua tempat yang memungkinkan untuk Herman datangi sudah kami jalani, tapi sosoknya belum juga ketemu.
Langit jingga menaungi perjalanan kami membelah jalanan sore.z
"Apa Herman benar-benar kabur, Bun? Mungkin aja dia sadar bakalan dilaporin ke polisi makanya kabur."
"Bagus kalau begitu, Bunda, ndak mau dia dipenjara. Salah besar kemarin terima Anna jadi menantu. Masa ngurus suaminya aja gak becus."
Fauzan terlihat mendelik ke araku, sebal sekali rasanya ditetap begitu.
"Kenapa? Kamu nggak suka Bunda bela adik kamu?"
"Bunda. Fauzan tahu Bunda sayang Herman, tapi jangan tutup mata juga sama kelakuan dia. Bayangin bunda di posisi Anna."
Aku memutar tubuh, Fauzan menghentikan mobilnya di tepian jalan, mungkin ia tahu kami akan berdebat, tak mau mengganggu konsentrasi menyetir, ia lebih memilih untuk menepi.
"Bunda sama Anna, yo, beda jauh. Bunda dari keluarga terpandang, bisa ini itu, gak kayak dia yang tidak berguna."
"Mungkin saja itu benar, Bun. Tapi Herman melukai Anna sampai sekarat seperti itu adalah kesalahan. Dia menganiaya istrinya."
"Enggak ada asap kalau gak ada api, Herman gak mungkin tiba-tiba berbuat kayak gitu kalau enggak ada penyebabnya. Anna pasti berulah."
"Bunda...."
"Ah, Bunda ingat. Waktu itu dia pernah ketahuan Bunda sedang sama cowok lain. Nah, pasti gara-gara itu, Anna selingkuh, pantesan."
"Bunda...."
"Awas aja perempuan jalang itu sadar, habis dia nanti aku marahin, berani-beraninya dia menduakan anakku."
"Bunda...."
"Opo, sih, Bun Ban Bun. Opo?"
Fauzan menyentuh tanganku, ia kelihatan ingin aku mendengarnya dan berhenti ngerocos sendiri.
"Kita yang paling tahu gimana Herman, kita juga tahu gimana sifatnya. Menurut Bunda, siapa yang salah? Herman yang doyan main perempuan atau Anna, perempuan polos yang terjebak di keluarga kita?"
Aku melepaskan tangan Fauzan. "Herman adik kamu, loh, Bunda ingatin. Kenapa bela-bela perempuan sialan itu?"
"Bukan bela, Bun--"
"Pokoknya kalau nanti dia sok-sokan ngelaporin anak Bunda ke polisi, aku jambak-jambak tuh anak sialan!"
"Sabar, Bun. Istighfar, Bun."
"Emosi Bunda, sejak mereka nikah Herman jadi semakin tidak terkontrol, Ya Allah, ini memang kesalahan hamba memilih menantu."
Dadaku bergejolak, kepalaku panas, memikirkan nasib sial anak bungsuku yang malang. Jika saja kutahu begini, aku pasti sudah menolak acara ta'aruf itu, benar kata orang dulu-dulu, lihat menantu harus tahu bibit, bebet, bobotnya. Bigini aku benar-benar kena zonk.
Herman yang malang, ini semua karena Anna sialan. Pasti dia sedang ketakutan di luar sana. Anna memang pandai bermain drama lalu memutar balikkan keadaan.
*
*
*
*
Sabar tarik napas dulu sebentar, lalu keluarkan perlahan.
Nah, pencet bintang dan tinggalkan komentar sebelum baca bab selanjutnya.
Salam sayang
Cangtip1
:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top