38 | Teman Baru
Syukurlah Mas Herman belum sadar aku tahu dia berselingkuh di belakang, sehingga aku masih bisa membuat rencana sebelum nanti meminta cerai.
Ya, aku tahu, berselingkuh itu tidak bisa dimaafkan, tetapi melihat kondisiku saat ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Cemburu pun tidak berguna, lagi pula, sebesar rasa cintaku pada mas Herman, sebesar itu juga rasa marahku padanya.
"Kenapa melamun aja dari tadi, Dek?"
"Ha?" Aku buru-buru menggeleng, tidak sadar karena terlalu banyak pikiran jadi bengong.
Senin pagi ini, Mas Herman masuk kantor seperti biasanya, katanya nanti sore aja kami mengunjungi Bunda lagi. Oh, ya, subuh tadi ayah bilang Bunda akhirnya sadar. Dokter bilang Bunda akhir-akhir sering stress, sehingga darahnya naik, dan bertepatan kemarin ketika di kamar mandi kena serangan jantung. Untung saja masih bisa diselamatkan.
Dengan kondisi yang seperti itu, Bunda harus rawat inap beberapa hari untuk menjalani beberapa perawatan dan pengobatan.
Itu sebabnya, selepas Mas Herman berangkat, aku mau ke pasar membeli beberapa buah, katanya buah belimbing bisa menurunkan tensi, jadi nanti pas mengunjungi ibu aku punya bawaan.
Mobil Mas Herman udah keluar, aku hendak menutup gerbang, tetapi bunyi klakson motor menghentikanku.
"Pagi, Mbak Anna."
Itu Andre, dia nampak menggunakan motor yang berbeda dari yang semalam ia gunakan untuk mengantarku. Mengingat kejadian dan perkataan Ayah mertuaku kemarin, aku jadi agak canggung.
"Eh, Mas Andre, pagi juga," kataku berusaha menutupi rasa tidak enakan yang membuatku gugup. "Mau ke mana?"
"Mau ke rumah, Mbak. Abis belanja di pasar," jawabnya sambil mengangkat kresek berisi belanjaan.
Plastik pembungkus berwarna putih bening, aku bisa melihat apa saja yang ia beli. Yang membuat aku semakin tertarik melihat isi plastik itu adalah ada buah kuning bintang-bintang, ada belimbing di sana.
Kebetulan sekali!
"Mas Andre habis beli beli belimbing ya?" aku tahu ini pertanyaan retoris sebab, sudah pasti ia beli belimbing terus, masa nyuri sih? Aku jadi malu sendiri.
"Iya, Mbak, pesenan Mama."
Tuh, kan. Bener. Aku jadi malu, tapi mumpung kebetulan aku jadi ingin tahu berapa harganya.
"Mbak Anna mau?"
Lah?
"Bukan, begitu Mas. Saya nggak niat minta, kok," aku gelagapan, dia salah paham. Makin malu saja diriku.
"Kebetulan saya mau beli untuk nanti jenguk ibu mertua saya," jelasku tidak mau disalahpahami.
"Oalah, murah kok Mbak, cuma dua puluh lima sekilo. Bagaimana keadaan mertua Mbak?"
"Sudah sadar, sekarang lagi masa penyembuhan aja."
"Alhamdulillah. Syukurlah, Mbak. Saya turut senang," katanya, seraya mengambil satu buah belimbing kalau memberikan padaku.
"Ini belimbing nya manis dan masih segar, Mbak cobain, yang jual teman saya, nanti kalau mau saya anterin ke tempat nya, soalnya kalau beli di tempat lain rata-rata udah gak segar lagi."
Meskipun sebenarnya sungkan, tapi aku menerima dengan malu-malu, tidak enak juga sudah ditawari seperti ini.
"Gimana, Mbak?"
Aku memikirkan kembali penawaran, benar juga sih, aku kepengin membawa sesuatu yang berkualitas baik untuk Bunda agar tidak dijulid-in nantinya. Aku menerima tawaran tersebut, Andre izin pulang dulu mengantarkan belanjaan nya ke rumah, sedangkan aku bersiap-siap dulu.
***
Suasana pasar menjelang siang tidak terlalu ramai, karena para pembeli lebih suka belanja ketika pagi masih sejuk atau sore saat matahari tidak lagi seterik ini. Untukku, lebih enak belanja di jam seperti ini, aku tidak suka berdesakan, pun tak suka bila harus mengantri panjang untuk beli sesuatu.
"Arah sini, Mbak."
Andre bak pemandu kali ini, meski pasar ini sudah biasa kudatangi, tapi saat Andre menjelaskan, ia seperti sudah ahli.
"Kalau mau beli ikan segar-segar dan masih baru, penjual di sebelah sana yang mejanya warna biru itu, paling top. Selalu habis dagangannya setengah hari, wajar sih, selain menjual kualitas, mereka juga tidak memasang harga mahal," jelas Andre membuat aku terkagum-kagum.
Pria yang bisa belanja aja jarang, mana mau mereka repot-repot ke pasar, paling beli ikan masak. Apalagi sampai tahu bahan-bahan mana yang bagus, mana yang harganya murah, pandai menawar pula. Andre ini spesies berbeda, ia bahkan ahli! Luar biasa, pasti sangat beruntung istrinya.
Ngomong-ngomong soal istri, aku penasaran apakah Andre sudah punya anak? Dari penampilannya, ia masih mudah sih, meskipun terlihat wajahnya keras karena sering bekerja, tapi kuduga umurnya tidak jauh berbeda denganku.
"Mas Andre udah punya berapa anak?" tanyaku membuat Andre berhenti lalu menahan tawa.
Aku terdiam, apakah pertanyaanku salah?
"Kenapa, Mas?"
"Saya belum menikah, Mbak," jawabnya membuat aku terkejut. Melihat tampangnya yang tampan, dan orangnya baik, pasti banyak yang menyukai Andre, masa belum menikah?
"Belum ada yang mau, Mbak," jawabnya lagi.
"Mas ini tampan loh, masa belum ada suka? Nggak percaya saya."
Ia tertawa, jadi heran apakah kalimatku begitu lucu? Rasanya aku bertanya biasanya saja.
"Mbak ini bisa saja." Ah, dia malu aku katain tampan ternyata. "Untuk menikahi perempuan nggak cukup tampang, Mbak. Perempuan mana yang mau sama laki-laki miskin kayak saya."
Aku tertegun, agak bersalah ketika melihat matanya sendu. Kalau dilihat-lihat, Andre sama seperti diriku, sama-sama dari keluarga ekonomi rendah, hanya saja aku cukup beruntung bis menikah dengan pria kaya.
Hmm, masih dikatakan beruntung kah bila suaminya itu Mas Herman? Ntahlah.
"Semua manusia itu udah punya jodohnya masing-masing, entar juga ketemu yang menerima Mas Andre apa adanya, lagi pula Mas Andre masih muda, masih banyak waktu."
"Iya, Mbak. Saya percaya Allah sudah menyiapkan semuanya."
Kemudian kami berjalan dalam diam menuju penjualan buah, Andre juga berhenti bicara. Seharusnya aku tidak bertanya hal sensitif tadi, suasananya jadi tidak enak.
Saat sampai, aku kalap beli banyak buah, soalnya benar di sini buah-buahan nya segar dan rasanya enak. Ini akan jadi langganan ku!
Dia kantong plastik sudah berisi buah, belimbing, apel, jeruk, dan semangka. Melihat aku kesulitan membawa belanjaan, Andre seperti biasa peka, lalu menawarkan membantu membawa satu kantong.
Andai saja Mas Herman tidak sibuk, pasti menyenangkan belanja bareng seperti ini. Dulu sempat kami pernah belanja bareng, rasanya bahagia sekali, ia juga seperti Andre ia tidak membiarkan aku kewalahan membawa belanjaan, ia yang membawanya.
Inilah saat-saat yang susah sekali kukontrol, perasaan sesak yang tiba-tiba hadir saat mengingat semua itu akan jadi kenangan saja. Mas Herman selingkuh, ia tidak mencintai ku.
Padahal dulu kupikir ialah jodohku, pria yang akan menjadi teman ku sampai akhir hayat. Ternyata anganku cukup berat untuk dikabulkan, ataukah aku yang tidak pantas disandingkan dengan Mas Herman.
Jujur saja, kadang aku berpikir ini kesalahanku, mungkinkah aku yang tidak cukup baik jadi istri, sehingga Mas Herman malah melirik perempuan lain.
Pelupuk mataku cukup berat, air sudah menumpuk di sana, tapi aku tidak mungkin menangis di sini.
Namun, saat tiba-tiba Andre merangkul ku untuk menghindari sebuah papan yang tengah diangkut salah seorang penjual. Tangisku tumpah.
Aku sungguh mencintai Herman yang dulu, yang mengatakan bahwa akulah yang ia cintai. Aku merindukan Hermanku yang dulu pernah menemaniku belanja.
Mengabaikan Andre yang kebingungan aku menangis kencang dirangkulannya.
****
Sebenarnya Andre seumuran Anna, cuma karena situasi, ia yang harus banting tulang untuk cari uang, jadi kelihatan tua.
Makasih banyak chapter sebelumnya lagi-lagi ramai, vote nya 100 lebih, makasih banyak pembaca akuuuu🙏🏻💙💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top