36 | Terbongkar

Siang hari yang panas tadi, ketika aku masih sibuk menyetrika pakaian, telepon dari Ayah mertuaku mengagetkan, suara bariton pria paruh baya itu begitu pelan, tapi pesan yang ia sampaikan membuat aku ketar-ketir.

Bunda Putri masuk rumah sakit.

Sebaris kalimat itu sanggup mengintruksikan aku untuk buru-buru menyimpan pakaian-pakaian yang baru setengah selesai. Ayah juga mengatakan nomor Mas Herman tidak bisa dihubungi, jadi selagi aku bersiap-siap untuk berangkat, aku menelepon Mas Herman.

Benar kata Ayah, pria itu tidak menjawab, tidak patah arang terus saja menghubungi nya sampai di angkat. Sambil telinga dan bahu menjepit ponsel, aku mengeluarkan motor dari bagasi. Meskipun hubunganku dengan Bunda cukup buruk, tapi aku tetap mengkhawatirkan sebesar aku mengkhawatirkan ibuku sendiri.

Suara sambungan akhirnya terputus begitu sebuah suara kudengar di seberang sana. Herman akhirnya menjawab telepon.

"Hallo, Anna?"

"Mas, Bunda masuk rumah sakit, kata Ayah tadi jatuh di kamar mandi terus pingsan sampai saat ini belum siuman."

"Sekarang kamu di mana?" Bisa kuketahui Mas Herman juga panik mendengar kabar ini, sama seperti ku tadi.

"Ini lagi mau berangkat ke rumah sakit, Mas."

"Kamu share alamat dan nomor kamarnya, aku nyusul dari sini, Anna."

"Baik, Mas," kataku hendak selanjutnya hendak mematikan sambungan sebelum tiba-tiba saja kalimat Mas Herman membuat aku terpaku di tempat.

"Anna bilang ibu masuk rumah sakit, Lisa, aku harus pergi."

Jantungku seperti berhenti berdetak sejenak, perasaanku tak karuan, mendadak aku linglung, dan tidak sadar menjatuhkan motor yang belum kupasang standar.

Lemas sekali rasanya.

Lisa?

Apakah ia Lisa yang sama seperti yang aku kenal?

Namun, siapapun perempuan itu, yang pasti ia bersama Herman hari ini. Jadi, Mas Herman berbohong soal ada kerjaan di akhir pekan? Kondom yang aku temukan di saku Mas Herman ternyata benar ia gunakan untuk 'bermain' bersama wanita lin di luar sana.

Kalut sekali kondisiku, mungkin aku akan lupa harus buru-buru pergi ke rumah sakit lalu saat sebuah suara sapaan menyadarkan aku.

"Mbak Anna?"

Aku menoleh, melihat Andre, pria yang aku tahu adalah tetangga ku, sekaligus orang baik yang dulu pernah membantuku, berjalan menghampiri aku dengan tatapan khawatir.

"Mbak gak apa-apa?"

Aku yang masih syok hanya bisa menggeleng pelan, "enggak apa-apa," jawabku sepelan gelengan aku tadi.

"Motornya sampai jatuh begitu, Mbak beneran baik-baik saja? Mbak mau kemana? Biar saya anterin saja, takutnya kalau naik motor sendiri Mbak kenapa-kenapa pula."

Benar kata Andre, aku masih tidak bisa fokus saat ini. Juga aku harus pergi secepatnya ke rumah sakit, maka tawaran Andre untuk mengantarkan diriku aku setujui.

***

Sesampainya di rumah sakit, aku sudah melupakan sejenak prihal Mas Herman, aku fokus mencari ruangan Bunda.

Aku seperti de javu, sewaktu ayah kemarin juga masuk rumah sakit, aku melakukan hal yang sama, segera ke rumah sakit dan panik mencari ruangannya. Karena di rawat di rumah sakit yang sama aku, bisa menemukan dengan lebih cepat.

Ayah mertuaku berdiri di pintu menunggu kehadiranku, ia melihat ke belakang dan melihatku bingung.

"Herman mana?" tanyanya.

"Mas Herman nyusul katanya, bentar lagi sampai," kujawab setenang mungkin seolah tak ada yang terjadi, dan keadaan baik-baik saja.

"Lalu dia siapa?" Pertanyaan Ayah mertuaku membuat aku menoleh ke belakang, ternyata Andre mengikutiku sedari tadi, ia tersenyum canggung lalu menyalam Ayah sambil memperkenalkan diri.

"Saya Andre, tetangga Mbak Anna, tadi Mbak Anna gak enak badan, jadi saya bantuin nganterin," jelasnya pada Ayah.

Muka Ayah masih belum melunak, tampak tidak senang dengan keberadaan Andre, "terus kenapa perlu ikut ke sini? Kamu mau ngapain ke sini?"

Andre terkesiap dengan pertanyaan Ayah yang mengecam keberadaannya dengan terang-terangan, ia lalu melirikku sebentar sebelum kembali menjelaskan. "Saya pikir, saya harus memastikan dahulu Mbak Anna bisa ke ruangan ini, takut tiba-tiba kenapa-kenapa," jawab Andre masih berusaha membuat Ayah mengerti.

Hal yang aku lupakan adalah, meskipun ayah tidak pernah memarahiku secerewet Bunda, tapi pria tua ini memiliki sifat yang sama dengan Bunda, ia tidak pernah memihakku.

"Kamu beneran cuma tetangga? Kenapa bisa sepeduli itu sama istri orang?"

Sudah cukup, Andre terlalu baik untuk mendengar kata-kata kasar tersebut. Maka dari itu aku akhirnya buka suara.

"Andre beneran cuma tetangga kok, Yah. Mungkin dia terlalu khawatir dengan Anna sampai gak sadar sudah ngikutin sejauh ini," kataku, lah beralih kepada Andre, "Makasih, ya, Mas udah nolongin, sekarang Anna udah tahu ruangannya, Mas Andre bisa balik sekarang."

Aku tidak enak sekali pada Andre, padahal niatnya baik, malah dimaharin Ayah.

"Yah, Anna izin nganter Andre balik, dulu, nanti Anna ke sini lagi."

Ayah hanya mendengus membiarkan aku dan Andre pergi.

Sepanjang perjalanan menuju parkiran beberapa kali melihat ke arah Andre, melihat ekspresi wajahnya, apakah ia sekarang marah padaku? Aku sengaja ikut mengantar Andre keluar karena rasa tidak enak, dan agar tidak terlihat seperti mengusir.

"Sekali lagi maaf, ya, Mas. Maafin ayah mertua Anna," ujarku sesampainya di parkiran.

"Enggak apa-apa, wajar orang tua suamimu marah, saya yang minta maaf karena lancang ikut masuk."

"Enggak kok Mas, enggak apa-apa." Aku mengambil selembar uang seratus ribu dari tas, "ini, mas, uang balas budi saya, sudah dua kali membuat Mas Andre repot," kusodorkan kertas itu pada Andre, yang lagi-lagi menolaknya.

"Saya ikhlas menolong Mbak, bukan karena bayaran. Jadi tolong, setiap kali saya membantu Mbak, jangan kasih duit lagi," Andre tersenyum lalu naik ke motornya.

Aku menyimpan kembali uangku, Andre memang benar-benar baik, ia pria yang baik.

"Mira kenapa kamu masih di sini? Bunda mana?"

Aku mundur satu langkah terkejut tiba-tiba Mas Herman berdiri di samping ku. Ia juga melihat Andre yang sudah bersiap melaju, matanya memicing mencoba melihat wajah di balik helm tersebut.

"Siapa?"

"Tetangga, Mas. Tadi nganterin Anna ke sini."

"Oh."

Aku sakit hati, responnya tidak seperti yang diberikan Ayah dan Bunda. Mas Herman sama sekali tidak peduli.

"Ayo ke tempat Bunda."

***

Selang infus tersambung di punggung tangan Bunda, wanita yang biasanya terlihat enerjik itu kini tampak lemah. Aku sedih melihatnya dalam kondisi seperti ini, Mas Herman duduk di samping Bunda sambil menggenggam tangannya.

"Ayah pikir Bunda jatuh karena terpeleset, tapi tadi pas dokter periksa ternyata serangan jantung."

Mas Herman terlihat terpukul sekali, aku hanya bisa memberikan usapan di punggung sebagai penyemangat untuknya.

"Ini semua karena kamu Herman," kata Ayah. Aku dan Herman sama-sama tidak menyangka Ayah akan mengatakan hal seperti ini, dalam kondisi seperti ini.

"Bunda tiap hari mikirin kamu, sejak hari kamu bertengkar dengan Kakak iparmu. Kenapa kamu gak balik dan minta maaf? Menghubungi kami saja tidak pernah, kamu sadar tidak kamu melakukan kesalahan."

Kulihat wajah Mas Herman berubah merah, sendunya berganti kekesalan. Ia menatap ayah tajam.

"Herman nggak salah, buat apa minta maaf?"

"Herman, kamu sudah dewasa, masih saja kekanakan."

"Kenapa kalian selalu bela Lina, padahal anak kalian aku?!" Suara Herman mulai meninggi.

Aku hanya bisa diam di tempat memperhatikan mereka, Ayah hendak membalas membentak tapi ia urungkan melihat situasinya sedang tidak memungkinkan.

"Ayo, keluar, Ayah tak mau mengganggu Bunda."

Herman menurut, lalu mengikuti Ayah ke luar. Sedangkan aku ditinggal sendiri tanpa permisi. Karena itulah kuputuskan untuk mengekor diam-diam. Aku tidak mau dalam kondisi tidak tahu apa-apa lagi. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Lina benar dengan menasehati mu jangan main-main lagi kalau sudah menikah, bukannya kamu yang janji akan serius setelah punya istri."

"Ini hidup Herman, Ayah. Selalu saja dari dulu kalian mengekang Herman."

"Mengekang? Hanya karena kami menyuruh kamu berhenti jajan perempuan kamu bilang mengekang?!"

Dalam satu hari, begitu banyak kejutan yang aku temui. Ini terlampau banyak sampai aku tidak bisa menerima nya lagi. Jadi aku perlahan mundur kembali ke tempat Bunda berbaring.

Jadi seluruh keluarga Herman udah tahu masalah Herman suka main perempuan di luar? Selama ini mereka menutupinya?

Wah, gila. Apakah aku benar-benar terjebak dalam keluarga gila? Jadi aku selama ini dipermainkan.

****
Anna udah tahu yang sebenarnya gengs, hihi. Lalu bagaimana selanjutnya keputusan Anna?

Vote and komen guys, biar aku semangat ngetik chapter selanjutnya.

Gini deh, kalau udah 100 vote baru aku up next chapter, xixixi

Salam aku yang pengen banget namatin cerita ini.

Cangtip1

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top