32| Semuanya Kacau

Sebelum baca, please pastikan hari ini kamu tidak dalam keadaan badmood soalnya bab ini bakal bikin kesel😂🙏🏻

.

.

.

Oke, siap?

.

.

.

.

Selamat membaca....

.

.

.

.

.

***

"Mas juga rindu Ana."

Sebaris kalimat yang terdiri dari empat kata itu amat dahsyat, meluruhkan seluruh bebanku selama beberapa hari ini. Aku memeluk erat tubuh Mas Herman sambil menangis tersedu-sedu. Terlampau senang, hatiku menghangat, dia kembali, suamiku yang sempat berubah.

Seperti pelangi sehabis hujan.

Badainya telah berlalu pikirku.

Pikirku ....

Sebelum kemudian sadar keindahan pelangi tidak pernah bertahan lama.

Aku merasakan sesuatu, embusan napas cepat membuat leherku merinding. Bibir dingin menyusuri kulit putihku hingga ke tengguk.

Aku menatap Mas Herman dengan wajah yang masih sembab, mata yang masih berair dengan tidak percaya. Tatapannya itu menyiratkan nafsu. Aku menegang, merasakan begitu cepat harapan dan kepercayaan ku diruntuhkan begitu saja.

"Mas rindu banget sama kamu, Na. Mas gak tahan puasa lagi."

Menyakitkan detik berikutnya ia menciumku ganas. Membelit bibirku yang diam saja dan menerobos masuk menyusuri seisi nya.

Aku memang merindukannya, merindukan sentuhannya tapi bukan seperti inj. Ada bagian diriku yang terluka.

Tangannya menarik bajuku naik, tapi kutahan, meski sedikit terbawa suasana aku masih sadar ada keluarga Mas Herman di bawah.

"Ma--as, di bawah masih ada Bunda dan yang lain..." kataku pelan, takut-takut.

Namun, sepertinya ia tidak peduli, terbukti kini bajuku sudah ia loloskan dari tubuhku dan ia buang sembarangan.

"Sebentar aja, dek. Mas udah kangen banget sama kamu."

Aku menutup mulut erat-erat, kini ia bermain di dadaku. Meremas kedua gundukan dari balik bra hitam yang hari ini kupakai. Tangannya menyusur turun ke bawah perutku, menjamah bagian sensitifku.

Meskipun tidak menikmati, tapi pengaruhnya tetap saja bisa membuat aku lemas seketika. Hormon estrogen ku bekerja tidak bisa kucegah, lama kelamaan ia menguasai tubuhku.

"Nghh, akhhh." Akhirnya desahku lepas tidak bisa kubendung saaat masih dalam posisi berdiri ia masuk tanpa permisi.

Keringat mulai membanjiri tubuh, rambutku acak-acakan sama halnya dengan pakaianku yang tak karuan.

Pada pelepasan Herman di inti bawah ku, penyatuan itu segera ia lepaskan.

Sambil mengancingkan kembali celana, ia berkata. "Nanti kalau Bunda udah pulang kita lanjut lagi, Mas mau mandi." Lalu ia pergi begitu saja.

Meninggalkan aku yang terduduk lemas, punyaku sedikit lecet karena bergesekan dengan celananya yang tidak ia lepas ketika bermain tadi. Rasanya perih dan lelah di saat yang bersamaan karena orgasme ku berbarengan dengannya.

Sedikit sempoyongan aku bangkit tertatih, memunguti pakaian yang telah berserak di mana-mana, bau amis cairan kami masih menempel di tubuhku tapi sebuah ketukan membuat aku jantungan.

"Ana, bisa keluar sebentar?" Itu suara Mbak Lina.

Bagaimana ini? Ya Tuhan! Aku buru-buru memakai baju, jantungku berdetak kencang, keringat yang kucoba hapus berkali-kali terus keluar membuat aku frustrasi.

Membuka pintu sedikit, aku mencondongkan wajah dari celah kecil. "Maaf, Mbak. Ada apa ya?"

Saat kukatakan begitu wajahnya cemberut, tampak kesal. "Kamu kok gak turun-turun?"

Aku gelagapan hanya bisa menjawab, "ada yang lagi aku bicarakan sama Mas Herman, Mbak."

"Enggak sopan banget ada tamu malah sembunyi di kamar! Sana tolong jagain anak Mbak dulu. Mbak ada urusan sama Bunda, terus nanti bilang sama Herman untuk ikut gabung. Jangan kamu tahan terus, jadi istri kok gatelan banget!"

"Maksud Mbak?"

"Kamu kira Mbak gak tahu apa yang kamu lakukan? Haus belaian banget sama suaminya sampai baru pulang aja udah 'main'. Mana suaranya keras! Enggak tahu malu banget."

Kalau saja aku punya keberanian sedikit untuk melawan pasti aku akan menjawab perkataan nyelekit Mbak Lina ini dengan keras. Siapa yang kegatelan? Bahkan aku tidak pernah menyangka Herman akan meminta di saat seperti ini.

"Mbak emang nyuruh kamu untuk segera punya anak, tapi buatnya ingat kondisi juga dong. Udah gatel banget ya punyamu?"

"Astagfirullah, Mbak...." Aku tidak tahan lagi. Mbak Lina adalah Bunda kedua ternyata. Mulutnya sama-sama mengeluarkan cabe.

"Enggak usah sok, cepat bersih-bersih terus jaga keponakan mu!"

Ia lalu balik, punggungnya menjauh. Sepertinya aku terperangkap di keluarga gila!

Ya Allah, bagaimana ini?

Bagaimana aku bisa bertahan kalau tidak ada satupun yang mengerti kondisi ku.

"Dek ..."

Aku terkesiap, mengusap wajah dan membalik badan menemukan suamiku ini telah selesai.

"Kata Mbak Lina, Mas diminta turun ada yang mau dibicarakan."

"Oke."

Hati kecilku sangat berharap Mas Herman peduli pada raut senduku atau bertanya tentang keadaanku. Tapi rasanya salah berharap seperti itu. Saat ia hanya melintasiku saja.

Perasaanku tidak karuan, rasanya menyakitkan.

Kenapa semuanya jadi seperti ini?

Kenapa kini Mas Herman seolah-olah menginginkanku hanya sebatas sebagai pemuas birahinya?

Apa ini perasaanku saja?

Ya, Allah beri hamba mu ini petunjuk.

***

Azizah dan Asyaf sudah tertidur pulas saat pintu dibuka keras, wajah Mbak Lina memerah, tatapannya berapi-api. Aku heran ketika ia menarikku kasar lalu diseret keluar.

"Dasar sialan!" bentaknya membuat aku kaget bukan main.

"Ke--kenapa, Mbak?"

"Bilang sama suamimu itu jadi orang jangan keras kepala! Kalau ngomong lihat-lihat dulu siapa yang ia ajak  bicara. Baik-baik dinasehati kok malah ngelawan."

Aku masih tidak mengerti akan kekesalan Mbak Lina saat Mas Herman muncul dengan raut wajah yang tidak kalah memerah.

"Enggak usah ikut campur! Ini rumah tangga saya, kamu urus aja hidupmu," seru Herman.

"Saya menasehati kamu biar enggak mencoreng nama baik keluarga! Kamu kira imbasnya enggak kena ke saya juga?" Mbak Lina menatap Herman seakan ingin mencekiknya.

"Ketika Mbak dan Mas Fauzan punya anak di luar nikah saya enggak pernah komentar apapun, saya harap Mbak kali ini pun sama."

Plak!

Aku menutup mulut melihat Mbak Lina menampar suamiku sambil melotot tajam.

"JAGA MULUTMU YA!"

"Linaaa, sabar...." Mas Fauzan, Ayah, Bunda datang  melerai.

"Herman!" Bunda Putri menjerit.

"Mending kalian pulang sana!"

"Herman!" Sekali lagi Bunda berteriak marah.

Walaupun begitu, Herman kelihatannya sudah tidak bisa dicegah atau diajak bicara lagi.

Pria itu naik ke atas.

Aku memandang semua orang dengan tatapan bertanya, ada apa dengan keluarga ini? Apa yang selama ini tidak kuketahui?

"Aku mau pulang saja, najis berada di rumah orang gila."

Mbak Lina membangunkan kedua anaknya dan mengemasi barang-barangnya. Mas Fauzan tidak banyak bicara, tapi ikutan membantu istrinya.

"Bunda .... Ada apa?" tanyaku berusaha mencari tahu apa yang terjadi.

"Ini semua gara-gara kamu yang enggak bisa jaga suami!"

Aku terngaga, benar-benar tidak percaya setelah semuanya kenapa aku yang jadi disalahkan?

"Saya menerima kamu jadi menantu karena saya pikir kamu bisa jaga anak saya! Ternyata cuma jadi beban."

Aku benar-benar kehabisan kata-kata, masih dengan segenap kebingungan menyaksikan satu persatu mereka pergi tanpa menjelaskan apa-apa.

Buru-buru aku menjumpai Mas Herman.

"Ada apa, Mas? Kenapa Mbak Lina tadi marah-marah?"
Ia tampak tenang berbaring sambil memainkan hapenya di kasur.

"Abaikan saja."

"Tapi Bunda tadi menyalahkan Ana, padahal Ana enggak tahu apa-apa."

Ia bangkit terduduk, raut wajahnya tidak lagi memerah, kini jauh lebih tenang. Ia menarik tanganku lalu membuatku duduk di pangkuannya.

"Mereka sudah pergi, kita bisa lanjutkan yang tadi."

***

Pengen ganti judul cerita ini jadinya deh 😂

Bantu pilih yaaaaa

1. Terjebak Dengan Suami Gila

2. Salah Memilih Suami

3. Bukan Pemuas Nafsu

Atau judul lama aja udah kece?🤣

Vote ya gaes❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top