26 | Istri Bukan Budak

Tubuhku panas, kepalaku pusing, intinya badanku tidak enak bangun pagi ini. Aku memaksa membuka mata dan bangun teringat harus mempersiapkan sarapan Mas Herman.

Namun, betapa terkejutnya aku tidak menemukan pria itu di mana-mana. Mas Herman telah pergi, aku segera dirundung rasa bersalah. Aku memang bangun terlambat karena 'permainan' kami semalam. Sehabis mandi bersama yang memakan waktu satu setengah jam-an, Mas Herman mengajakku lanjut di atas tempat tidur.

Tenaga suamiku itu tidak ada habisnya, menyentuh, meremas, memasuki diriku tanpa henti. Tidak peduli pada diriku yang sudah lemas juga kedinginan. Benar belum mengeringkan tubuh dia sudah masuk ronde berikutnya saja.

Menghadapi rumah yang sepi, aku memilih masuk ke kamar saja untuk tidur kembali. Mungkin menambah beberapa jam istirahat bisa memulihkan keadaanku, atau setidaknya pusing ini bisa sedikit mereda.

Harapan aku pupus saat beberapa jam kemudian terbangun dan mendapati kepalaku semakin berat. Aku meraba kening dan leher, ternyata aku demam.

Bagaimana ini? Masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Masak, mencuci, membersihkan rumah, dan tahu apa yang lebih sial? Aku belum mandi sejak pagi.

Bau badanku masih dipenuhi oleh bau keringat dan bau hasil 'main' dengan Mas Herman, rambutku acak-acakan, tapi sampai sekarang masih belum bisa bergerak ke mana-mana.

Dering ponsel menginterupsi kegundahan hati ku, aku mengambil benda pipih itu di atas nakas, tempatnya seperti biasa.

Nama Lisa tertera di sana, temanku itu akhirnya menelepon untuk pertama kalinya sejak kami bertukar kontak. Apa dia akan datang lagi?

Baguslah! Aku bisa minta bantuan padanya membelikan obat, kuharap juga ia mau membantu aku membereskan pekerjaan yang telah menumpuk.

Saat aku hendak melihat jam berapa sekarang, sebuah notifikasi chat masuk membuat aku buru-buru membuka aplikasi hijau itu.

Maaf buru-buru pergi, Mas ada rapat pagi. Kamu nanti sarapan pesan online saja,  Mas khawatir kamu masih lelah, lalu istirahat yang banyak.❤️

Sedikit berat di kepalaku meringan sehabis membaca pesan dari Mas Herman.

Makin cinta sama suami super pengertian kayak dia, yah ... pengecualian kalau di ranjang, ia tidak akan memperdulikan aku yang remuk ulahnya.

Menunggu Lisa datang, aku berusaha ke kamar mandi. Membersihkan diri, meskipun telah kuceritakan pasal aku yang sedang sakit, aku tetap tidak mau membuat dia melihatku tampak mengerikan dan kebauan nantinya.

Di kamar mandi aku berusaha melawan dingin air yang dalam sekejap membuatku menggigil, melawan rasa perih di beberapa bagian tubuhku karena permainan kasar Mas Herman. Di dadaku banyak bercak kebiruan yang kalau ditekan sakit.

Aku penasaran seberat apa masalah Mas Herman di kantor sehingga ia melampiaskannya padaku dengan brutal. Bercak-bercak ini memang sering kudapatkan setiap kali kami usai bermain, hanya saja tidak sakit seperti ini.

Pangkal pahaku juga rasanya sedikit nyeri. Semoga Mas Herman malam ini tidak meminta, soalnya dengan tubuh yang sakit dan nyeri di sekujur tubuh aku tidak akan sanggup melayani nafsu liarnya.

Lisa sampai ketika aku baru saja selesai memakai baju, ia membawakan pesananku, lebih baiknya tanpa di suruh ia membawa bubur sekalian.

"Haish, bilangin sama suami lo sewa pembantu gih. Kalau sakit gini, rumah lo berantakan gak ada yang beresin."

Aku baru saja menelan suapan terakhir bubur ayam, langsung menggeleng tidak terima. "Mertua aku bakalan sewot."

"Emang mertua lo mau datang kemari terus beresin rumah ini kalau lo sakit, suami lo sibuk kerja?"

Aku batal minum mendengar penuturannya, tidak semudah itu, ia belum tahu saja bagaimana tabiatnya Bunda Putri. "Lagi pula aku juga tidak ada kerjaan lain, selain beberes rumah."

"Lo tuh dinikahi untuk jadi pembantu atau jadi istri?"

Lisa berdecak kesal lagi mengambil minum di tanganku, ia tampaknya terlalu geram dengan tingkahku.

"Gaji suami lo gede, nyewa pembantu enggak semahal itu. Lagipula ini udah urusan rumah tangga pribadi kalian, ngapain mertua lo masih sibuk ikut campur?"

Ada benarnya. Tapi ... Membayangkan Bunda Putri mendengar kami menggunakan jasa pembantu rumah tangga pasti akan membuat ia makin tidak suka denganku. Ia akan memarahi Herman yang terlalu memanjakan diriku, pun Mbak Lina akan kecewa karena aku tidak bisa merawat adik iparnya dengan baik.

Ibuku sendiri pasti tidak setuju. Beliau orangnya tidak enakkan, sudah dapat menantu kaya baik hati yang menerima anaknya ini apa adanya saja ia sudah sujud syukur.

Lagipula emangnya kalau tidak mengerjakan pekerjaan rumah aku mau ngapain lagi?

"Lo bisa ikut arisan, atau kegiatan lainnya," kata Lisa seolah membaca pikiranku.

"Masa lo di rumah terus? Berbaur ke sekitar, cukup semasa sekolah lo jadi anak anti sosial, rugi banget." Lisa selain pandai urusan seks, menasehati orang lainnya juga sama pandainya.

"Kalau ada apa-apa kan, yang lebih cepat bantu lo itu para tetangga. Gue enggak masalah lo minta bantuan gue, cuma jarak rumah gue lumayan jauh butuh waktu cukup lama. Misal, amit-amit sebelumnya, kalian kemalingan, yang bantuin kan orang sekitar."

Bener, aku setuju dengan ucapannya.

"Aku akan berusaha bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, dan bisa membaur dengan tetangga."

"Kenapa sulit sih? Suami lo kaya banyak duit lho, Ana!"

"Tapi mengerjakan pekerjaan rumah enggak sesulit itu, di rumah ini cuma ada aku sama dia, enggak sulit sama sekali."

Lisa menarik napas panjang, ia tampak tidak terima aku menolak sarannya. Tapi aku melihat menyewa pembantu tidak ada gunanya, sekarang aja aku sudah baikan, kiranya aku sudah bisa mengerjakan semuanya.

"Udah empat bulan kalian nikah, suamimu pernah ngasih apa aja? Pernah ngajak lo jalan-jalan, dia ada ngasih lo waktu untuk shoping? Udah berapa banyak hadiah yang lo terima?"

Aku terdiam, kepala memang sudah tidak terlalu pusing, tetapi pertanyaannya membuka lebar mataku. Mas Herman belum ada memberiku barang, kecuali lingerie merah, dan lingerie lainnya--entah kenapa dia doyan beli pakaian terbuka itu. Jalan-jalan? Sejauh ini hanya ke rumah Bunda. Aku hanya sering belanja untuk kebutuhan rumah atau dapur.

Semua itu tidak pernah kupikirkan, aku juga tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut karena mendapat suami seperti Mas Herman aja sudah sangat kusyukuri.

"Ada saatnya untuk itu."

"Lalu selama ini gaji suamimu yang gede itu dipakai untuk apa aja?"

"Ya, kebutuhan sehari-har--"

"Yakin?"

Aku memandang Lisa yang seperti menyudutkan diriku, rasanya tidak enak mendengar suamiku dituduh seperti ini. "Aku tahu suamiku, Lis. Dan, soal pembantu tadi nanti aku pikirkan kalau memang sudah butuh."

Ini aku yang salah lihat atau memang Lisa seperti mendesah kecewa dengan jawabanku.

Selanjutnya ia tidak membahasnya lagi, kami sibuk bekerja. Lisa juga sudah membawa topik pembicaraan lain.

Ia bercerita tentang perkuliahannya yang membutuhkan banyak uang, Lisa tidak enak meminta pada orang tuanya sehingga ia harus bekerja sambilan. Karena bekerja sambil kuliah membutuhkan banyak energi, Lisa banyak tahu mengenai obat linu dan minyak urut.

"Kalau pakai minyak PGU tuh badan hangat berada dipijit-pijit, coba deh kalau lo lagi pegel."

Aku memang sering pegal, maka kalau nanti lewat supermarket atau apotik akan aku sempatakan membelinya.

Tidak terasa waktu berlalu, sore bersama langit oranye sudah muncul.

Lisa tampak bersemangat saat aku membawa nya tur rumahku. Katanya ia juga pengen punya rumah kayak gini.

"Di mana aku bisa dapat jodoh kayak suamimu ya?"

"Jodoh itu datang dengan sendirinya, dan juga kamu pasti dapat yang terbaik."

"Amin deh."

Bunyi klakson mengagetkan kami. Aku segera membukakan pintu, meninggal Lisa yang membuntuti dari belakang.

"Kamu sudah enakan, Dek?" Tanya Mas Herman seraya kami berdua masuk ke rumah.

Saat masuk, Mas Herman berhenti melihat Lisa.

"Ah, iya. Aku lupa bilang teman aku mampir...." Kataku pada Mas Herman yang masih berdiri mematung sambil memandangi Lisa lekat-lekat.

"Dia Lisa teman aku dari SMA."

Kulihat Lisa menyunggingkan senyum sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Mas Herman. Tapi pria itu tetap diam tidak berekspresi, ini hanya perasaanku saja atau Mas Herman memang menatap Lisa dengan pandangan begitu aneh? Seakan dia kenal dengan Lisa. Begitupun saat ia membalas uluran tangan Lisa, Mas Herman tetap diam tidak mengalihkan pandangannya dari wajah Lisa.

***

Vote dan komentar gengs, biar aku semangat nulis.❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top