23 | Progam Hamil
Hari ini genap empat bulan usia pernikahanku dengan Herman, suami tercintaku. Sejauh hari-hari yang kami lewati, tidak ada masalah, konflik-konflik kecil memang kerap hadir mewarnai rumah tangga kami, tetapi tidak apa-apa, itulah penambah rasa dalam hidup.
Akhir pekan ini, Mas Herman mengatakan kami akan berkunjung ke tempat Bunda. Aku sebal, sih, kenapa harus pergi ke tempat itu.
Meskipun aku memang rada rindu juga. Oh, ya! Orangtuaku juga bakalan hadir di sana, soalnya rumah bunda itu tempatnya strategis, berada di tengah-tengah. Jadi, cocok sekali dijadikan tempat berkumpul.
Aku mengamati penampilan di cermin, apakah baju terusan mirip gamis ini cocok untuk kukenakan?
"Mas," panggilku pada pria yang tengah bermain hand phone di tempat tidur. "Kalau Anna pakai ini untuk besok, cocok, nggak?"
Aku bergaya, memutar tubuh beberapa kali agar Mas Herman bisa menilai menyeluruh.
"Bagus-bagus aja, sih, Dek." Setelah mengatakan itu ia kembali menatap ponselnya.
Aku cemberut, kenapa dia kelihatan tidak serius begitu sih?
"Mas Hermaaan, Anna serius ...."
"Lho, Abang juga serius," katanya tak acuh. Ia masih tetap fokus pada layar benda pipih itu.
Karena kesal dan tidak terima akan tanggapan Herman, aku memberanikan diri mengambil ponsel itu. Maklum sudah empat bulan, sifat polos-polos, baik, jaga image, kadang-kadang aku lupakan.
"Apasih, Dek, " katanya kini menatapku.
"Anna ingin terlihat bagus besok, ini acara keluarga besar-besaran, masa Mas Herman malah enggak pedulikan?"
Mas Herman mencubit pipi ku. Tidak sakit, tapi karena dalam kondisi kesal langsung aku tepis.
"Di mata Mas, Adek tetap cantik pakai apa aja," ujarnya membuat kesalku menguap digantikan senyum malu-malu.
Duh, Mas Herman kalau ngegombal emang rajanya.
"Tapi ...," Dia mendekati aku dan mengelus wajahku. Aku sampai merinding dengan perlakuannya. "Kalau enggak pakai apa-apa, bagi Mas, adek jauh lebih cantik dan .... Seksi."
Wajahku memanas. Punya suami otak mesum kayak Herman emang enggak baik sama kesehatan jantung dan jiwa. Aku mendorong dada pria itu sedikit kencang, mampu membuat jarak kami sedikit jauh.
"Ish, Mas mah kalau begituan baru semangat."
Ia tertawa, tawa mengeledek. "Serius lho Dek, kalau kamu tanpa sehelai benangpun jauh lebih menarik di mata Mas, dari pada pakai baju sebagus apapun." Ia mendekat lagi dan mengecup bibirku.
"Sana ganti dulu bajunya, Abang mau melihat penampilan kamu tanpa busana."
Meskipun bukan kali pertama mendengar pertanyaan frontal Mas Herman, tetap saja itu terasa memalukan di telingaku.
•••
Sebenarnya aku tidak perlu terlalu takut begini. Toh, di rumah Bunda nanti banyak tamu, wanita tua itu tak akan hanya mengurusi ku saja.
Apalagi ada Mama dan Papa yang datang, aku tidak akan diomeli.
Hanya saja, dadaku berdebar kencang saat mobil Mas Herman sudah masuk pekarangan rumah Bunda. Kulihat di sana sudah ramai. Tanganku mulai menggigil.
"Enggak usah takut gitu, Dek. Bunda enggak gigit. Kamu tahu, kan?"
Mas Herman duluan keluar, aku cepat-cepat menyusul di sampingnya. Genggaman tangan pria itu pada tanganku sedikit memberi semangat.
"Wah-wah, pasutri muda udah datang...." Mama yang melihat kami segera berjalan menyambut.
Aku memeluk mama, kangen berat. Semenjak menikah kami belum pernah bertemu lagi, dan jarang berkomunikasi. Aku sedikit bersalah karena sering tidak mengangkat telepon Mama.
"Kalau udah jadi istri orang, perempuan emang makin cakep yaa," seru mama memandangku sambil tersenyum gembira.
"Duh, Mama. Anna kan emang udah cantik dari lahir," kataku memuji diri sendiri, yang segera membuat dua orang--papa dan Kakak ipar ku--mendengus tidak setuju.
Mama beralih ke manusia di samping aku, "Anna enggak bikin masalah selama jadi istri kamu, kan?"
Aku melotot mendengar pertanyaan Mama. Ish, si Mama gitu amat.
"Enggak kok, Ma. Malah Herman senang punya istri kayak Anna yang baik banget."
Telingaku naik nih, dipuji Mas suami.
Mama ketawa sambil menyikutku, "Kalau Anna bertingkah laporkan aja sama Mama."
Usai percakapan ringan dan melepaskan rindu itu. Kami masuk ke dalam. Aku menemukan lebih ramai lagi orang-orang.
Saat aku hendak duduk di samping Mas Herman, seseorang menarik tangan aku. Bunda Putri!
"Kamu ini, kok malah ikutan duduk. Ayo ke dapur, bantu menyiapkan makanan."
Ya, ampun. Padahal baru bertemu. Bunda Putri udah buat bete aja. Sabar Anna, cuma sehari kok menghadapi tingkah mertua mu ini.
Sampai di dapur hanya ada aku dan Mbak Liana.
Aku bingung melihat Bunda yang malah pergi.
Dasar!
"Apa kabar, Anna?"
Aku mengambil tempat di posisi kiri Mbak Liana, mengambil pisau dan mulai mengupas bawang.
"Alhamdulillah, sehat, Mbak. Mbak gimana?"
"Sama sehat juga."
Kelihatan pekerjaan sudah banyak yang selesai. Aku jadi hanya membantu-bantu sedikit. Duh, jadi tidak enak dengan kakak iparku ini.
"Gimana? Kapan mau punya momongan?"
Aku berhenti mengiris bawang, lalu mengulas senyum kikuk, "kapan dikasih Allah aja, Kak."
"Hemm. Jangan ditunda-tunda, ya, Ana."
"Enggak kok, Mbak."
Siapa yang nunda, wong hampir tiap hari Mas Herman minta jatah, dan pria itu selalu mengeluarkan di dalam. Namanya belum dikasih ya gimana.
"Bunda bilang tadi sebelum kamu datang. Beliau enggak sabar menimang cucu dari Herman."
Aku mengangguk, lalu melanjutkan perkejaan ku. Sudah kuduga ini pasti ulah Bunda, wanita tua itu selalu saja terlalu mengurusi orang.
"Herman juga enggak muda lagi, beda sama kamu. Dia sudah kepala tiga, kamu tega kalau nunda suamimu akan kayak kakeknya anakmu ketimbang ayahnya?"
"Astaga, enggak Mbak. Emang belum dikasih, mau gimana lagi?" Aku heran kok mbak Lina ini ucapannya mirip kayak Bunda.
"Allah enggak akan ngasih kalau hambanya enggak berusaha. Ya, kalian usaha dong, ikutan program hamil, Na."
Program hamil?
Percakapan itu terus saja menghantui ku sampai pulang ke rumah.
***
Okedeh, tak up semua draf aja dah. Nanti kelupaan update kalau udah gak buka Wattpad lagi🤣
Maklum, penulis banyak kerjaan di real life 🙏🏻
Vote dan komen tiap chapter ya, kalau sempat pasti aku balas semua komentar ❤️🔥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top