18| Belanja Pertama
Aku memasak sarapan sederhana untuk Mas Herman pagi tadi, bersyukur karena kali ini suamiku bisa makan sebelum berangkat. Walaupun emang cuma makanan simpel, nasi goreng, yang bumbunya bumbu instan yang kubeli dadakan (karena lagi-lagi aku telat bangun, jangan tanyakan alasannya, malu!).
Sebagai pelengkap, telur mata sapi kusajikan di atas nasi goreng panasnya. Mas Herman sangat-sangat berbeda dengan Bunda, pria ini tidak terlalu mempermasalahkan makanan buatan aku. Pun pinggiran telor yang sudah hampir gosong pun ia lahap dengan cepat.
Ya, Allah, aku sangat bersyukur bisa mendapatkan Mas Herman.
Aku memasukkan kunci ke dalam kantong, dan bergegas menuju pedagang sayur yang sedang ngetem di simpang komplek. Kutempuh dengan hanya berjalan kaki, tidak terlalu jauh, hanya perlu melewati lima atau enam rumah. Sekalian mengolahragakan tubuh.
Gerobak sayuran itu telah dikerubungi emak-emak. Aku mengembuskan napas, berharap tidak kehabisan belanjaan. Begitu jarak sudah semakin dekat, ibu-ibu yang sedang belanja itu melihatku, awalnya hanya satu dua orang, seiring dengan aku sampai di tukanh sayur tersebut, kini tatapan mata mereka semua tertuju padaku.
Aku hanya bisa memberikan senyum canggung, tidak tahu harus berbuat apa, rasanya sangat aneh, mengapa mereka melihatku seperti itu?
"Eh, kamu yang nempatin rumah baru itu, ya?" Seorang wanita berpakaian daster bunga-bunga memulai interogasi.
"I--iya, Bu," jawabku masih dengan kondisi canggung.
"Walah, ternyata bener Kata Bu Rusni, kamu cantik sekali." Kini ibu-ibu berbadan berisi menyeletuk, lalu ia menyenggol wanita yang pertama bertanya padaku tadi. "Aku pikir tadi dia bercanda, La. Ish, cantiknya, mana masih muda."
"Iya, Yam, cantik sekali."
Aku merona, Ibu-ibu terlalu berlebihan, mana yang lain ikutan menyeletuk lagi. Aku ingin berkata bahwa aku tidak secantik itu, tapi kurasa tidak akan terlalu berguna, jadi aku hanya bisa tersenyum, atau lebih tepatnya nyegir.
"Mau beli apa Neng Cantik?"
"Panggil Ana, aja, Bu." Aku sungguh sangat berat dipanggil seperti itu. "Mau beli bunga brokoli, buncis, wortel dan kentang... Ah, sama ayam."
"Mau buat sup?"
Aku mengangguk, ibu-ibu itu pun membantu aku memilih dan menimbang belanjaan. Mereka sangat baik dan ramah, aku pikir ini tidak buruk, malah satu awalan yang bagus.
Aku empat puluh menit kemudian aku sudah berada di dapur. Kenapa lama? Karena ibu-ibu di sana terus saja mengajakku mengobrol, juga sekalian berkenalan dengan tetangga-tetangga baruku.
Aku juga diajakin masuk ke perkumpulan ibu-ibu perumahan sini. Rasanya sangat nyaman diterima dengan baik.
Ah, benar pemikiran aku. Bahwa pindah dari rumah mertua sudah keputusan yang tepat, lihat semua kebahagiaan ini. Aku berulangkali mengucap syukur pada Yang Kuasa.
***
Deru mobil memasuki pekarangan rumah, aku buru-buru keluar dan membukakan pagar. Langit belum gelap tapi mas Herman sudah pulang. Berarti kali ini dia tidak lembur.
"Assalamualaikum ...."
"Wallaikum'salam, Mas." Aku mengecup punggung tangannya dan membawa masuk tas kantornya.
Saat dia duduk di sofa ruang tamu, ia terlihat sedang mencoba mencium sesuatu.
"Kenapa, Mas?"
"Bau enak apa ini?"
Ah, dia menyadarinya. Aku tersenyum bangga dan menunjuk ke dapur, "Ana masak sup ayam, Mas."
"Wah, kamu masak?"
Dia berdiri dan berjalan ke dapur, di atas kompor sebuah panci berisi sup ayam mengundang perhatian Mas Herman.
"Mas Herman mau cobain?"
Dia mengangguk, aku lekas mengambil sendok makan dan menyendokkan kuah sup itu lalu memberikannya pada Mas Herman.
"Ini, Mas."
Ia meniupnya beberapa kali sebelum mencicipinya. Setelah kuah itu mengenai lidahnya dan masuk ke kerongkongan, ia tersenyum dan mengacungkan dua jari jempolnya.
"Luar biasa, kamu emang istri hebat."
"Alhamdulillah, Ana cari di internet tadi resepnya. Bersyukur bisa berhasil di percobaan pertama."
Aku benar-benar senang saat ini, aku berhasil. "Mas mandi dulu, biar Ana siapkan makanan."
Dia mengangguk dan naik ke atas.
Sepuluh menit kemudian Mas Herman turun dengan baju kaos polos dan celana pendek, ia masih mengusap rambut basahnya dengan handuk.
Makanan telah kutata rapi di atas meja makan. Dengan sigap aku menyendok nasi ke piring Mas Herman.
"Udah, dek, segitu aja."
Mendengar itu, aku mengangguk tak jadi menyendokkan nasi ke piring Mas Herman setelah sendokkan pertama. Aku pikir mungkin Mas Herman mau lebih banyak memakan sup-nya.
"Kamu sudah bekerja keras hari ini, besok mau Mas belikkan apa?"
"Ah, Mas. Ini, kan, sudah kewajiban Ana. Jadi gak usah repot-repot."
Dia mengangguk dan setelah berdoa terlebih dahulu kami lekas menyantap makanan, aku suka setiap kali Mas Herman menguyah makanannya dengan semangat, seakan semangat itu juga ia tularkan padaku.
Tapi dahiku berkerut saat Mas Herman hanya memakan sedikit sup-nya. Aku bertanya-tanya apa yang salah? Bukankah tadi katanya enak? Jadi kenapa seakan tidak mau makan?
"Loh, kok, udah selesai aja, Mas?"
Dia menatap ku dan piringnya bergantian lalu tersenyum santai, seakan tak melakukan kesalahan apapun. "Mas lupa bilang, tadi Mas sudah makan, jadi Mas enggak mau kekenyangan."
Aku menghela napas, begitu ternyata. Mas Herman sudah kenyang tapi masih mau makan masakanku. Sungguh pria yang luar biasa, dia tahu caranya menghormati orang.
Aku pun tak berpikiran aneh-aneh lagi, lalu cepat memakan bagianku. Mas Herman naik ke atas duluan dan aku masih harus membereskan semua ini.
Untungnya aku sudah terbiasa, jadi tidak butuh waktu lama, aku sudah selesai dan bisa menyusul Mas Herman ke atas.
Ia ada di atas kasur, seperti biasanya dengan laptop. Tapi kali ini begitu ia melihatku, benda itu langsung ia singkirkan dan menarikku dalam pelukannya. Dasar suamiku yang mesum. Untung sayang.
***
Nantikan selanjutnya....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top