17 | Pengakuan
Aku merinding begitu suara Mas Herman mengalun lembut di telingaku.
"Ana .... Aku ingin jujur padamu...."
Aku meneguk air ludah dengan susah payah, mataku tak bisa berkedip. Perlahan ia meraih pergelangan tanganku untuk ia tuntun naik ke atas, memasuki kamar dan mendudukkan diriku di tepi kasur.
Ia berdiri di depanku, menatapku penuh arti, tangannya beralih membelai wajahku.
"Mas selalu menyukai keindahan wajahmu, Anna." Lalu jari jempolnya meraba bibirku, menarik bibir bawahku hingga tersingkap. Tindakan sensual itu seperti membangunkan hasrat tubuhku.
"Kau benar-benar cantik, tak salah aku memilih dirimu," katanya lagi. Kini menunduk dan mengecup bibirku singkat. Sebelum kembali lagi pada posisinya.
"Ana .... Aku ingin memberi tahu satu hal tentang Mas, yang harus kamu ketahui."
Tiba-tiba saja aku deg-degan, penasaran dan takut bercampur aduk. Matanya lagi-lagi menatapku intens, membuat aku terhisap pada iris hitam legamnya. Menyihir dengan kekuatan supernya.
Tidak seharusnya aku takut bukan? Bahkan ketika ia belum mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan.
"Aku .... Mas mu ini punya satu rahasia." Ia menarik napas dalam-dalam, tampaknya sesuatu yang ingin ia sampaikan adalah hal yang sangat sulit. Mendadak pemilik wajah tampan, pria itu, Mas Herman menampakkan ekspresi gugupnya.
"Aku punya .... Ana ini sangat sulit, aku tahu kamu akan terkejut mendengarnya. Dan ... Mungkin akan kecewa karena baru kukatakan sekarang."
Aku tidak berniat untuk menanggapi pernyataan itu, jiwaku terlalu penasaran untuk menghentikan Mas Herman mengucapkan rahasia apa itu.
Kulihat ia tiba-tiba menunduk, kalau ini film aku kan menekan tombol percepat, tak sabar aku. Apalagi tingkah Mas Herman kali ini menjadi aneh.
"Katakan, Mas ...."
Berdeham untuk mengatur suaranya, barangkali tenggorokannya terlalu kering ketika hendak bersuara. Lalu sekali lagi helaan napas ia lakukan, dan ia akhirnya memberitahu.
"Aku ... aku punya libido yang tinggi. Mungkin kamu sudah sadar saat kita melakukan hubungan itu."
Mataku melotot, aku sungguh mengerti arti dari 'libido'. Teman lelaki sekalasku dulu pernah membicarakannya, jangan salah sangka. Aku hanya curi-curi dengar. Perbincangan sesama laki-laki memang tidak pernah lepas dari masalah selangkangan dan hal-hal berbau mesum lainnya.
Aku bahkan pernah sengaja mencari maknanya di internet karena penasaran dengan perbincangan itu.
Kepalaku rasanya berdenyut sebelah bagiannya.
Seperti kata Mas Herman, aku mungkin sudah menyadarinya saat malam-malam panas itu. Alasan mengapa ia sampai keblas-blasan ketika aku sudah kualahan, bahkan hingga membuat aku sakit. Seharusnya aku memahami itu dari awal.
"Aku tahu kamu terkejut, tapi kita sudah sah menjadi suami istri, aku tak akan merahasiakan ini lagi. Lagi pula .... Selama ini aku sedang berusaha untuk berubah. Ana .... Aku harap kamu mengerti, percayalah segila apapun nafsuku, aku akan menahannya agar tidak melukai dirimu."
Kalimat-kalimat itu mengingatkan diriku pada rasa sakit di pangkal pahaku yang kerap kali timbul saat Mas Herman melakukannya dengan kasar. Apakah libido tinggi itu membuat seseorang sanggup melukai?
Ada rasa takut yang tiba-tiba menjalar di dadaku.
Tidak!
Ini tidak mungkin terjadi, aku tidak boleh takut pada suamiku sendiri, apalagi ini tentang kewajibanku sebagai seorang istri yang harus melayani suami dengan baik.
Aku akan dilaknat bila menolak melakukan hubungan intim dengan suamiku hanya karena alasan tak sanggup mengimbangi permainan pria itu. Yang perlu aku lakukan hanya membiasakan diri bukan? Seperti kata Bunda, mungkin suatu hari nanti, malah aku yang akan meminta.
Mengerjapkan mata berulang-ulang, lalu meneguhkan hati, aku memandang Mas Herman dengan senyuman lebar, aku berdiri di depannya dan menyentuh wajahnya.
Menangkupkan kedua telapak tangan di kedua pipinya, dan membawa wajah itu untuk tegak, kini wajah kami sejajar, dan aku bisa melihat dengan jelas tatapan penuh harap Mas Herman.
"Mas ... Ana sudah sah jadi milik Mas Herman, cuma karena Mas memiliki semangat berlebih dalam hal intim." Aku gugup mengatakan libido, terdengar terlalu aneh dan canggung untuk diucapkan, maka kuganti dengan kata semangat berlebih, toh keduanya punya arti yang sama. "Seharusnya ini jadi tugas Ana, untuk jadi istri yang lebih kuat. Pernikahan kita tidak akan jadi kesalahan Ana, hanya karena rahasia kecil ini."
Saat mengatakannya, aku hanya menggunakan perasaanku, tidak ada sedikitpun kupikirkan matang-matang atau berniat mendiskusikan hal ini lebih lama lagi. Kupikir lebih baik seperti ini, tidak ada drama yang perlu dijalani.
Jika Mas Herman menerima aku apa adanya, iya, menerima banyak sekali kekuranganku, bagaimana mungkin hanya karena satu masalah ini aku marah?
Aku mencium Mas Herman, ini pertama kalinya aku yang memulai. Rasanya lebih mendebarkan daripada ketika Mas Herman yang menciumku duluan.
Hanya menempel bibirku di bibirnya kira-kira beberapa detik yang singkat lalu menjauhkan wajah kami.
Kulihat Mas Herman tersenyum dengan tindakanku tidak.
"Terima kasih Ana. Terima kasih sudah menjadi istri yang baik," katanya kalau menarik diriku lagi untuk ia cium.
Suamiku dengan hasrat seksual yang tinggi seperti pengakuannya, tidak akan membiarkan sensasi ini hanya terjadi sebentar. Bibirnya yang lincah itu mencecap diriku penuh candu.
Mungkin memabukkan ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan rasanya. Bagaimana ia membobol diriku, mencicipi setiap jengkal apa yang aku punya. Membawa terbang diriku hingga ke langit. Ah .... Ini sungguh gila.
Bagaimana cara Mas Herman melakukannya?
Aku meremas bantal yang menjadi tumpuan kepalaku, saat kini kami telah sama polos tanpa sehelai benang menempel di tubuh masing-masing. Mas Herman seperti biasanya berada di atasku, menguasai permainan kami sepenuhnya, seluruh bagian dirinya seperti tidak bisa berdiam diri. Ia menjamahku secara keseluruhan.
Lihatlah tangannya yang nakal itu kini bermain-main di buah dadaku, meremas-remasnya dengan gemas dan mempermainkan jiwaku saat ujungnya ia putar-putar.
"Ah .... Maaas," jeritku ketika jarinya menjepit ujung payudaraku dengan kuat. Sakit. Tapi begitu ia lepas rasanya aku tidak suka, aku ingin ia melakukannya lagi. Maka kutarik tangan Mas Herman untuk melakukannya lagi.
"Istri nakal! Kau mau lagi?"
Aku mengangguk lemas, wajahku sudah sangat-sangat memerah karena hormon estrogen yang aktif, membuat hasratku benar-benar meledak.
"Akan kuberi kamu yang lebih nikmat lagi."
Bukan tangannya yang kini bermain tapi mulutnya, pria ini .... Akh sungguh gila!
Bibir itu bertindak seperti anak bayi yang kehausan. Kendati, percayalah tidak ada cairan susu yang akan keluar dari sana, tapi Mas Herman, mulutnya itu menyusu di sana.
"Akh, akh, akh."
Aku memejamkan mata, bibirku meracau bebas, saat giginya menggigit pentilku. Apa ini sesuatu yang lebih nikmat itu?
Perpaduan air liur yang membasahi dadaku, bibir kenyal, gigi nakal, ini benar-benar gila. Lebih gila lagi saat persatuan kelamin di bawah sana juga tak ia lupakan, keluar masuk dengan cepat dan keras.
Baiklah. Walaupun sakit. Aku sangat menikmatinya.
***
Vote dan komentar untuk chapter selanjutnya....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top