Chapter 8

Chapter 8 : Rencana

.
.
.
.
.

[FLASHBACK]

Setelah kejadian tak terduga itu, Sakura di larikan ke Rumah Sakit dengan kondisi yang cukup parah. Itachi yang saat itu baru saja datang langsung menelepon Kizashi karena rasa panik.

Bahkan Kizashi datang dengan wajah pias karena tak percaya bahwa anak semata wayangnya mendapat kejadian malang itu.

Tubuh mungil Sakura tergeletak lemah diatas lantai setelah merasakan tulang-tulangnya bertubrukan dengan tangga. Sakura sama sekali tak bisa menggerakannya tubuhnya sama sekali. Dirinya hanya bisa melihat samar-samar tubuh Sasuke yang membeku, bahkan wajah anak laki-laki itu terlihat terkejut. Sangat terkejut melihat tubuh Sakura yang tiba-tiba saja ambruk dan terjatuh dari atas tangga.

Pelipis Sakura mulai mengeluarkan darah, tubuhnya mendapatkan luka lecet dan lebam. Tentu saja! Tak ada yang bisa membayangkan jika tubuh sekecil Sakura jatuh dari atas tangga. Rasanya... semua tulang Sakura remuk satu persatu. Perlahan, penglihatan Sakura kabur, dan gadis itu kecil itu pingsan tak sadarkan diri.

.
.
.
.
.

"Apa yang kau lakukan, Sasuke?!!" Teriak Itachi setelah mereka baru saja membawa Sakura ke Rumah Sakit.

Sasuke terdiam, tak merespon perlakuan Itachi atau bahkan membalas ucapan kakaknya itu satu kata pun.

"Kau boleh membenci Sakura, tapi tidak dengan menyakiti- bahkan hampir membunuhnya dengan cara seperti ini!" Itachi mencengkram kedua pundak Sasuke lalu menggoyang-goyangkannya secara kasar. "Apa yang ada dalam pikiranmu?!! Kenapa kau melakukan hal sejauh itu??!"

Lagi-lagi Sasuke terdiam.

"Itachi, jangan berteriak di kawasan Rumah Sakit. Kita bisa membicarakan ini secara baik-baik." Tegur Mikoto menggenggam lengan Itachi lembut. Mereka semua menunggu di luar ruangan IGD, berharap bisa mendapatkan jawaban memuaskan dari sang dokter yang saat ini tengah menangani Sakura.

"Tapi-!"

"Ini bukan sepenuhnya salah Sasuke. Kita tidak boleh menyimpulkan hal seperti itu. Sebaiknya saat ini kita mendoakan yang terbaik untuk Sakura." Kizashi ikut berbicara, sambil mengelus punggung Mebuki dan menenangkan sang istri yang sedari tadi terus menangis sesenggukan.

Itachi mencoba menahan emosinya dengan geraman pelan, "aku tahu Sasuke yang melakukannya. Sakura tidak mungkin mengalami kejadian ini kalau Sasuke tidak menyebabkannya!"

"Tenang dulu, Itachi. Lebih baik kita bertanya langsung pada Sasuke. Sasuke-" Fugaku memberi jeda. "Apa kau yang melakukan ini semua?"

Sasuke masih terdiam. Sedangkan semuanya menunggu jawaban jujur Sasuke.

"Jawab, Sasuke."

"Aku..." Sasuke bergumam pelan. Dari suaranya, terdengar jelas kalau Sasuke saat ini tengah menahan tangisnya. Kepala Sasuke tambah menunduk saat mulutnya terbuka dan berkata, "aku yang mendorong Sakura. Saat itu aku tengah kesal, jadi tidak sadar kalau mendorongnya dari atas tangga. Maafkan aku."

Fugaku menahan napas, ia mulai memijat pelipisnya yang tiba-tiba merasa pening. Kepala Fugaku menoleh kearah Kizashi dan Mebuki, lalu pria paruh baya itu membungkuk dalam. " Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya soal biaya pengobatan Sakura. Maafkan perbuatan anakku, Kizashi.. Mebuki.."

"Y-ya. Tidak apa-apa." Kizashi mengukir senyuman tipis. Berusaha menahan perasaan sakitnya saat mengetahui kalau kondisi putrinya tengah kritis sekarang.

Ceklek!

Seorang dokter pria berjas putih keluar dari ruangan IGD. Dokter itu adalah dokter yang baru saja menangani Sakura.

Sontak, semuanya berdiri. Dengan wajah cemas penuh harapan mereka mulai bertanya bagaimana kondisi Sakura saat ini.

"Bagaimana keadaan putri saya saat ini, Dokter?" Kizashi bertanya khawatir.

Dokter dengan name tag Hiruzen itu berkata, "putri anda mengalami pendarahan cukup parah di bagian kepala. Tulang kepalanya retak, mungkin untuk saat ia koma. Dan..."

"Dan apa?" Tuntut Mebuki menyeka air matanya, berusaha untuk tidak menangis histeris.

"Dan saya menyimpulkan, sebagian ingatan Sakura akan menghilang." Lanjut dokter Hiruzen menghela napas ikut bersimpati dengan kejadian yang baru saja di alami Sakura.

"Mak-maksud anda? Sakura... amnesia?" Kizashi membulatkan matanya terkejut.

"Ya, separuh ingatannya akan terhapus dari memori otaknya. Terkikis perlahan-lahan, lalu Sakura akan melupakan ingatan itu untuk selamanya." Jelas dokter Hiruzen.

Deg!

Sasuke tersentak kaget hingga tubuhnya menegang. Sakura- gadis cadel yang berisik itu- amnesia?

"Untuk sementara ini Sakura masih koma. Nanti jika keadaannya cukup membaik, ia akan sadar."

"Kira-kira Sakura akan terbangun dari koma nya berapa lama, Dokter?" Celetuk Mikoto cemas.

"Saya tidak tahu pasti. Tapi saat melihat kondisinya yang buruk, perkiraan saya Sakura membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk sadar dari koma nya." Setelah menjelaskan, dokter Hiruzen pun segera pamit mengundurkan diri.

Hening.

Tak ada yang mengangkat bicara lagi, hanya ada suara isakan dan helaan napas lelah yang mengisi kesunyian ruang senyap itu.

"Ini semua gara-gara ulahmu."

Sasuke mendengar desisan tajam Itachi, tapi ia tidak mempedulikannya dan malah menunduk.

"Jika bukan karena ulahmu, Sakura tidak akan mengalami kejadian buruk seperti ini!" Itachi menggeram menahan emosi. "Aku sudah bilang berapa kali padamu, Sasuke. Jangan membenci Sakura. Rasa emosimu yang tak berguna itu membuatnya dalam bahaya!" Teriak Itachi.

"Itachi, tenanglah. Jangan- hks! Jangan menyalahkan takdir." Mebuki berusaha meredam emosi Itachi walau isakan kecil di bibirnya terus saja bersuara.

Itachi menghela napas, tangannya terkepal kuat dan lehernya menegang. Rasanya ia seperti berada di mimpi buruk. Selama ini, Itachi menyayangi Sakura. Ia suka sikap baik dan kelakuan polos Sakura yang membuatnya bahagia. Itachi sudah menganggap Sakura seperti adiknya sendiri. Tapi kenapa-

"Otou-san, temani aku membeli minum. Aku haus." Itachi melirik ayahnya sekilas. Dirinya akan mencoba untuk melupakan rasa sakit yang menyergap di dada nya. Sesak. Sesak sekali. Itachi berharap air minum bisa membuat tubuhnya merasa lega.

Sasuke terdiam. Itachi sudah pergi, tapi kenapa ia masih merasa takut? Dengan sekuat tenaga, Sasuke memejamkan kedua matanya erat berusaha untuk menghalangi air mata yang siap menetes.

"Ini semua... memang salahku." Gumam Sasuke mulai menangis perlahan-lahan. Ia tidak bisa mengubah ini semua, ia tidak bisa mengembalikan Sakura yang masih dalam kondisi sehat. Ia tidak bisa. Ini semua adalah takdir buruk yang terjadi akibat kesalahan Sasuke.

.
.
.
.
.

3 bulan kemudian...

"Kau masih belum sadar?"

Sasuke menaruh kotak parsel berisi buah-buahan diatas meja nakas dekat ranjang rumah sakit. Mata onyx nya memandang sayu kearah seorang gadis yang saat ini tengah berbaring lemah.

"Maaf," lagi-lagi satu kata penuh makna itu keluar melalui bibir Sasuke. Setiap ia datang berkunjung, ia tak akan melupakan kata 'maaf' yang selalu ia ucapkan.

"Sakura," panggil Sasuke menjeda kalimatnya sejenak, "aku... aku dan keluargaku akan pindah ke luar negeri."

"Sebenarnya aku tak ingin mengatakan ini," Sasuke menahan napas. "Tapi hari ini adalah hari terakhir aku akan datang berkunjung menjengukmu."

Sasuke membelai pipi pucat Sakura. Wajahnya menyorot sedih. "Aku minta maaf. Gara-gara aku kau mengalami hal sepahit ini."

"Seharusnya aku tahu kalau kau di lahirkan sebagai anak yang polos. Kau hanya ingin berteman denganku, tapi aku malah selalu melukaimu."

"Ak-aku..." Wajah Sasuke perlahan menyorot ragu, "aku merindukanmu. Aku tak tahu kenapa, tapi selama 3 bulan ini, aku selalu memikirkanmu. Aku memikirkan wajahmu, senyummu, tawamu, semuanya! Aku merindukannya..." Lirih Sasuke sambil berdiri dan berjalan mendekat ke arah tubuh Sakura yang terbaring.

"Apa... aku bisa melihatnya lagi? Apa aku bisa melihat mata hijau mu yang terbuka? Aku sangat... merindukan mata itu."

Cup!

Sasuke mengecup kedua kelopak mata Sakura secara bergantian, lalu ia kembali berdiri tegak dan menjauh. Ia sangat berharap, kelopak mata Sakura terbuka.

Melihat tak ada respon dari Sakura, lagi dan lagi. Sasuke membuang napas kasar lalu tersenyum kecut, "padahal dulu aku sangat membenci suara berisikmu, tapi kenapa sekarang aku malah merindukan suara itu? Aku memang benar-benar aneh."

"Sasuke,"

Tubuh Sasuke tersentak mendengar suara itu. Ia segera berbalik, dan mendapati sosok Fugaku, Mikoto, Mebuki, Kizashi dan Itachi di sisi pintu ruangan.

"Ayo. Pesawatnya akan terbang sebentar lagi."

Sasuke terdiam. Kemudian bibirnya membentuk sebuah senyuman miris. "Sudah waktunya."

"Baiklah. Sakura, aku pergi dulu. Kalau kau sudah sadar dan mengingatku, aku berjanji akan menjadi temanmu. Karena itu... semoga kau cepat sembuh." Gumam Sasuke melirik kearah tubuh Sakura sekilas, sebelum dirinya keluar dari pintu ruangan.

.
.
.
.
.

Beberapa tahun kemudian...

"Tadaima!"

"Okaeri, Sakura."

Haruno Sakura, gadis berumur 17 tahun itu melepas kedua sepatunya, lalu melangkah menuju dapur tempat dimana sang Ibu berada. "Ugh, hari ini lelah sekali." Keluh Sakura mengambil duduk di atas kursi. Tangannya dengan cekatan mengambil gelas yang sudah ia isi dengan air putih dingin dari kulkas. Tanpa menunggu waktu lama, Sakura meneguk air itu hingga habis tak tersisa. Sepertinya, gadis itu sangat kehausan.

"Bagaimana dengan ujianmu, Sakura?" Tanya Mebuki sambil mempersiapkan sarapan untuk putri tunggalnya tersebut.

Sakura melepas tas ranselnya lalu tersenyum tipis. "Aku bersyukur bisa menjalaninya dengan benar."

"Sepertinya Ino sangat membantumu, ya."

"Ya, dia baik sekali mau membantuku belajar. Walaupun... terkadang sikapnya sangat menjengkelkan."

"Haha, tapi kelihatannya kalian sangat akrab. Oh ya, bagaimana dengan Sai?"

"Ap-apa?" Sakura tersentak mendengar Mebuki menyebut-nyebut nama pria yang sangat ia kenal. "Darimana Mama tahu? Soal... Sai?"

Mebuki menata piring-piring diatas meja makan, lalu wanita paruh baya itu duduk sambil tertawa kecil. "Ino yang memberitahuku. Kau dan Sai sekarang menjalin hubungan kekasih, 'kan?"

"Eehh?" Sakura tambah membulatkan matanya. "Ino yang memberitahu Kaa-san?"

"Kau cantik, jadi wajar saja banyak pria yang menyukaimu." Mebuki terkekeh pelan. Bibirnya membentuk sebuah seringai lebar. "Ah, putri kecil ku yang cadel itu rupanya sekarang sudah berubah."

"Mamaa!" Rengek Sakura mencebikkan bibirnya kesal. "Aku tidak mau mengungkit masa lalu itu."

"Hahahaha!! Kau merasa malu, eh?" Goda Mebuki.

"Tidak sama sekali. Aku hanya merasa muak saja dengan manusia-manusia yang selalu mencari kekurangan orang lain. Hal itu terjadi pada masa laluku. Saat aku cadel, tidak ada yang mau mendekatiku selain Ino." Gumam Sakura pelan. Tangannya menyumpit sepotong daging lalu ia makan dengan lahap.

Mebuki terdiam sesaat, sebelum senyuman tipis menghiasi wajah ibu paruh baya itu.

'Sebenarnya ada, Sakura. Ada dua sosok yang terus bersamamu saat kau kecil. Tapi... aku belum memberitahunya. Ya, sebaiknya begini saja. Lagipula masa lalu itu tidak perlu di ceritakan pada Sakura. Biarkan anakku menemukan kebahagiaannya mulai sekarang.'

Batin Mebuki, berdo'a dan berharap yang terbaik untuk Sakura.

.
.
.
.
.

Amerika, New York, 23:18 PM

"Apa? 'Dia' menjalin hubungan dengan seseorang?"

Suara maskulin yang terdengar dingin itu berucap dengan nada tak percaya. Di tengah-tengah kesendirian dalam ruang kerja, sosok itu menggeram emosi.

Uchiha Sasuke.

Pria yang kini sudah dewasa. Dengan wajah sempurna, tubuh tegap, dan suara tegasnya yang terdengar seksi. Sasuke berdiri dari kursi kerjanya, menampilkan tubuh tegap yang berbalut kemeja hitam. Bentuk-bentuk otot di beberapa bagian tubuhnya membuat aura pria itu lebih nampak mempesona.

"Jangan bercanda denganku, Juugo. Bertahun-tahun aku sudah mengawasinya. 'Dia' tak pernah tertarik untuk menjalin hubungan kekasih." Suara Sasuke kembali menggeram kesal. Tak mempedulikan laptop yang masih menyala dan berkas-berkas yang bertumpukan diatas meja kerjanya, ia berjalan menuju dinding kaca yang menampakkan kerlap-kerlip kota New York di tengah-tengah malam hari.

Wajah Sasuke tambah menyorot sinis kala suara sang bawahan- Juugo berbicara dengan nada serius nampak bersungguh-sungguh di dalam ponselnya.

"Benarkah? Bisa beritahu aku nama pria sialan itu?" Tanya Sasuke dingin. "Pria brengsek sepertinya kelihatannya punya nyali cukup besar karena sudah berani menjalin hubungan dengan Sakura."

Ya, topik pembicaraan mereka kali ini adalah Haruno Sakura, teman masa kecil Sasuke.

"Namanya Sai?" Sasuke menjeda kalimatnya dan berpikir sejenak sebelum ia kembali berbicara. "Baiklah. Beri aku laporan tentang pria sialan itu. Kirim di Email kalau kau sudah berhasil mencari tahu soal asal-usulnya. Aku tunggu laporannya besok."

Klik!

Sambungan mereka pun di putus secara sepihak oleh Sasuke. Tangan Sasuke mencengkram erat ponsel di tangannya setelah selesai menelepon. Hingga menimbulkan bunyi 'kretek' yang cukup jelas. Sepertinya, ponsel itu akan hancur sebentar lagi.

Tapi Sasuke tidak peduli. Perasaannya sudah terlanjur kacau akibat laporan yang baru saja ia terima. Fakta kalau Haruno Sakura tengah menjalin hubungan dengan pria bernama Sai.

Mengingat itu, lagi-lagi Sasuke mengepalkan tangannya emosi. Entahlah, Sasuke juga tak tahu kenapa dirinya bersikap demikian. Perasaan ini membuatnya bingung.

Semenjak beberapa tahun yang lalu, setelah Sasuke dan keluarganya pindah ke luar negeri karena urusan bisnis, Sasuke mulai memantau Sakura dari jauh.

Awalnya ia melakukan itu hanya ingin memastikan kalau Sakura baik-baik saja. Tapi perlahan-lahan, entah kenapa perlakuan Sasuke jadi sangat berlebihan. Dirinya benar-benar melindungi Sakura lewat para bawahannya di Jepang sana.

Sudah beberapa kali Sasuke juga berusaha meyakinkan kalau ia melakukan itu hanya karena dirinya merasa bersalah dengan sikap jahatnya pada Sakura tahun lalu. Tapi-

Sasuke menyadari ada yang salah dengan dirinya.

Ia tidak mungkin hanya berniat 'melindungi' kalau selama ini ia selalu bersikap possesif pada Sakura seolah Sakura adalah 'miliknya'.

Kenapa? Kenapa ia harus merasa marah kalau Sakura menjalin hubungan dengan pria lain? Rasanya Sasuke benar-benar merasa emosi kalau itu terjadi. Hatinya terguncang dan merasa tak suka.

"Apa aku sudah gila? Kenapa aku harus menyukai Sakura?" Sasuke mengusap wajahnya kasar. Merasa frustasi dengan perasaannya yang tambah membingungkan.

"Aku mendengarmu."

Deg!

"Itachi-nii?!" Sasuke membulatkan matanya terkejut, melihat sosok sang kakak yang saat ini sudah berdiri di sisi pintu ruanganya.

Itachi menghela napas, "pantas saja aku merasa heran dengan sikapmu yang terlalu berlebihan kalau menyangkut soal Sakura. Ternyata... kau menyukai gadis itu."

Sasuke menunduk, menyembunyikan raut wajahnya yang lesu. "Sekarang aku merasakannya. Aku merasakan penyesalan seperti yang kau katakan dulu, Itachi-nii."

Itachi memandang Sasuke iba. "Sakura tidak lagi bisa mengingatmu, dan kau malah menyukainya saat dia amnesia? Astaga, sebaiknya kau melupakannya, Sasuke."

"Tap-tapi.. aku-"

"Biarkan dia menemukan kebahagiaannya sendiri. Jangan mengusik kisah cintanya seperti itu. Kau seperti pecundang kalau melakukan hal itu."

"Tidak!" Sasuke sontak berteriak, "apapun yang terjadi, SAKURA ADALAH MILIKKU!"

"Sasuke," kening Itachi mengernyit tak suka. "Kau mengerikan sekali."

Sasuke menggigit bibir bawahnya dengan tangan yang terkepal kuat. "Aku... aku juga tidak tahu kenapa bisa menyukainya. Semenjak kejadian beberapa tahun lalu, saat kita pindah ke New York, aku selalu memikirkan Sakura. Aku selalu memikirkan semua hal tentangnya sampai aku merasa frustasi. Awalnya kupikir alasan aku memikirkannya karena aku masih merasa bersalah, tapi ternyata tidak. Aku terus memikirkannya karena aku mulai menyukai Sakura." Jelas Sasuke panjang lebar dengan suara yang terdengar lirih.

"Perkataanmu berbelit-belit." Respon Itachi terkekeh pelan.

"Aku tidak peduli." Wajah Sasuke menyorot datar. "Setelah urusan bisnisku selesai di sini, aku akan kembali ke Jepang dan melamar Sakura sebagai istriku."

Deg!

"KAU GILA?!"

"Mungkin sekitar satu tahun lagi aku baru bisa berhasil menyelesaikan proyek disini. Setelah berhasil, aku akan meminta Otou-san untuk memindahkanku ke perusahaan utama Uchiha's Corporation di Jepang. Agar aku bisa menikahi Sakura sekaligus memegang perusahaan itu dengan tenang. Ugh, tinggal disini sudah terasa membosankan untukku." Sasuke duduk di atas kursi kerjanya, dan kembali sibuk mengurus laptop dan berkas-berkas yang akan ia kerjakan.

Itachi menggeram kesal, "kau mengabaikanku, Sasuke?!"

"Sebaiknya kau keluar dan urus pekerjaanmu sendiri, Itachi-nii." Usir Sasuke dingin. Bahkan wajah pria itu sama sekali tak beralih dari layar laptop.

"Tidak sebelum kau menjelaskannya padaku! Apa maksudmu ingin menikahi Sakura? Kau ingin menyakiti gadis itu lagi, huh?"

"Aku tidak akan melakukan hal itu lagi." Kedua bola mata onyx Sasuke berkilat tajam, "aku akan menikahi Sakura, dan membuktikan kalau aku sudah berubah."

"Tapi tidak semudah itu! Sakura tak mengenalmu lagi, Sasuke." Ujar Itachi memperingati.

"Itu urusanku nantinya." Balas Sasuke datar.

Itachi meneguk saliva nya gugup. Ia tak menyangka Sasuke senekat ini. "De-dengar, Paman Kizashi dan Bibi Mebuki belum tentu juga menyetujui dirimu sebagai calon Sakura. Lagipula... Sakura masih terlalu muda untuk menjalin pernikahan."

"Sudah kubilang, itu urusanku." Sasuke melirik Itachi sekilas, sebelum senyuman miring mulai tercetak di wajahnya. "Semua hal itu sangat mudah di lakukan untukku."

Itachi terdiam dan hanya bisa melihat perubahan besar yang terjadi pada adiknya. Tanpa sadar, Itachi bergidik ngeri.

Sasuke yang dulu selalu menjauh dan membenci Sakura, sekarang malah menyukai dan bersikap possesif pada gadis itu.

Ternyata memang benar,

Cinta dan Benci itu beda tipis.

Bersambung...

Btw, pernikahan sasusaku itu semacam gini, walau Sasuke sudah mulai menyukai Sakura, tapi Sasuke tetap merasa bersalah dengan perlakuan kasarnya di masa kecil dulu. Jadi Sasuke berjanji, akan melindungi dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk hidup Sakura. Entah itu dalam perasaan, kebutuhan ekonomi, dan sebagainya.

Menurut readers, siapa yang paling beruntung di antara mereka? Sasuke? Atau Sakura?

P.s : Akan update kalau vote sudah mencapai 280+

©LiaTabiba

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top