tujuh belas
Setetes embun jernih dan murni turun dari ujung daun. Udara sejuk menyegarkan jiwa dan raga. Prilly keluar kamar dengan wajah bersih dan berseri. Meski tak ada Ali di rumah, Prilly selalu berusaha tetap terlihat rapi dan cantik meski hanya di dalam rumah saja.
"Mbak Bie," panggil Prilly mencari keberadaan Ebie.
"Iya Non. Ebie di belakang lagi bersihin kolam renang," sahut Ebie terdengar hingga di ruang makan.
Prilly keluar menghampiri Ebie yang sedang asyik menjaring reruntuhan daun kering yang mengambang di permukaan air.
"Mbak Bie, bisa minta tolong bantu aku nata pakaian dedek di kamar nggak?" pinta Prilly dengan senyuman tulus.
Ebie menghentikan pekerjaannya, lalu mengangguk mantap dengan senyuman terbaiknya.
"Okey, dengan senang hati."
Akhirnya meraka pun masuk ke dalam kamar Prilly. Ebie dan Prilly saling membantu menata semua keperluan untuk sang calon bayi yang masih dalam kandungan Prilly. Dengan canda tawa, pekerjaan itu pun tak terasa sudah selesai. Saat Prilly sedang beristirahat duduk di tepi ranjang, ia merasakan perutnya sesekali mulas.
"Mbak Bie, aw ... aduh ... sakit," rintih Prilly memegangi perutnya dan menahan rasa sakitnya hingga menggigit bibir bawahnya.
Ebie yang tadi sedang membersihkan plastik dan merapikan kamar Prilly, lalu menghampiri majikannya itu yang sedang merintih kesakitan.
"Non, ada apa?" tanya Ebie cemas dan khawatir karena wajah Prilly berkeringat.
"Mbak Bie, perut aku sakit. Kayak diremas-remas gitu," kata Prilly merasakan ada sesuatu yang mengalir di pahanya.
"Non, kayaknya mau lahiran deh. Tunggu sebentar, aku telepon Nyonya Annisa dulu." Saat Ebie ingin beranjak pergi, Prilly menahan tangannya.
"Mbak Bie, bantu aku ke rumah sakit dulu. Nanti telepon Mami dan Mama bisa di jalan. Tolong siapkan tas dan barang bawaanku," mohon Prilly dengan rasa sakit di perutnya yang sudah tak tertahankan lagi.
Ebie segera mengemasi baju untuk Prilly dan beberapa pakaian untuk sang bayi nanti. Prilly mengambil kartu kesehatan yang pernah Ali berikan untuknya di dalam laci. Prilly mengambil tas yang biasa ia bawa pergi, lalau Ebie membantu Prilly berjalan keluar rumah.
"Pak Hasan, Non Prilly mau lahiran. Ayo Pak," pekik Ebie kepada sopir pribadi yang sengaja Ali siapkan sejak kehamilan pertama Prilly.
Meski Ali jarang di rumah, namun ia sudah memperhitungkan dan menyiapkan segala sesuatu keperluan Prilly. Ebie membantu Prilly agar naik ke dalam mobil.
"Non, telepon Nyonya Annisa dan Nyonya Wijaya dulu ya?" Ebie segera mengambil smartphone-nya di dalam tas.
Ebie segera menghubungi Nissa sahabat Prilly, Annisa mami Prilly dan Wijaya mama Ali. Di sepanjang jalan Prilly terus merintih kesakitan.
Prilly Pov
Berjuang tanpamu. Satu kata yang membuat hatiku merasa nyeri. Jika wanita lain melahirkan dapat ditemani sang suami berada di sampingnya, merasakan perjuangan berdua dan menekan rasa sakit berdua, namun tidak untukku. Ali, suamiku terakhir mengabari keberadaannya kemarin jika ia sedang RON di salah satu kota yang terkenal menjadi transit bagi pilot saat penerbangan antar provinsi yang berbeda pulau dari ujung barat wilayah Indonesia. Tadi subuh ia baru memberiku kabar lagi, jika dia akan berangkat ke Belanda. Tak mungkin dia pulang saat ini juga, mau tak mau aku harus berjuang sendiri tanpanya.
"Pasien nomer 2 sudah hampir lengkap ya Mbak, selalu pantau," teriak Dokter obsgin setelah selesai memeriksaku.
Aku tak berhenti merintih bahkan berteriak merasakan luar biasanya sakit di seluruh perutku. Air mata dan keringat bercampur menjadi satu. Entah seperti apa tangan Mami yang sedari tadi kugenggam dan kucubit sebagai pelampiasanku menahan sakitnya menghadapi persalinan. Berkali-kali aku memanggil perawat dan Dokter meminta mereka mengakhiri penderitaanku. Tetapi mereka tetap saja memintaku untuk tenang.
"Ini baru pembukaan 7 Bu, yang sabar ya ... atau barangkali pengen telepon suaminya, kali aja habis ditelepon langsung lahiran," kata perawat mencoba mengajakku bercanda.
Tetapi yang ada justru hatiku merasa nyeri dan aku semakin sakit mendengar candaanya. Mana mungkin aku bisa menghubunginya, dia kan sedang di atas awan. Kalau saja dia bisa dihubungi pasti sudah dari tadi aku meneleponnya, kataku dalam hati. Air mataku semakin mengalir dengan derasnya. Merasakan sakitnya jiwa dan ragaku. Sungguh, belum pernah aku merasa sebegitu tersiksanya seperti saat ini.
"Mami, ini sakit sekali. Maafin semua dosa dan kesalahan Prilly selama ini. Ini benar-benar sakit, Mi," aduku kepada Mami yang menemaniku sedari tadi.
"Sabar sayang, kamu harus kuat dan bertahan demi anakmu. Mami yakin kamu pasti bisa." Aku merasa sedikit tenang saat Mami memelukku.
Meski tak ada Ali di sampingku, setidaknya aku masih bisa bersyukur karena ada Mami di sini menemaniku. Sudah hampir satu jam berlalu setelah Dokter memeriksaku. Sekarang rasanya sudah bertambah luar biasa sakitnya. Aku berteriak sejadi-jadinya karena rasanya aku sudah tak kuat lagi. Semua perawat dan seorang Dokter obsgin sedang sibuk menyiapkan peralatan di samping tempat tidurku. Aku rasa inilah waktunya. Rintihanku semakin keras. Begitu pula dengan kontraksi ini, semakin kuat dan sakit sekali rasanya.
'Ya Allah, jika ini adalah waktunya aku mohon kepadaMu lindungi hamba dan buah hati hamba. Aku pasrahkan segala sesuatu kepadaMu. Aku percaya kepadaMu, semua akan baik-baik saja.' Aku selalu memanjatkan doa di dalam hati.
Jika aku boleh meminta, aku ingin suamiku berada di sini menemaniku dan melihat betapa besar perjuanganku untuk melahirkan buah hati kami. Ini bukan hal mudah, jika seorang ibu mampu menghidupi 10 anaknya, namun 10 anak belum tentu dapat menghidupi satu ibu. Sungguh aku merasa berdosa kepada Mami, ternyata beginilah rasanya melahirkan dan mempertaruhkan kehidupan demi memberi kehidupan baru untuk sang buah hati.
'Tuhan, ampuni segala dosa-dosaku kepada Mami yang sudah mempertaruhkan nyawanya untukku. Selama ini aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, hingga terkadang aku melupakan keberadaannya. Maafkan aku Mami.' Tak henti-hentinya air mata penyesalanku dan bercampur air mata kesakitanku selalu membanjiri wajahku.
Aku genggam erat tangan Mami agar aku mendapatkan kekuatan lebih untuk dapat bertahan berjuang demi buah cintaku dengan Ali.
"Tinggal satu lagi pembukaan sudah lengkap," kata Dokter setelah memperiksaku kembali.
Dokter mengajariku mempersiapkan fisik dan mental menghadapi persalinan yang sudah ada di depan mata. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Aku melihat semua yang ada di ruang persalinan ini, sungguh sangat panik. Mereka sepertinya sudah tak sabar menunggu saatnya aku untuk melahirkan. Apalagi aku, semua perasaan dalam dada bercampur menjadi satu, keluar bersama rintihan dan tangisan yang tiada henti. Di saat aku berada dalam kesakitan yang tiada tara, hanya bayangan suamiku yang menghantuiku. Di mana dia sekarang? Apa dia tahu jika aku sudah berjuang di dalam sini? Apa dia memiliki firasat jika anaknya akan segera lahir? Apa dan apa, itu yang selalu aku pikirkan. Pertanyaan yang tak berujung oleh jawaban pasti.
Aku melihat Mami sudah berlinangan air mata. Aku tahu pasti Mami tak tega melihatku kesakitan hingga seperti ini. Samar-samar aku mendengar Mama dan beberapa orang berbicara di depan ruang ini. Pasti itu adalah keluargaku dan keluarganya Ali. Aku mendengar suara Nissa di luar sana, hatiku sedikit merasa tenang, ternyata di luar sana banyak orang yang menanti kelahiran anakku. Aku memejamkan mataku sejenak, mengingat pesan Ali saat kami selesai melakukan salat berjamaah beberapa hari lalu.
'Bunda, yang kuat ya nanti kalau melahirkan tanpa ditemani Ayah. Ayah pasti bisa merasakan dan memiliki firasat jika itu terjadi, karena ikatan batin kita kuat. Dan Ayah pasti bantu doa di mana pun Ayah berada. Jangan mikirin apa-apa, yang penting kumpulkan semua kekuatan Bunda untuk melahirkan anak kita. Kamu pasti kuat ya.'
Air mataku luluh lantang membasahi batal yang menahan kepalaku. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat agar tangisanku tak lepas. Aku selalu menggenggam tangan Mami kuat, entah mungkin saja tangan Mami ini sudah terasa sakit karenaku.
"Mamiiiii," lirihku menangis menatap Mami yang sudah berlinangan air mata.
'Bunda, doa Ayah menyertaimu.' Entah bisikan dari mana itu, namun suara itu seperti milik suamiku, Ali.
Aku memejamkan mataku sebentar, ada sebuah kekuatan yang menyertaiku saat ini. Tak kurasakan lagi sakitnya kontraksi yang datang bertubi-tubi. Kata-kata suamiku baru saja terus terngiang-ngiang seakan membakar semangatku untuk bisa kuat dalam menghadapi ini semua.
"Ibu Prilly, apa sudah siap? Pembukaannya sudah lengkap," kata Dokter kudengar lembut.
"Iya Dok, Insya Allah saya sudah siap," sahutku dengan percaya diri.
Semua mulai pada posisinya masing-masing. Mami tak pernah sedikit pun jauh dariku. Sesekali Mami mengelap keringatku yang bercucuran hingga pakaian yang aku kenakan ikut basah.
Sampai pada akhirnya, terdengar suara tangisan kecil nan nyaring dari seorang bayi mungil memecah ketegangan di ruangan ini. Aku telah berhasil melahirkannya ke dunia ini. Ragaku rasanya sudah tak ada daya, mataku masih terbelalak dan mulutku masih menganga. Puji syukur kepadaMu Tuhan, dia telah hadir dan menghirup oksigen di dunia ini.
aku tersadar setelah mendengar suara. "Selamat ya Bu, anak Ibu telah lahir dengan selamat dan sehat. Perempuan Bu," kata perawat sambil menyerahkan manusia kecil nan merah itu di atas dadaku.
Aku melihat bayi merah itu tengkurap di depan dadaku. Air mata kebahagianku bercucuran tak terbendung lagi. Andaikan kamu melihatnya dan berada di sini, pasti kamu akan merasakan kebahagian yang luar biasa, suamiku. Terbayar sudah rasa sakitku tadi dengan melihat bayi cantik ini di depan mataku. Seketika rasa sakitku hilang tak berasa lagi. Aku tak bisa berkata-kata, lidahku kelu, meski dalam hati ucapan syukur itu seolah tak mau berhenti.
"Selamat ya Sayang, kamu resmi menjadi seorang ibu," ucap Mami lalu mencium keningku. Aku hanya dapat mengangguk menjawab ucapannya tadi.
Aku melihat mata bayi mungilku ini terpejam, tubuhnya masih merah, lalu aku sedikit duduk. Kupeluk dan kudekap erat dia di atas dadaku, kuciumi dia berkali-kali dengan bibirku. Kusentuh jemari mungilnya dan rasanya sungguh sangat luar biasa bahagianya. Sungguh aku tak sabar memberi kabar untuk ayahnya di sana. Bahwa buah cinta kami berdua sudah ada dalam pelukanku saat ini.
"Anakmu lahir dengan selamat, Yah. Dia sangat cantik, mirip denganmu. Bibirnya mungil, hidungnya mancung dan bulu matanya lentik sepertimu," kataku memperhatikan buah cinta kami.
Aku harap kata-kataku ini dapat disampaikan oleh angin hingga berbisik di telinga suamiku yang kini sedang berada di atas awan. Aku peluk bayi mungilku dan aku menciumi wajahnya.
Inikah perjuangan seorang istri yang harus memberikan harapan baru untuk sang malaikat kecil, melahirkan buah cinta tanpa sang suami di sisi. Kalian tak sendiri, karena Tuhan selalu menyertai.
Setelah aku dan bayiku dibersihkan, akhirnya kami pun dipindahkan di ruang inap. Tanpa aku duga, ternyata Ali sudah mempersiapkan semuanya. Jauh-jauh hari dia telah memesankan ruang dan lain sebagainya, hingga aku dan keluarga yang lain tak merasa kesulitan mengurus semua di rumah sakit ini. Sungguh aku merasa beruntung karena memiliki suami yang begitu bertanggung jawab dan penuh dengan perencanaan masa depan. Tuhan memang mengambilnya dariku, tapi Tuhan mengirimkan Ali untuk menggantikan posisinya.
"Sayang," panggil mama mertuaku saat aku sedang memejamkan mata, mengucap syukur yang tak terkira kepada Sang pemberi kehidupan ini.
Perlahan aku membuka mata dan kulihat semua orang sudah berdiri di samping tempat tidurku, tanpa suamiku.
"Mama." Aku langsung memeluk mama mertuaku dan menangis bahagia di dalam dekapannya.
"Selamat ya, kamu dan Ali sudah menjadi orangtua. Bimbing dan didik dia hingga menjadi anak yang dapat dibanggakan oleh keluarga," bisik mama mertuaku membuat hatiku terenyuh mendengar pesannya.
Pesannya memang terdengar mudah, namun beban dan tanggung jawabnyalah yang besar. Aku hanya dapat mengangguk dan aku percaya dengan kasih sayang dan cinta yang aku dan Ali miliki pasti itu semua akan dapat dijalani. Kerja sama yang baik akan menghasilkan hal yang baik pula.
"Kak Prilly, aku udah telepon Kak Ali tadi. Dia baru transit di Singapore, dan dia terdengar bahagia," kata Nissa membuatku semakin berharap jika Ali akan segera pulang. Namun itu tak mungkin, karena ia baru saja akan berangkat.
Aku tahu tipe suamiku bagaimana, dia tak akan meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya di tengah jalan. Namun aku sudah merasa lega, setidaknya ia tahu bahwa kini anaknya sudah lahir ke dunia.
"Makasih ya Dek," ucapku seraya dia memelukku.
Aku mendengar dia menangis di sela-sela leher kananku. Aku menegakkan tubuhnya dan menatapnya heran. Tak biasanya dia menangis di depan orang banyak seperti ini.
"Kenapa?" tanyaku padanya.
"Apa aku bisa sekuat dan setegar Kakak jika nanti melahirkan tanpa ada Mas Tius mendampingiku?" kata Nissa membuatku merasa iba. Lalu kutarik dia lagi dalam pelukanku.
"Kamu harus kuat dan pasti kamu bisa, kamu nggak sendiri. Ada kami semua nanti yang akan menemanimu," ujarku menenangkan hatinya agar tak merasa takut untuk menghadapi persalinannya nanti.
Sungguh betapa besar kuasaMu Tuhan, hingga Kau dapat menciptakan rasa sakit yang luar biasa itu. Itu semua hanya peringatan agar kami dapat selalu merasa bersyukur atas nikmat yang sudah Engkau berikan. Engkau yang memberi nikmat dan Engkau yang memberi kehidupan ini. Terima kasih Tuhan atas karuniaMu.
#######
Bayangkan saja, kalian melahirkan tanpa ada suami di sampingmu? Bagaimana rasanya?
Jengkel?
Marah?
Sebel?
Atau ... seperti Prilly?
Ambil positifnya dan buang negatifnya.
Makasih ya udah vote dan komen.
Maaf aku off lama, jadi baru sempat update sekarang. Masih ada yang sabar menunggu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top