tiga belas

Namanya juga pasangan sejiwa. Tatkala satu jiwa lainnya terbang dalam kondisi penerbangan yang kritis, mau tidak mau kontak batin pun terjalin. Laksana melihat maut berada di depan mata. Menghubungi telepon seluler? Tentu saja. Tapi tiada guna. Sebab telepon seluler tentu masih tidak aktif. Tanpa bisa mengetahui belahan jiwa yang sedang terbang menghadapi kondisi seperti apa di atas awan, hanya doa yang dapat menolong dan menenangkan batin, yang mendadak terasa nyeri dan cemas.

Prilly terus saja mondar - mandir tak tenang di ruang keluarga, ditemani Ebie yang setia memperhatikan dari tempat duduknya. Hati Prilly gelisah tak tenang, telepon seluler suaminya belum aktif. Dari pihak kantor juga belum ada yang menghubunginya lagi.

"Mbak Bie, bagaimana ini? Ya Allah, lindungi suami hamba. Yah ... gimana keadaanmu?" Prilly menggerutu dan selalu memanjatkan doa agar suaminya selalu di dalam perlindungan sang Maha pencipta.

Dia masih saja mondar - mandir menggenggam teleponnya. Sesekali dia mencoba menghubungi nomer Ali, namun nomornya masih juga belum aktif.

"Non, duduk dulu. Jangan terlalu kepikiran, ingat kandungan Non Prilly," ujar Ebie mengingatkan.

Prilly baru teringat bahwa dia tak boleh terlalu stres karena ada nyawa lain yang terikat kontak batin dengannya. Prilly duduk dan berusaha menenangkan hati dan pikirannya. Dia menghela napas dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Prilly mengelus perutnya lembut, berusaha menenangkan jiwa yang bersemayam di dalam perutnya.

"Dedek yang tenang ya? Bunda yakin Ayah akan baik - baik saja. Kita berdoa untuk keselamatan Ayah ya, Nak," seru Prilly berusaha mengajak buah hatinya berkomunikasi.

Ebie selalu setia menemani Prilly, meski Ebie melihat wajah Prilly berusaha tenang, dia yakin di dalam hati majikannya itu merasakan kecemasan dan kekhawatiran yang tinggi. Ebie menatap jam di dinding menunjukan pukul 22.00 WIB. Namun belum juga mereka mendapatkan kabar dari kantor maskapai atau pun dari pihak bandara.

"Non Prilly kalau capek istirahat aja dulu. Kasihan dedeknya juga ikut merasa lelah," ujar Ebie mengingatkan Prilly kembali.

"Mbak Bie, mana bisa aku tenang dan tidur dengan nyenyak, kalau kabar suamiku saja, aku belum tahu pasti. Di mana dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Duh, pokoknya pikiranku sudah campur aduk," sahut Prilly sambil menekan - nekan pelipisnya.

Kepalanya terasa pusing, bagaimana tidak seperti itu? Bayangkan saja, soulmate-nya dalam kondisi penerbangan darurat, apa yang dihadapi Ali dapat benar-benar Prilly rasakan. Seolah dia melihat maut di depan matanya dan dia sadar bahwa keselamatan penumpang dan seluruh crew berada di tangan suaminya. Tubuhnya seperti terhimpit beban yang begitu kuat dan nyaris dia tak mampu bernapas. Namun Prilly tetap harus mampu berpikir jernih, menganalisa dengan berusaha tetap tenang.

Prilly kembali mencoba menghubungi nomor suaminya dan kali ini dia dapat sedikit lega, karena telepon suaminya dapat terhubung.

"Assalamualaikum, Yah?" Begitu telepon tersambungkan Prilly tak dapat lagi menahan rasa yang ingin sekali segera mengetahui keadaan suaminya.

"Waalaikumsalam. Iya ini Ayah, Buuun. Tumben telepon duluan, biasanya Ayah dulu yang telepon," goda Ali terdengar tawa kecil dari seberang.

"Alhamdulillah, Ayah nih, bikin Bunda setengah mati mencemaskan keadaan dan kondisi penerbangan kamu. Apa yang sebenarnya terjadi?" Berbagai berondongan pertanyaan pun diajukan Prilly kepada Ali.

"Sabar Bun ... sabar ... maaf. Iya ... tadi tanda peringatan asap menyala saat tepat di atas lautan," jelas Ali sangat lembut berusaha tenang agar istrinya tak terlalu mencemaskannya.

"Terus?" tanya Prilly yang merasa belum puas mendengar jawaban Ali.

"Terus ... ya hanya bisa menerka true or false ya? mau RTB (Return to base) sudah jauh jaraknya sama saja dengan melanjutkan penerbangan ke Makassar, toh itu bandara terdekat ... ya ... mau nggak mau lanjutkan penerbangan," jelas Ali santai.

RTB (Return to base) yang berarti kembali ke bandara asal. Saat terjadi seperti hal tersebut, seorang pilot harus dapat mengambil keputusan secara cepat, tepat dan aman. Keputusan itu tak bisa main - main, karena menyangkut banyak nyawa.

"Kok, Ayah santai banget sih ceritanya," protes Prilly yang mendengar penjelasan Ali santai sedangkan dia di rumah sudah hampir setengah mati mencemaskan keadaannya.

"Habis mau gimana lagi? Sudah resiko pekerjaan kan, Bun? Tapi terus terang saja waktu di atas tadi, jadi keinget bagaimana ya ... dengan nasib kamu dan anak kita nantinya kalau ada apa - apa sama aku. Keingetnya sih sebentar kok," kata Ali berusaha menjaga image.

Prilly terkekeh mendengar jawaban suaminya yang terkesan jaim, malu mengakui jika sebenarnya dia kepikiran yang sedang menunggu di daratan, siapa lagi kalau bukan istri tercintanya, Prilly.

"Iya, sebentar tapi dampaknya ... sampai kamu landing perasaanku baru tenang," jelas Prilly hatinya sudah merasa lega.

Tanda peringatan asap menyala adalah salah satu kondisi yang dapat mendadak terjadi. Meski pilot sebelum terbang sudah memastikan dan memeriksa kondisi kelayakan pesawat untuk terbang sesempurna mungkin, tapi selalu saja dapat terjadi berbagai kondisi yang tidak terduga. Tanda peringatan asap menyala, mengindikasikan ada yang salah dibagian kelistrikan pesawat. Tak ada satu pun pilot yang berani mengabaikan tanda peringatan sekecil apa pun saat terbang.

"Ya sudah, sekarang kan udah tahu kalau Ayah baik - baik aja kan? Sudah malam, sekarang bobo ya? Kasihan dedek," ujar Ali lembut menghangatkan perasaan Prilly.

"Sebentar lagi, masih penasaran, apa sih yang sebenarnya terjadi? Kok bisa sampai mengeluarkan tanda peringatan asap menyala?" tanya Prilly duduk relaks seraya meluruskan kakinya di atas sofa dan menyandarkan punggungnya santai.

"Trouble engine, Bun. Udah ah, besok lagi ceritanya kalau Ayah udah pulang ke rumah," jawab Ali yang terdengar buru - buru.

Seorang pilot tak hanya harus menghadapi engine yang bisa saja mendadak error, namun ada satu hal lagi yang harus selalu mereka ingat. Secangih apa pun alat yang diciptakan manusia untuk memprediksikan cuaca, tetap saja the unpredictable power of nature. Masih saja satu kondisi lain yang harus cepat diperhitungkan secara matang.

"Iya, habis ini, masih berapa leg?" tanya Prilly penuh perhatian.

"Masih 2 leg lagi. Sabar ya Bun?" jawab Ali lembut meminta pengertian istrinya.

Prilly selalu berusaha sabar dan menerima keadaan jika dia memang selalu harus mengalah dengan penumpang suaminya.

"Iya Ayah, ya sudah kamu hati - hati ya? Jaga kesehatan. Assalamualaikum," ucap Prilly yang sebenarnya dalam hati belum rela mengakhiri teleponnya.

"Waalaikumsalam, jaga kesehatan ya Bun. Jangan lupa minum vitamin dan susu ibu hamilnya. Insya Allah besok siang Ayah udah sampai rumah."

Ali mengakhiri teleponnya membuat Prilly mendengus kasar. Prilly meletakkan smartphone-nya di depan dada lalu ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.

"Pak Ali baik - baik saja kan Non?" tanya Ebie yang sedari tadi diam menyimak percakapan Prilly dan Ali.

Prilly mendongakkan kepalanya, lalu menatap Ebie yang duduk di seberangnya dengan senyum kelegaan hati.

"Alhamdulillah, dia baik - baik saja, Mbak Bie. Hanya ada trouble engine tadi," jelas Prilly.

"Syukur deh, udah bikin jantungan aja orang kantornya Pak Ali ya, Non," ujar Ebie mengelus dadanya ikut merasa lega.

Prilly tersenyum manis ke arah Ebie, "Menjadi pilot itu nggak terbiasa sembrono, Mbak Bie. Segala perbuatannya pasti selalu diperhitungkan masak - masak. Karena pilot itu terbiasa memikirkan keselamatan hidup orang lain di atas keselamatan dirinya sendiri."

"Pernah punya pikiran menyesal nggak Non, menikah sama Pilot. Secara dulu kan mau nikahnya sama kakaknya Pak Ali, yang kopassus itu," tanya Ebie sedikit menggoda Prilly.

"Namanya sudah takdir Mbak Bie. Meski itu adalah pilihan terakhir, tapi disatu sisi boleh jadi itu merupakan pilihan terbaik dengan catatan kita harus siap pula dengan segala resikonya. Menikah dengan seorang pilot, ya ... beginilah kurang lebih resikonya. Terima saja dan nikmati saja, Mbak Bie," ujar Prilly santai sambil beranjak dari sofa diikuti oleh Ebie.

"Ya deh Non, sekarang sudah malam. Lebih baik Non Prilly istirahat, besok pagi kan harus bangun buat sahur," kata Ebie dibalas dengan senyuman terbaik dari Prilly.

"Iya deh, makasih ya Mbak Bie, sudah mau nemenin," ucap Prilly seraya berjalan ke kamarnya.

"Iya Non," balas Ebie juga beranjak pergi meninggalkan ruang keluarga.

***

Prilly berada di depan rumah sedang asyik menyiram tanamannya. Sebuah mobil managemen berhenti di depan rumah. Prilly yang sudah dapat menebak siapa yang datang, langsung menjatuhkan selang di tanah lalu membuka gerbang dengan perasaan tak sabar.

"Cieeee, Captain Ali baru juga turun dari mobil langsung sudah ada yang menyambut dengan senyuman bidadari surga," celetuk seorang kopilot.

Ali hanya tersenyum menanggapi gurauan itu. Sudah menjadi hal biasa bagi Ali dan Prilly.

"Selamat pagi Nyonya Captain Ali," sapa para pramugari dan pramugara dari dalam mobil.

"Pagi juga," balas Prilly menebar senyum ramah kepada mereka.

"Makasih ya, untuk penerbangan yang menegangkan," ucap Ali mengangkat tangan kanannya kepada tim penerbangan yang sudah berjuang bersamanya kemarin.

"Sama - sama Captain," balas mereka serentak lalu mobil melaju meninggalkan rumah Ali.

Prilly masih setia menunggu sang suami di depan gerbang. Ali segera menarik kopernya menghampiri istrinya dan merangkulnya masuk ke dalam rumah.

"Bagaimana keadaanmu dan anak kita selama aku terbang?" Pertanyaan yang selalu Ali lontarkan pertama kali saat pulang.

"Alhamdulillah, baik dan anak kita juga sehat. Perkembangannya sesuai dengan usia kandungan," jawab Prilly sambil mengelus perutnya lembut. Seraya mereka masuk ke dalam rumah.

"Syukur deh kalau begitu," kata Ali menarik napasnya dalam, menandakan dia kelelahan.

"Ayah, puasa nggak?" tanya Prilly bersiap jika Ali tak puasa ingin membuatkan makanan untuknya.

"Insya Allah puasa Bun. Udah yuk masuk ke kamar aja. Aku capek banget," seru Ali memijat tengkuknya yang terasa kaku.

Mereka masuk ke dalam kamar, Ali segera membersihkan diri sedangkan Prilly membongkar kopernya. Memilih pakaian yang kotor dan membawanya ke tempat cucian baju. Tak ingin Ali nanti mencarinya, Prilly pun langsung kembali ke kamarnya.

"Dari mana?" tanya Ali yang baru saja selesai berpakaian lengkap.

"Dari belakang, naruh pakaian kotor kamu," jawab Prilly merapikan koper Ali dan menyimpannya di samping lemari.

Ali merangkang ke atas tempat tidur lalu terlentang seperti mendapat kenikmatan tersendiri karena dapat meluruskan otot - ototnya yang sudah kaku.

"Sini Bun, temenin aku istirahat. Aku mau ngobrol sama anak kita," ujar Ali melambaikan tangannya kepada Prilly.

Prilly hanya tersenyum lalu mengikuti perintah Ali. Prilly duduk bersandar di sandaran ranjang dan Ali meletakkan kepalanya di atas pangkuan Prilly.

"Hallo anak Ayah, baik - baik ya Nak, di dalam sana. Ayah sayang sama kamu," ucap Ali berbicara di depan perut Prilly.

Prilly tersenyum melihat Ali begitu perhatian dan sayang kepada buah hati mereka. Ali mengelus perut Prilly sehingga hati Prilly merasa tenang.

"Bun, kapan Mbak Bie mau cuti pulang kampung?" tanya Ali mendongak menatap Prilly.

Prilly menunduk sambil tersenyum dan mengelus kepala Ali lembut.

"Belum tahu Yah, nanti aku tanyakan dulu ya?" kata Prilly menatap wajah lelah suaminya.

"Kasih uang lebih ya Bun, buat keluarganya di kampung. Sebelum dia pulang, ajak dia beli sesuatu yang dibutuhkan nanti di kampungnya. Sama belikan baju lebaran buat orangtuanya Mbak Bie," ujar Ali penuh perhatian.

Meski Ali jarang di rumah dan jarang berkomunikasi dengan Ebie namun asisten rumah tangganya itu tak luput dari perhatiannya. Ali pun sudah menyiapkan satu kursi untuk Ebie saat nanti dia pulang kampung. Biasanya dalam perhitungan kondisi peak season seperti lebaran dan natal untuk boeing 737-300 kapasitas maksimum 149, hitungannya 140 penumpang ditambah 3 untuk istri dan 2 anak. Plus FA (flight attendant) dengan hitungan yang sama.

"Iya," jawab Prilly sambil terus memperhatikan wajah lelah suaminya.

"Aku mau tidur sebentar, kamu temenin aku ya? Jangan pergi sebelum aku bangun. Aku kangen sama kamu dan anak kita," pinta Ali sambil memejamkan matanya yang sudah terasa sangat berat.

"Iya, tapi benerin dulu posisi bobonya. Semutan nih kaki Bunda," ujar Prilly membuat Ali tersenyum di dalam tidurnya.

Ali menggeser kepalanya untuk tidur di bantal, lalu Prilly melorotkan tubuhnya hingga berbaring di samping Ali. Prilly memiringkan tubuhnya menghadap kepada Ali. Posisi tidur Ali yang miring menghadapnya membuat Prilly dapat lebih jelas melihat wajah lelah dan letih suaminya.

Bagaimana tidah kelelahan, jika Ali harus terbang enam leg sekaligus dalam sehari. Tak terbayangkan betapa letih yang harus ditanggung. Belum lagi membayangkan berbagai kesulitan yang harus dihadapinya, termasuk disandera penumpang karena delay. Prilly menggapai pipi Ali lalu mengelusnya sangat lembut. Hatinya diselimuti rasa berdosa dan bersalah.

"Maaf sudah membuatmu lelah, belum lagi kamu harus menuruti mauku saat kamu berada di rumah dan itu menambah rasa lelahmu." Air mata Prilly menggantung di pelupuknya.

"Jangan bilang begitu, itu sudah kewajibanku sebagai kepala rumah tangga. Tugas kamu hanya mendoakanku dan menjaga nama baikku saja saat aku nggak ada di rumah. Melayaniku sebagai mestinya seorang istri dan itu sudah cukup buatku," ujar Ali tanpa membuka matanya namun masih mendengar ucapan Prilly tadi.

"Belakangin dong Bun. Mau meluk kamu terhalang perut nih," rajuk Ali berbicara, masih tetap menutup matanya.

Prilly hanya tersenyum lalu mengubah posisinya membelakangi Ali. Ali segera merengkuh tubuh istrinya dan memeluknya dari belakang. Ali merasa nyaman dan tenang karena dapat terasa nyata berada di samping istrinya. Kini Ali dapat tertidur lelap melepas beban di pundaknya sejenak.

###########

Mau sampai kapan ini?

Hohohohohoho

Makasih yang sudah sabar menunggu dan memberikan vote komennya ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top