sembilan belas
Pagi yang cerah terdengar burung pipit bersahutan di dahan pohon cemara. Tahun berganti, usia Kiran pun semakin bertambah.
"Bunda, kalau Ayah pulang nanti, kita beli es krim ya?" seru Kiran saat Prilly menyisir rambutnya.
Prilly tersenyum, kedekatan Kiran dan Ali selama ini sangat baik. Walau Ali jarang di rumah, namun Kiran selalu manja dan apapun yang ia lakukan teringat kepada ayahnya.
"Kenapa harus nungguin Ayah, hari ini saja Bunda bisa antar kamu," ujar Prilly selesai mengikat rambut Kiran.
"Nggak mau Bundaaaaaa, kita tunggu Ayah pulang aja. Kalau sama Ayah kan lebih seru," kata Kiran memutar tubuhnya lalu memeluk Prilly manja.
Prilly membalas pelukan putri cantiknya itu, lalu mengangkat tubuhnya ke atas pangkuannya. Prilly mencium kening Kiran, mencurahkan kasih sayang yang ia miliki untuk putri kecilnya itu.
"Iya deeeeeh, Bunda ngikutin aja. Asal kamu jangan merengek-rengek menyuruh Ayah cepet pulang kalau nanti Ayah telepon. Ayah kan sedang bekerja dan pekerjaan Ayah itu beresiko tinggi sayang. Ayah bawa banyak sekali penumpang, terbang di atas awan, jadi Ayah juga perlu konsentrasi yang tinggi," ujar Prilly perlahan memberikan Kiran pengertian tentang pekerjaan ayahnya.
Pengertian sejak dini memang perlu dilakukan, karena memory anak masih bagus dan mudah menangkap penyampaian yang jelas.
"Iya Bunda," sahut Kirana semakin mengeratkan pekulannya kepada Prilly.
"Oh iya, hari ini kan katanya ada lomba mewarnai di sekolahan. Kiran sudah belajar mewarnai?" tanya Prilly menurunkan Kiran dari pangkuannya.
"Udah dong Bun," jawab Kiran mantap lalu berlari ke meja belajar mengambil tas sekolahnya.
"Okay deh, semoga harimu menyenangkan, Nak." Prilly mencium pucuk kepala Kiran lalu menggandengnya keluar dari kamar.
"Sebentar Bunda ambil tas dulu di kamar." Prilly membuka pintu kamarnya lalu mengambil tas jinjing yang biasa dia bawa bepergian.
Sejak Kiran mulai masuk sekolah Taman Kanak-kanak, Prilly dan Ali memisahkan kamar mereka. Kiran tidur di kamar bersebelahan dengan kamar orang tuanya. Hal itu semata-mata untuk mengajarkan kepada anak arti kemandirian dan keberanian mental. Kiran anak yang cerdas dan pemberani, memang Ali dan Prilly selalu memanjakannya, namun mereka juga membekali Kiran agar tak selalu tergantung pada orang lain dan meyakinkan pada diri Kiran, bahwa yang selama ini dia miliki hanyalah semata titipan Tuhan dan kapanpun dapat Dia ambil kembali. Ali dan Prilly ingin mengajarkan arti kesabaran, keikhlasan dan rasa bersyukur kepada Kiran.
Usai mengambil tasnya, lalu Prilly menggandeng tangan Kiran menuruni tangga.
"Selamat pagi Mbak Bie," sapa Prilly setelah dia dan Kiran sampai di ruang makan.
"Selamat pagi Non, waaaaah udah haruuuuuum. Baunya siapa nih ya?" Ebie menyeringai jahil kepada Kiran, karena Ebie juga sudah terbiasa menggoda dan bercanda bersama Kiran.
"Bau harum aku Bibi," sahut Kiran melepaskan tas sekolahnya, lalu dengan susah payah dia menaiki kursi.
Ebie tersenyum melihat tingkah laku Kiran yang polos dan terkadang lucu hingga membuat seisi rumah dipenuhi tawa yang menggelegar.
"Iya deeeeeh, Bibi yakin pasti tadi mandinya dibantuin Bunda. Kan kalau Kiran mandi sendiri masih bau ompol," goda Ebie sambil menutup hidungnya, membuat Kiran menatapnya tak setuju.
"Nggak Bibiiiiiii ... Kiran mandi sendiri kok. Bunda cuma bantu rapiin tempat tidur sama sisir rambut aku. Aku juga udah nggak ngompol," bantah Kiran polos karena tak memahami candaan Ebie tadi.
"Iya ... iya ... iya, Kiran kan anak yang pintar dan baik. Bibi yakin Kiran bisa mandi sendiri dan nggak ngompolan lagi," ujar Ebie yang merasa sudah puas menggoda Kiran pagi ini.
Prilly hanya tersenyum menyimak perbincangan Kiran dan Ebie, seraya mengoleskan roti untuk Kiran.
"Ini Sayang sarapan dulu." Prilly memberikan roti yang sudah diolesi selai kepada Kiran, "Bunda siapin bekal buat kamu dulu ya?"
"Iya Bunda, makasih," ucap Kiran tulus membuat hati Prilly bahagia.
Kiran benar-benar menerapkan apa yang sudah Ali dan Prilly didik selama ini. Mengucapkan 3 kata ampuh dalam bersosialisasi, yaitu 'Maaf', 'Terima kasih' dan 'Tolong'. Kata yang kini mulai luntur namun itu sangat diperlukan dalam keseharian kita.
"Sama-sama Sayang." Prilly mengelus lembut pipi Kiran lalu ke dapur memasukkan nasi goreng mentega dan telur mata sapi yang tadi dia buat sebelum mengurus persiapan Kiran untuk ke sekolah. Kiran sangat lahap memakan sarapannya, Prilly datang membawakan bekal Kiran dan segelas susu putih untuknya.
"Habiskan ya Sayang, ini susunya." Prilly meletakkan susu itu di sebelah Kiran lalu memasukkan bekal Kiran ke dalam tas sekolahnya.
Saat Prilly menunggu Kiran sarapan, deringan handphone-nya mengusik telinganya. Pandangannya dari menatap Kiran kini beralih mengambil handphone di dalam tasnya. Senyum manis mengembang di bibirnya, ia segera menerima panggilan itu.
"Assalamualaikum Yah," ucap Prilly menyapa suami yang kini berada jauh darinya.
"Waalaikumsalam Bun," balas Ali melegakan hati Prilly.
"Ayah lagi dimana?" Pertanyaan wajib pun mulai diluncurkan oleh Prilly.
"Ini sedang delay di bandara Juanda, Bun," jawab Ali terdengar helaan napas lelah.
"Bunda, Kiran mau bicara sama Ayah," pinta Kiran menggoyangkan lengan Prilly yang berada di atas meja.
Ali yang mendengar suara putrinya tersenyum bahagia di seberang sana. Rindunya untuk sang anak semakin besar. Jika Ali suruh memilih, ia ingin sekali selalu dekat dengan Kiran dan seperti ayah kebanyakan yang akan mengantar anaknya ke sekolah setiap hari dan menjemputnya saat dia pulang nanti. Namun itu kini tinggallah bayangan semu, tanggung jawabnya sebagai seorang Pilot tak kan dengan mudah ia melepaskan begitu saja.
"Yah, ini putri kecilmu mau bicara," ucap Prilly lalu memberikan handphone-nya untuk Kiran. "Hallo Ayah," seru Kiran manja menggetarkan hati Ali.
"Hallo cantiknya Ayah, kata Bunda hari ini ada lomba mewarnai ya?" tanya Ali menyimpan rasa kangennya dan memperlihatkan semangat yang tinggi untuk Kiran.
"Iya, nanti Kiran mau mewarnai gambar, Ayah," sahut Kiran bahagia.
"Semangat ya Nak, Ayah selalu mendoakanmu dan setelah nanti Ayah pulang kita jalan-jalan, okay?"
"Yeeeeaaaaaaa asyiiiiiiik, okay Ayah," sahut Kiran berjingkrak bahagia sampai melompat-lompat mengekspresikan kebahagiaannya.
Kebahagiaan Kiran adalah aset termahal dan sangat berarti untuk Ali maupun Prilly. Maka dari itu Ali dan Prilly akan selalu berusaha membuatnya ceria dan bahagia.
"Ya sudah, sekarang Ayah mau kerja dulu buat cari uang biar besok kita bisa jalan-jalan ya? Doakan Ayah ya, Nak?" pinta Ali lembut penuh kasih sayang memberi pengertian sederhana yang mudah anak seusia Kirana memahami.
"Baik Ayah, I love you pilotnya Kiran."
"I love you to Kiran cantiknya ayah." Kiran pun memberikan handphone-nya kepada Prilly.
"Sudah ngobrolnya sama Ayah?" tanya Prilly memastikan jika Kiran sudah puas mengobrol dengan Ali seraya meminta handphone-nya.
"Sudah Bunda," jawab Kiran lalu meminum susunya.
"Hallo Yah, Bunda mau antar Kiran sekolah dulu ya? Ayah hati-hati saat bekerja. Jangan lupa berdoa ya?" ujar Prilly setelah menempelkan handphone-nya di telinga.
"Iya, Bun. Bunda juga hati-hati ya? Pakai supir, jangan nyetir sendiri," ujar Ali mengingatkan.
"Iya Ayah, ya sudah aku sayang sama kamu," ucap Prilly menenangkan hati Ali.
"Aku juga sangat mencintaimu dan Kiran, Bun. Baik-baik di rumah ya Sayang." Dengan perasaan tak rela Ali harus memutuskan panggilannya.
Ali harus kembali bekerja menyiapkan penerbangan selanjutnya. Sejak kelahiran Kiran, pekerjaan Ali semakin lancar dan tanggung jawab pun juga semakin tinggi karena perusahaan mempercayainya untuk mengendalikan pesawat dengan ukuran yang lebih besar dari sebelumnya.
"Ayo Sayang, kita berangkat." Prilly menggandeng tangan Kiran. "Mbak Bie, kami berangkat dulu ya?" pamit Prilly kepada Ebie yang berada di dapur.
Ebie berlari kecil menghampiri Prilly dan Kiran yang sudah siap untuk berjalan. "Hati-hati ya Non," seru Ebie mengantar Prilly dan Kiran sampai di pintu.
"Iya Mbak Bie, jaga rumah baik-baik ya?" ujar Prilly menunggu seorang supir mengarahkan mobilnya ke depan teras rumah.
"Bibi, Kiran berangkat sekolah dulu ya?" Kiran menghampiri Ebie lalu menyalami tangannya dan menciumnya, tanda hormatnya kepada orang yang lebih tua.
Hati Ebie bergetar lirih, bayi mungil yang dulu masih merah kini sudah beranjak menjadi gadis cantik dan pintar.
"Belajar yang pintar ya Dedek Kiran yang cantiknya mengalahi ratu Elizabeth." Ebie mencium gemas pipi Kiran, membuat gadis kecil itu terpingkal karena kegelian.
Prilly yang melihat hal itu ikut terkekeh, kebahagian Kiran adalah kebahagiaannya juga. Senyum Kiran adalah senyumnya, begitu pun setetes air mata yang jatuh dari Kiran, adalah rasa sakit yang luar biasa bagi seorang ibu.
"Mari Non." Pak Hasan, seorang supir pribadi Prilly dan Ali membukakan pintu mobil.
"Ayo Sayang, nanti kesiangan loh," ajak Prilly lalu Ebie melepaskan Kiran.
"Da ... da Bibi, Kiran berangkat dulu ya?" Kiran melambaikan tangannya kepada Ebie seraya menggandeng tangan Prilly untuk masuk ke dalam mobil.
"Da ... da Dedek Kiran." Balas Ebie dengan senyum yang selalu mengembang di bibirnya.
Hal yang tak pernah terasa, saat melihat seorang anak yang dulu masih merah menangis, kini seiring bergulirnya waktu, dia tubuh menjadi seorang yang hebat, dia dapat berdiri sendiri di atas topangan kakinya.
***
Terbang adalah pencapaian tertinggi bagi umat manusia. Sembari menunggu Kiran mengikuti pelajaran, Prilly duduk di sebuah taman yang dekat dengan lapangan tempat take off dan landing pesawat. Hidup dan bersosialisasi di lingkungan bandara adalah keseharian Prilly selama ini setelah ia dan Ali pindah di rumah yang Ali beli satu tahun lalu. Dengan alasan, Ali ingin lebih cepat bertemu dengan keluarga saat nanti dia pulang dinas.
"Hayyo! Ngapain senyum-senyum sendiri?" Suara dari arah belakang mengagetkan Prilly yang tadi sedang melamun melihat pesawat terbang yang silih berganti turun dan naik ke atas udara.
"Nggak papa Dek, kamu dari mana? Kok Kakak baru lihat kamu?" tanya Prilly kepada Nissa, yang kini duduk di sebelahnnya.
"Tadi aku ke ruang guru dulu," jawab Nissa sedih.
Prilly menghela napasnya dalam, ada rasa tak rela jika Nissa akan jauh darinya. Air mata mereka menggantung di pelupuknya masing-masing.
"Kamu yakin mau jauh dari Kakak?" tanya Prilly dengan suara tertahan di tenggorokan. Prilly pun meloloskan air matanya sambil menoleh kepada Nissa yang sudah menunduk menangis hingga bahunya terguncang.
Prilly memeluk Nissa dan mereka pun menumpahkan kesedihannya bersama.
"Maaf Kak, aku harus ikut Mas Tius. Aku juga berat kalau jauh sama Kakak. Kita udah sering bersama dan Kakak juga udah paham denganku," seru Nissa dengan suara parau.
Prilly mengangguk memahami perasaan dan keputusan Nissa. "Ikuti kemana pun suamimu pergi dan ingat satu pesan Kakak, sejauh apapun nanti kamu sama Kakak, kamu nggak boleh melupakan Kakak ya?" seru Prilly menegakkan tubuh Nissa dan menangkup wajah Nissa yang sudah basah karena air mata.
"Aku janji, kita akan tetap berhubungan dan Kakak juga janji sama aku, akan main ke Semarang sama Kiran juga. Ya?" Nissa memeluk Prilly seakan dia tak rela jika harus jauh dari orang yang sudah dia anggap kakaknya sendiri, karena Nissa adalah anak pertama jadi selama ini Nissa tak merasakan kasih sayang seorang kakak.
"Eh, ngapain kita sampai nangis begini? Kalau kita kangen kan tinggal ikut terbang suami, sampai deh," kata Prilly menghibur Nissa.
Nissa menegakkan tubuhnya lalu memukul keningnya sendiri. "Oh iya, aku lupa. Gitu aja kok repot." Akhirnya Prilly dan Nissa pun terkekeh geli karena menyadari kekonyolan mereka.
Prilly dan Nissa saling membantu menghapuskan air mata yang tadi membasahi pipi mereka. Persahabat yang tulus, meski terpisah oleh jarak, namun akan terasa dekat karena ikatan batin yang kuat.
"Udah ah, dasar cengeng," goda Prilly menarik hidung Nissa yang merah karena menangis.
"Halah, Kakak juga," balas Nissa namun ia hanya mencolek hidung mancung Prilly.
Mereka tertawa bersama menghabiskan waktu menatap lurus ke depan melihat berbagai burung besi melakukan aktivitasnya.
"Kak, nyesel nggak nikah sama Pilot?" tanya Nissa tiba-tiba saat mereka hening memperhatikan area bandara yang luas di depan mata.
Prilly tersenyum tanpa menoleh Nissa. Dia menjawab, "Bersanding dengannya, kita nggak akan kehabisan cerita. Setiap pulang dinas, dia pasti punya cerita unik atau lucu yang disimpannya untuk kita."
Nissa tersenyum puas menerima jawaban Prilly. "Meskipun harus berjuang menahan rindu?" tanya Nissa yang berniat ingin mengetahui isi hati Prilly.
"Ya, kita akan mendewasa bersamanya dan fokus pada hal yang penting-penting saja. Jika masing-masing memiliki daya tahan yang tangguh, maka rindu akan disikapi sebagai mesin akumulator cinta. Mesin itulah yang akan terus mengembangkan rasa sayang tiada hentinya." Nissa tersenyum mendengar jawaban bijak Prilly.
"Lagipula, dengan dia, kita akan belajar hanya memikirkan hal yang penting-penting saja. Apakah penerbangannya hari ini lancar, itu penting. Apakah keamanannya terjamin, itu penting. Kapan dia terakhir kali kasih kita kado? Itu nggak penting!" sahut Nissa membuat Prilly mendengar celetukan itu tertawa keras.
"Benar banget Dek, jadi istri Pilot, buat kita mengikuti cara dia berpikir dan aku merasa sekarang lebih disiplin," ujar Prilly mengingat perubahan kesehariannya selama ini setelah menikah dengan Ali.
"Bukannya Kakak dulu juga sudah diajarkan kedisiplinan sama Pak Tentara itu?" goda Nissa menyinggung Al. Prilly bukannya tersinggung namun dia justru tertawa renyah.
"Disiplin Pilot sama Tentara beda kali Dek. Mereka memiliki misi yang berbeda juga. Tapi emang sama-sama kuat mental sih, dua-duanya berarti dalam hidupku. Tapi yang lebih beruntung ayahnya Kiran," tukas Prilly lalu mereka tertawa bersama.
Memang, frekuensi pertemuan akan begitu kecil seiring jam terbangnya meninggi. Jelas saja, akan ada perjuangan untuk menahan rindu. Namun, hal ini bisa juga ditanggapi dengan mengubah sudut pandang. Tabungan keluarga tak hanya soal nominal, namun rindu yang spesial. Jika masing-masing memiliki daya tahan yang tangguh, maka rindu akan disikapi sebagai mesin akumulator cinta. Mesin itulah yang akan terus mengembangkan rasa sayang tiada hentinya.
########
Jangan demo ya, karena menunggu lama. Soalnya aku harus banyak tanya dulu pada nara sumber. Terus menumpahkan pada tulisan, jadi butuh waktu. Nggak asal ngarang. Walaupun ada karangannya karena sudah dikombinasi sama imajinasiku, tapi aku kan nggak boleh asal. Karena bagi aku menulis tak sekedar hanya mengarang, namun juga berbagi informasi.
Makasih ya yang udah sabar menunggu dan memberi dukungannya selama ini buat aku.
Miss you all and love you 😘😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top