dua puluh satu

Menikah dengan seorang pilot, ibarat kita menjadi pramugari yang siap bekerja sama mencapai tempat yang dikehendaki hingga selamat sampai tujuan. Begitulah hidup dengan airman, menggenggam satu yoke untuk mengendalikan bersama arah tujuan kebahagian rumah tangga.

"Ayo Bunda," seru Ali menunggu Prilly di ruang tamu bersama Kiran.

"Iya ... sabar dulu Yah," sahut Prilly sembari menghampiri Ali.

Usai menjalani terbang 10 leg, meski dengan wajah kelelahan, namun Ali tetap menepati janjinya kepada Kirana, yang akan mengajak putri kecilnya bermain sepuasnya. Prilly membawa surat kabar di tangannya, ia memberikan kepada sang suami.

"Apa ini Bun?" tanya Ali membaca surat kabar itu.

"Baca aja dulu Yah," titah Prilly lalu memakaikan jaket jeans kepada Kiran.

Ali terkekeh setelah membaca surat kabar tersebut, "Bunda ngasih ke Ayah, apa maksudnya ini?" tanya Ali tak mengerti tujuan Prilly menyuruhnya membaca surat kabar itu.

"Yah ... apa perusahaan Ayah juga seperti itu? Apa mereka berpikir kalau tenaga pilot itu sama dengan tenaga kuda? Pilot itu juga manusia kan Yah?" omel Prilly yang sejujurnya mengkhawatirkan keadaan sang suami.

Ali hanya terkekeh melihat wajah istrinya yang terlalu serius. "Sini Bunda ... Ayah kasih tahu rahasia yang belum tentu semua orang tahu." Ali menarik tangan Prilly pelan agar ia duduk di sebelahnya.

"Ayah, Kiran mau panggil Bibi Ebie dulu ya?" sela Kiran meminta izin turun dari sofa.

"Iya Sayang, Ayah sama Bunda tunggu di sini ya? Bibi Ebie suruh cepat sedikit," seru Ali mengelus kepala Kiran pelan.

Kiran berlari kecil ke belakang untuk mencari Ebie. Sedangkan Ali menarik kepala Prilly agar bersandar di dada bidangnya. Ali mengelus kepala Prilly dan mencium pucuk kepalanya untuk meredakan kegelisahan hati istrinya itu.

"Bunda, memang jam kerja Ayah itu nggak seperti pekerja yang lain. Ibarat kalau di darat itu, Ayah supir truk. Masih mending supir truk yang bisa meminggirkan truknya untuk beristirahat sejenak. Tapi, Ayah nggak mungkin kan ... menghentikan pesawat di udara? Memang jam kerja yang sudah ditentukan dalam aturan penerbangan memperbolehkan pilot bekerja selama 16 jam nonstop. Jadi wajar kalau Ayah pulang membawa tubuh lelah. Maaf," jelas Ali panjang lebar membuat hati Prilly terenyuh lalu memeluk Ali erat dan menangis di dada bidangnya.

"Maafkan Bunda, Yah. Bunda enak-enakan tidur di rumah, sedangkan Ayah harus bekerja keras di atas awan demi mensejahterahkan keluarga kita," ucap Prilly merasa bersalah hingga terdengar sesenggukan.

Ali hanya tersenyum sangat manis dan mengelus lengan Prilly sambil ia mendekap istrinya erat. "Buat apa minta maaf Bun, menjadi pilot adalah pilihan Ayah jauh sebelum mengenal Bunda dan Ayah juga harus menerima semua resiko menjadi seorang pilot," kata Ali menenangkan hati Prilly.

Prilly menegakkan tubuhnya, melihat wajah lelah Ali namun tertutup oleh senyuman manis dari bibir merah itu. Ali mengusap air mata Prilly dengan ibu jarinya.

"Kalau Ayah bekerja 16 jam nonstop, terus makannya bagaimana?" tanya Prilly khawatir.

"Bunda tenang saja, memang sih Bun ... soal makan itu harus sepinter-pinternya kita ngatur waktu dan mencari celah. Apalagi kadang, maskapai tidak memberi kami makan pagi atau makan siang, atau bahkan waktu untuk makan. Jadi kami harus menunda penerbangan sejenak untuk sekedar mengisi perut. Walaupun begitu kami tetap akan berusaha sampai di tempat tujuan tepat waktu,
supaya perusahaan maskapai kami mencatat track record yang lebih baik mengenai kedatangan tepat waktu (on time arrival)," ujar Ali lalu terbahak mengingat sedikit kenakalannya dan tim penerbangan.

Prilly menutup mulutnya karena paham dengan maksud tawa suaminya. "Jadi, kalau penerbangan delay itu kadang dari ulah kalian?" tanya Prilly tak percaya.

Ali hanya tersenyum polos dan mengangguk dengan tampang tak berdosa. "Cuma cara itu Bun kita bisa makan, bayangkan saja ... begitu pesawat landing, penumpang sudah turun ... kita masih di atas pesawat memanuver untuk parkir di apron, terus masih lanjut persiapan untuk penerbangan selanjutnya. Kapan waktu kita makan? Jalan satu-satunya ya ... sedikit nakal, molorkan waktu terbang 15 menit sampai 30 menit," jelas Ali sedikit menjawab kebingungan Prilly dengan penundaan penerbangan waktu yang singkat.

"Ooooh, jadi ini rahasia kalian?" sergah Prilly menatap Ali tajam namun diiringi senyum tak percayanya.

"Tapi sebenarnya sih ... kalau di atas pesawat kita masih boleh kok makan atau minum di dalam kokpit. Cuma yaaaa ... itu ... nggak bisa leluasa. Paling yaaa ... minum teh, kopi dan makanan ringan gitu. Asal nggak mengganggu penerbangan sih ... nggak masalah," ujar Ali mempertegas.

"Kalau solat masih bisa nggak?" tanya Prilly yang merasa sangat penasaran, apakah selama ini suaminya menjalankan kewajiban 5 rakaat itu?

"Masih bisa kok Bun, tapi ... itu dilakukan saat posisi pesawat sedang santai dan berjalan normal loh," jawab Ali melegakan hati Prilly, karena Prilly pikir selama Ali bekerja tak dapat melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim.

"Oh iya, dulu waktu puasa ... Ayah gimana menjalankannya?" Ali tersenyum penuh arti dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Mmm ... bisa puasa juga kok Bun, tapi kan Ayah termasuk musafir, boleh tidak puasa," sahut Ali membela diri, namun keburu Prilly menatapnya tajam untuk menuntut penjelasan yang lebih lanjut.

"Maksudnya apa nih? Perasaan Bunda jadi nggak enak," ujar Prilly menatap Ali mengintimidasi.

Ali menyengir, memamerkan giginya yang rapi kepada Prilly, "Kalau terbang domestik sih ... Ayah biasanya tetap puasa. Tapi kalau terbang long haul ... Ayah tidak puasa. Kecuali ke arah timur karena puasanya lebih pendek, jadi lebih cepet buka puasanya juga," jelas Ali dibalas senyum geli dari Prilly.

"Dasar! Curang!" cerca Prilly mencubit pelan perut Ali.

"Setelah jadi Pilot, Ayah jadi mengerti kenapa musafir boleh tidak puasa. Ternyata Allah sudah merancang sebaik-baiknya aturanNya," sahut Ali memberikan pengertian kepada istrinya.

"Dasar Captain! Ternyata semaunya sendiri," ujar Prilly menowel dagu Ali.

"Jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia perusahaan, okay?" rajuk Ali menaik turunkan kedua alisnya kepada Prilly.

Prilly hanya terkekeh lalu berdiri ,"mau kemana?" tanya Ali menahan tangannya.

"Mau cari Mbak Bie sama Kiran, kok mereka lama ya ...." Prilly berjalan menuju ke arah kamar Ebie, sampai di ruang makan, Prilly melihat Kiran dan Ebie sedang berbincang kecil seraya Ebie menyiapkan keranjang belanjaan.

"Udah siap Mbak Bie," tegur Prilly.

"Eh Non Prilly ... sudah kok. Ayo Dedek Kiran." Ebie menggandeng tangan Kiran lalu berjalan mengikuti Prilly.

"Ayo Yah!" ajak Prilly meraih tasnya dan mengajak Ali berangkat saat itu juga, mereka pun berangkat ke suatu tempat.

Saat di dalam mobil, tak henti-hentinya Kiran selalu mengobrol dengan Ali dan bercerita banyak kepada sang Ayah selama Ali dinas. Ali pun menanggapi semua cerita gadis kecilnya dengan suka cita. Sesekali gelak tawa menghampiri Prilly dan Ebie karena ulah Kiran dan Ali yang menurut mereka lucu.

"Bunda mau belanja dulu atau langsung ke area bermain?" tanya Ali saat mereka sudah di tengah perjalanan.

"Belanja aja dulu Yah, kalau main dulu kasihan Kiran nanti keburu kecapekan," jawab Prilly.

Ali pun melajukan mobilnya ke pusat perbelanjaan. Sampai di sana Ebie dan Prilly sibuk berbelanja kebutuhan dapur, sedangkan Ali menemani Kiran berbelanja makanan kecil kesukaan putrinya.

"Ayah Kiran mau itu?" tunjuk Kiran pada rak yang tersusun beberapa susu.

"Ini?" tanya Ali menunjuk susu yang Kiran maksud. Kiran menganggung, lalu Ali mengambilkan susu tersebut.

"Habis ini kita main kan Yah?" tanya Kiran sembari mendorong keranjang belanjaannya.

"Iya Sayang, tapi selesaikan dulu belanjanya ya?" sahut Ali mengelus kepala Kiran.

"Siap Ayah."

Hati Ali sangat bahagia bisa berkumpul dan menghabiskan waktu liburnya bersama keluarga. Apalagi dapat melihat tingkah laku Kiran yang membuatnya selalu dapat tertawa. Jika sudah bersama keluarga, rasa lelah, letih dan kantuk pun terhempas begitu saja dari tubuh Ali.

Usai berbelanja mereka pun pergi ke sebuah tempat bermain untuk menyenangkan hati Kiran. Membuat putri cantiknya bahagia adalah tugas wajib bagi Ali.

"Bun, ajak Kiran ke sana. Ayah beli tiket masuknya," ujar Ali menunjuk ke sebuah kursi di bawah pohon rindang.

Sembari menunggu Ali antri untuk membeli tiket, Prilly pun mengajak Kiran duduk di kursi bersama Ebie juga. 15 menit berlalu, akhirnya Ali datang membawa tiketnya.

"Ayo kita masuk, Ayah!" pekik Kiran yang sudah tak sabar.

Ali pun hanya mengikuti kemana langkah kaki kecil Kiran melangkah, begitu pun Prilly dan Ebie yang selalu setia menemani Kiran.

"Ayah, mau itu," tunjuk Kiran pada sebuah permainan panjat dinding.

Ali menoleh kepada Prilly, dari tatapan mereka berkomunikasi. Prilly mengangguk tanda mengizinkan.

"Okay, tapi kamu harus hati-hati ya?" kata Ali mengantar Kiran masuk ke area bermain itu.

Kiran sangat antusias saat petugas memasangkan tali pelindung pada tubuhnya. Meski permainan ini tergolong mengkhawatirkan, namun ini cara Ali dan Prilly membentuk mental Kiran.

"Hati-hati Kiran," pekik Prilly mengingatkan.

Ali dan Prilly duduk di sebuah kursi mengawasi Kiran. Ebie tetap setia membawakan tas, tempat barang dan kebutuhan Kiran.

"Ternyata sudah besar ya Yah, Kiran," ujar Prilly tiba-tiba saat mereka hening melihat Kiran memanjat dinding.

Ali menoleh kepada istrinya dengan senyuman jahil, "kenapa? Mau kasih adik? Boleh ...," seru Ali membuat Ebie terkekeh sedangkan Prilly melotot kepada Ali.

"Iiihhhhh, dasar! Kenapa malah ke arah sana sih pembicaraannya," sangkal Prilly yang sebenarnya malu karena Ebie mendengar selorohan Ali tersebut.

"Ya nggak papa sih Non, kan Dedek Kiran sudah besar, pasti dia juga udah pengen punya temen di rumah," bujuk Ebie mendukung Ali.

"Lihat saja nanti lah Mbak Bie, mungkin udah waktunya berhenti KB juga," sahut Prilly yang secara tak langsung menyetujui Ali, jika dia siap untuk mengandung anak kedua.

Ali tersenyum puas mendengar jawaban Prilly, "Kalau begitu, berarti Ayah yang harus bekerja keras nih. Apa perlu kita bulan madu? Kan dulu kita belum sempat bulan madu," goda Ali menaik turunkan alisnya di depan wajah Prilly.

"Apaan sih ... bulan madu segala. Inget Yah ... kita sudah punya anak, kalau mau pergi ya ... Bunda juga harus mengajak Kiran," sahut Prilly yang tak ingin jauh dari putri kecilnya walau itu hanya sebentar.

Ali hanya mengangguk paham, benar kata istrinya. Jika mereka pergi hanya berdua, bagaimana dengan Kiran? Tidak mungkin mereka menitipkan Kiran kepada orangtua, karena Kiran tak terbiasa dengan mereka.

"Baiklah, oh iya ... Tius sama Nissa ngajakin kita liburan ke Bali. Ayah lupa mau nyampein ke Bunda kemarin," seru Ali membuka tutup botol air mineral lalu menenggaknya.

"Oh iya? Terus kapan? Kenapa Nissa nggak bilang sama Bunda ya, Yah?" sahut Prilly antusias.

"Itu sebenarnya rencana Ayah sama Tius sih Bun, soalnya kita mau ambil cuti bersama. Sekali-kali lah Bun, kita ajak Kiran liburan jauh."

"Okay deh, Ayah atur waktu cuti dulu, kalau memang sudah pasti, baru nanti Bunda sama Nissa berunding," tukas Prilly sangat bahagia karena sebentar lagi ia dapat menemui sahabat baiknya.

Semenjak perpindahan Nissa ke Semarang karena Tius dipindah tugaskan di sana, Prilly dan Nissa hanya dapat berkomunikasi melalui handphone.

"Ayaaaaah ... Bundaaaaaaa ...," pekik Kiran girang dengan senyum puas.

Ali beranjak dari duduknya, menyambut kedatangan Kiran yang berlari kecil ke arahnya. Saat semakin dekat, Ali langsung mengangkat Kiran ke udara, membuat putri cantiknya itu tertawa bahagia.

"Habis ini kita kemana?" tanya Prilly menawari Kiran.

"Mandi bola ... teruuuus ... habis mandi bola, nanti aku pengen main air di sana Yah ... Bun," rajuk Kiran manja sambil menunjuk tempat bermain air dengan berbagai permainan yang lainnya.

"Baiklah gadis kecil Ayah, nanti kita main ke sana." Ali mencium pipi Kiran gemas seraya dia membopong Kiran menuju tempat bermain bola plastik.

Kiran sangat menikmati setiap permainan yang ia coba. Dari ia merosot disebuah terowongan hingga bermain dengan anak-anak yang lain. Kiran tipe anak yang mudah bergaul dan menyesuaikan tempat. Jadi dia tak kesusahan berinteraksi dengan orang yang baru saja dia kenal.

"Bundaaaaaa ... ayo kita ke sana!" Kiran menarik tangan Prilly, diajaknya sang bunda ke tempat bermain air.

"Eeehhhh tunggu sebentar Sayang, nggak boleh langsung masuk, kita harus beli tiket dulu," ujar Prilly menahan tangan Kiran dan menghentikan langkahnya.

Kiran menatap Ali yang berdiri di belakang Prilly. "Ayaaaaaah ...," lirih Kiran memohon.

Ali paham maksud putrinya itu, lalu dia berjalan ke tempat pembelian tiket. Sembari menunggu Ali mengantri, Ebie membantu Kiran mengganti baju, sedangkan Prilly menemani Ali mengantri.

"Ayah capek?" tanya Prilly mengkhawatirkan kondisi Ali.

"Nggak Bun," dusta Ali demi membahagiakan putrinya, ia rela menyembunyikan letihnya dari sang istri dan Kiran.

"Jangan bohong, tadi kan Ayah baru tidur dua jam, terus berangkat kesini," kata Prilly melingkarkan tangannya di lengan Ali, karena Prilly mulai menyadari tatapan haus para wanita kepada paras tampan suaminya.

"Nggak kok Bun, dua jam cukup buat istirahat. Nanti malam kan masih bisa beristirahat sebelum berangkat," kata Ali masih saja menutupi rasa lelahnya.

"Yah, kalau 16 jam nggak istirahat sama sekali, apa nggak terlalu memeras tenaga?" tanya Prilly.

"Bohong kalau pilot mengatakan nggak istirahat sama sekali. Kadang aku gantian istirahat sama kopilot kok Bun. Paling lama 10 menit, tidur atau istirahat di atas pesawat, untuk meregangkan otot kita," seru Ali namun tetap saja membuat Prilly kasihan dengan pekerjaan sang suami.

Apakah pilot pernah tidur saat menerbangkan pesawat? Itu selalu terbayang dibenak kita sebagai orang awam yang tak mengerti bagaimana sebenarnya pekerjaan mereka. Jawabannya, Pasti. Kadang-kadang mereka hanya 10 menit tertidur sebentar. Yang jelas, pilot pasti pernah tidur ketika menerbangkan pesawat berlansung. Walaupun begitu, Ali tetap mencintai pekerjaannya, jadi Prilly tak terlalu mengkhawatirkan jika Ali akan merasa terpaksa menjalankan kewajibannya sebagai pilot.

Saat Ali dan Prilly masih sibuk mengantri, Kiran pun sudah selesai mengganti pakaiannya. Kiran ikut mengantri karena sudah tak sabar untuk masuk di area bermain air tesebut. Karena merasa bosan, Kiran sibuk bermain sendiri. Hingga akhirnya tiket pun tergenggam di tangan Ali.

"Ditemani Bibi Ebie saja ya Sayang? Bunda sama Ayah nunggu di luar aja ya?" kata Prilly sebelum Kiran masuk ke area permainan.

"Iya," sahut Kiran mengangguk patuh.

"Mbak Bie, tolong awasi Kiran ya?" pinta Prilly saat Ebie dan Kiran ingin masuk ke area bermain.

"Baik Non," sahut Ebie lalu menggandeng tangan Kiran melewati pintu pengecekan tiket.

Ali dan Prilly memperhatikan Kiran yang asyik bermain bersama Ebie, dari sebuah kursi yang dekat dengan area bermainnya Kiran.

"Bunda, sudah yakin mau lepas KB?" tanya Ali terdengar serius kali ini.

Prilly menoleh menatap serius kepada Ali, "Iya Yah, Bunda yakin. Soalnya Kiran sendiri juga anaknya bisa mandiri dan nggak begitu manja."

"Ya udah, besok Bunda konsultasi sama dokter ya. Semoga secepatnya diberikan anugerah lagi," ucap Ali tulus yang memang sudah siap lahir batin, jika Tuhan sudah menghendaki mereka untuk memiliki anak lagi.

"Aamiin," sahut Prilly tersenyum sangat manis.

##########

Siapa yang rindu?
Hihihihi
Ada yang minta konflik ... aku jawabnya, sabar. Setiap cerita memiliki alur yang berbeda. Ada kalanya konflik dikeluarkan di awal cerita, ada juga di pertengahan, ada juga saat klimaks sebuah cerita. Jadi, ikuti saja alurnya. Namanya hidup pasti ada kalanya merasa bahagia dan sedih. Karena dua hal itu datanganya satu paket.

Maaf ya udah menunggu lama, soalnya aku ada pekerjaan lain juga. Semoga kalian masih sabar menunggu. Terima kasih atas kesabarannya. Miss you and love you.😘😘😘😘

NB : kalau ada typo maklumi saja, karena mengetik dalam sebuah perjalanan, tugas negara. Hahahaha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top